Khazanah
Beranda » Berita » Hati Berkarat, Nikmat Tercabut: Bahaya Kelalaian menurut Al-Hikam

Hati Berkarat, Nikmat Tercabut: Bahaya Kelalaian menurut Al-Hikam

Ilustrasi hamba yang menundukkan hati dalam doa yang tulus kepada Allah.
Ilustrasi hamba yang menundukkan hati dalam doa yang tulus kepada Allah.

SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari  dalam Al-Hikam menjelaskan :

“Barang siapa yang tidak mampu mengenal keberadaan nikmat, maka ia akan mengenalinya ketika nikmat itu menghilang.

Jikalau kita mendapatkan berbagai kenikmatan dari Allah Swt., mulai dari harta, kesehatan, keluarga, dan lain sebagainya, kemudian kita tidak mensyukurinya, maka kita akan menyesalinya ketika semuanya hilang dari genggaman kita. Sebagaimana Allah Swt. tegaskan dalam Al-Qur’an al-Karim, bahwa barang siapa yang mensyukuri nikmat-Nya, maka Dia akan menambahnya. Dan, barang siapa yang mengingkari-Nya, maka azab-Nya sangat pedih.

Mungkin, ketika kita memiliki motor, kita belum mengenal nilainya, sehingga kita lalai bersyukur, bahkan mengharapkan yang lebih baik lagi, yaitu mobil. Namun, ketika motor kita rusak, sehingga kita harus berjalan kaki sejauh beberapa kilometer, maka kita akan merasakan nikmatnya sepeda motor. Bahkan, kita akan mengharapkan sesuatu yang lebih rendah tingkatannya, misalnya sepeda. Asalkan kita tidak berjalan kaki, mengayuh pun tidak masalah. Penyesalan selalu berada di akhir peristiwa. Sedangkan nikmat baru terasa ketika tiada. Ingatlah hal itu baik-baik, dan jangan lupa untuk selalu bersyukur!

 Syukurilah Limpahan Nikmat Allah

Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari memperingatkan:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“Jangan sampai limpahan nikmat membuat kita terkejut untuk menunaikan hak-hak kita dalam bersyukur. Sebab, hal itu merupakan salah satu penyebab yang akan menjatuhkan kehormatan kita.”

Jikalau kita mendapatkan nikmat dari Allah Swt., apalagi nikmat itu besar dalam pandangan kita, maka janganlah kita lalai untuk mengucapkan rasa syukur kepada-Nya. Ketika kita mengharapkan suatu jabatan, kemudian kita berhasil mendapatkannya setelah sekian lama menanti, maka janganlah kita terlena dan larut dalam kegembiraan sehingga melupakan ucapan syukur kepada-Nya.

Ucapkanlah “Alhamdulillah,” dan bergembiralah. Berilah tahu orang-orang yang layak kita beri tahu, karena itu merupakan salah satu bentuk syukur kepada-Nya. Tetapi, ingatlah, jangan sampai kita lalai, bahkan melakukan sesuatu yang terlarang karena saking gembiranya. Cukuplah sederhana, dan jangan berlebih-lebihan.

Jikalau sampai kita lalai bersyukur, berarti kita menjatuhkan harga diri kita di hadapan-Nya. Dan, berhati-hatilah, jikalau suatu hari Dia mencabut nikmat yang kita dapatkan ini. Kembalilah kepada-Nya, dan berharaplah agar ini bukanlah istidraj (kenikmatan yang menjerumuskan).

Penyakit yang Paling Berbahaya

Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari menegaskan:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

“Kelezatan hawa nafsu yang bersarang di dalam hati merupakan penyakit yang sangat berbahaya.”

Jangan sampai hati kita dipenuhi oleh hawa nafsu. Jangan sampai hawa nafsu menguasai dan selalu memerintahkan kita melakukan maksiat. Jikalau keadaan ini kita biarkan begitu saja, maka ia akan menutupi cahaya hati kita. Sehingga, kita buta dan tidak mampu lagi menggapai hidayah Allah Swt.

Nafsu itu ibarat benalu, yang kalau dibiarkan hidup di suatu pohon maka akan merusak dan membuat pohon tersebut tidak mampu hidup lagi. Apakah kita ingin hidup dalam kesesatan dan kemaksiatan? Sehingga, kita hanya mendapatkan kesengsaraan dalam hidup ini.

Tentu jawabannya tidak. Tidak ada seorang muslim pun yang menginginkan hidup sengsara. Jadi, bersihkanlah hati kita dari kuasa nafsu sehingga tidak menjadi sarang segala bentuk keburukan, seperti dendam, dengki, fitnah, dan lain sebagainya. Jangan kita biarkan hati berkarat. Jikalau karat hati masih sedikit, mungkin mudah kita bersihkan. Namun, tidak begitu halnya jikalau karat tersebut sudah lama. Kita akan sangat kesulitan dalam membersihkannya.(St.Diyar)

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement