Sosok
Beranda » Berita » Mbah Mangli: Ulama Kharismatik dari Lereng Andong Magelang

Mbah Mangli: Ulama Kharismatik dari Lereng Andong Magelang

Mbah Hasan Mangli dibawa menghadap (dirangkul hangat) Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliki

SURAU.CO. Gunung Andong, Ngablak, Magelang menyimpan sebuah permata spiritual di salah satu lerengnya. Dusun Mangli yang sunyi menjadi saksi bisu perjuangan seorang ulama besar. Masyarakat luas mengenal sosok ini dengan nama Mbah Mangli. Nama aslinya adalah KH Hasan Asy’ari. Ia lahir di Jepara pada Jumat Legi, 17 Agustus 1928. Sosok bersahaja ini berhasil menjadi mursyid dan rujukan batin bagi ribuan orang. Ia memilih jalan sunyi jauh dari hiruk-pikuk kota. Mbah Mangli membangun sebuah pusat pendidikan Islam bernama Pondok Pesantren Mangli.

Masa Kecil dan Perburuan Ilmu

Kiai Imam, ayah Mbah Mangli, menerapkan pendidikan keras sejak putranya masih kecil. Sang ayah menempa Hasan muda dengan berbagai disiplin ilmu agama. Ia harus menghafal kitab Taqrib di usia belia. Hasan juga wajib menguasai makna serta tafsir al-Qur’an. Kiai Imam juga mengajarkan ilmu nasakh-mansukh secara mendalam. Didikan disiplin ini membentuk mental baja dalam diri Mbah Mangli. Fondasi ilmiah yang kuat ini kelak mempengaruhi gaya dakwahnya.

Hasan muda tidak berhenti belajar dari ayahnya saja. Ia memutuskan untuk mengembara demi memuaskan dahaga keilmuannya. Kakinya melangkah ke berbagai daerah seperti Kudus, Madura, Wonosobo, Cirebon, hingga Banyumas. Ia berguru kepada para ulama tersohor di zamannya. Guru-gurunya antara lain KH Arwani Amin, Syekh Said al-Mandurah, dan KH Ibnu Hajar. KH Arwani Amin bahkan memberikan baiat Tarekat Naqsyabandiyah Kholidiyah kepadanya. Namun, Mbah Mangli menolak menjadi penerima baiat umum karena sifat tawadhu. Ia lebih memilih mengarahkan jamaah kepada keturunan gurunya tersebut.

Membangun Pesantren di Atas Awan

Perjalanan hidup membawanya ke sebuah titik balik pada tahun 1956. Seorang tokoh masyarakat bernama Haji Fadlan mengajak Kiai Hasan menetap di Mangli. Dusun ini terletak di lereng bukit yang sejuk. Kiai Hasan menerima ajakan tersebut dengan hati terbuka. Ia mulai mengasuh majelis taklim selama tiga tahun pertama.

Menangkal Hoaks dengan Bab “Menjaga Lisan”: Perspektif Imam Nawawi untuk Era Digital

Kiai Hasan kemudian mendirikan sebuah pesantren sederhana. Lokasi pesantren ini berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kita bisa melihat gemerlap lampu kota Magelang dari teras pesantren saat malam tiba. Pemandangannya tampak seperti gugusan bintang yang indah. Lokasi ini memang terpencil dan jauh dari keramaian. Namun, ribuan jamaah selalu memadati tempat ini setiap hari Ahad.

Kiai Hasan membatasi jumlah santri yang menetap di pondok. Jumlah santri mukim tidak pernah lebih dari empat puluh orang. Pembatasan ini bukan tanpa alasan. Beliau ingin memberikan pendampingan batin yang intensif kepada setiap santri. 

Karomah dan Dakwah Tanpa Pengeras Suara

Mbah Mangli Magelang terkenal dengan berbagai kisah karomah atau keistimewaan. Masyarakat mempercayai kemampuan beliau dalam nglipet bumi atau melipat bumi. Ia bisa hadir di dua tempat berbeda dalam waktu bersamaan. Keajaiban lain muncul saat beliau menyampaikan pengajian. Mbah Mangli tidak pernah menggunakan pengeras suara elektronik. Padahal, jamaah yang hadir mencapai ribuan orang.

Suara beliau tetap terdengar jelas hingga barisan paling belakang. Angin seolah turut membantu menyampaikan pesan-pesan dakwahnya. Kesederhanaan menjadi ciri khas utama sang kiai. Panitia pengajian sering mencoba memberikan amplop berisi uang sebagai tanda terima kasih. Namun, Mbah Mangli selalu menolaknya dengan halus karena beliau memiliki prinsip kuat dalam berdakwah. 

Keteladanan Akhlak dan Hubungan Sosial

Mbah Mangli juga aktif menghidupkan kegiatan keagamaan di tempat lain. Ia mengelola Langgar Linggan di Desa Mejing, Candimulyo. Jamaah memadati langgar kecil ini setiap hari Kamis Wage. 

Mustafa Kemal Ataturk: Modernisasi dan Perkembangan Islam Modern

Akhlak beliau sangat mulia dalam menghadapi gangguan. Ia tidak pernah memarahi orang yang berbuat onar. Orang-orang yang berniat buruk justru mendapatkan doa kebaikan darinya. Sikap ikhlas ini membuat banyak tokoh besar menaruh hormat. Mantan Wakil Presiden Adam Malik termasuk salah satu tokoh yang dekat dengan beliau.

Mbah Mangli memiliki kepekaan batin yang tajam. Ia sering mengetahui maksud tamu sebelum mereka berbicara. Gus Miek, sahabat seperjuangannya, memberikan kesaksian mendalam tentang sosok ini. Gus Miek pernah berkata, “Mbah Mangli itu wali yang hatinya menangis—menangis karena rindu Allah, menangis melihat umat.”

Warisan yang Terus Hidup

Kiai Hasan memiliki keluarga yang mendukung perjuangannya. Ia menikah dengan Hajjah Umi Hasanah, Hajjah Siti Fatimah, dan Nyai Nurrohmah. Putra-putrinya meneruskan estafet dakwah sang ayah. Salah satunya adalah KH Ahmad Ridho yang mendirikan Pesantren Al-Hasan di Semarang.

Mbah Mangli wafat pada tanggal 26 Oktober 1997. Namun, makamnya di kompleks pesantren tidak pernah sepi peziarah. Ribuan orang datang mendoakan beliau, terutama pada hari Ahad Legi. Pengelola makam menerapkan aturan ketat demi menjaga kekhusyukan. Pengunjung tidak boleh mengambil foto atau video di area makam.

Kini, Gus Munir selaku menantu beliau melanjutkan pengelolaan pesantren. Tradisi unik Mbah Mangli tetap bertahan hingga hari ini. Pengajian tetap berjalan tanpa pengeras suara. Tirai penutup mimbar tetap terpasang. Santri juga dilarang menggunakan gawai dan menonton televisi. Kesederhanaan ini mengajarkan bahwa ilmu bukan sekadar teori tetapi sebuah laku atau jalan sunyi menuju ridha Allah Swt. (kareemustofa)

Biografi Sayyid Ahmad al-Marzuki


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement