SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam menjelaskan :
“Allah Swt. mewajibkan kita untuk berkhidmat kepada-Nya. Dan, tidaklah Dia mewajibkannya kepada kita, kecuali agar kita dapat memasuki surga-Nya.”
Kita adalah hamba Allah Swt. yang mengemban tugas melayani Tuhan. Jikalau Allah Swt. memerintahkan kita untuk salat, maka bersegeralah mengerjakannya. Dan jika Dia memerintahkan kita berpuasa, maka bersegeralah mengerjakannya. Jikalau Dia memerintahkan kita berzakat, maka bersegeralah mengeluarkannya. Pokoknya, apa pun ibadah yang Dia perintahkan kepada kita, maka jalankanlah dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh keikhlasan. Sebaliknya, jikalau Allah Swt. melarang kita mendekati sesuatu, maka janganlah pernah kita menyentuhnya. Jauhilah sejauh-jauhnya.
Semua ketentuan Allah Swt. tidak lain bertujuan untuk kebaikan kita juga. Artinya, ketika kita diperintah melakukan suatu ketaatan, maka kita sejatinya juga diperintahkan untuk memasuki surga-Nya. Ibarat seorang budak terhadap tuannya, bukankah seorang hamba harus mempersembahkan seluruh jiwa dan raganya demi kepentingan majikannya? Dan, Allah Swt. melebihi semua ini, dan lebih berhak kita sembah dan kita agungkan. Ingatlah! Jangan pernah kita melalaikan perintah-Nya, sebab semua perintah itu untuk kebaikan kita juga.
Allah Maha Mampu Melakukan Segala Sesuatu
Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari menuturkan:
“Barang siapa yang merasa ragu bahwa Allah Swt. akan menyelamatkannya dari syahwatnya dan mengeluarkannya dari kelalaiannya, maka ia telah menganggap lemah kemampuan Allah Swt. Padahal, Allah Swt. mampu melakukan segala sesuatu.”
Setiap manusia diberikan potensi berupa syahwat oleh Allah Swt. Syahwat itulah yang mendorong manusia untuk memiliki harta, anak-anak, istri, dan lain sebagainya. Jikalau tidak dikendalikan secara baik-baik dan diarahkan ke jalan kebenaran, maka syahwat akan menuntun pemiliknya menuju kesesatan, bahkan kehidupannya akan lebih hina dari binatang ternak.
Pertanyaan sekarang: apakah kita menyangka bahwa Allah Swt. tidak mampu membebaskan kita dari jerat syahwat dan kelalaian?! Jikalau kita berpikiran bahwa Allah Swt. tidak memiliki kekuatan untuk itu, maka kita telah melakukan kesalahan besar. Kita telah meragukan kemampuan-Nya. Padahal, apa pun yang Dia inginkan bisa Dia ciptakan sekejap saja. Sebelum mata kita berkedip, sesuatu yang kita inginkan sudah berada di hadapan kita, bahkan lebih cepat dari itu.
Ada sebagian orang yang Allah Swt. selamatkan dari sifat buruk. Ada juga sebagian lainnya yang Dia biarkan memiliki sifat yang tidak terpuji. Semua ini bertujuan agar sifat-sifat-Nya yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih menjadi tampak nyata di hadapan seluruh makhluk. Ketika kita lalai dan berdosa, maka kembalilah kepada-Nya.
Hikmah di Balik Adanya Dosa
Syekh Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam menegaskan:
“Bisa jadi, kegelapan yang menghampiri kita bertujuan mengenalkan besarnya karunia Allah Swt. yang Dia berikan kepada kita.”
Kita adalah manusia biasa, yang tidak selalu berada di jalan ketaatan. Terkadang, tanpa sadar, kita terjerumus ke dalam perbuatan maksiat. Bisa jadi, maksiat yang kita lakukan itu dalam bentuk kata-kata, perbuatan, dan lain sebagainya.
Kemaksiatan itu ibarat debu atau kotoran yang menutupi lampu. Jikalau dibiarkan, maka cahayanya akan redup, kemudian tidak tampak, lalu hilang dan tidak bisa diperbaiki lagi. Lampu itu ibarat hati yang mengandung cahaya yang memancar di wajah. Sedangkan debu adalah dosa dan kemaksiatan yang kita lakukan sehari-hari, bahkan dalam setiap detik kehidupan kita.
Ketika kita bermaksiat, maka kita akan merasakan sesuatu yang berbeda. Biasanya, rasa ini terjadi saat pertama kali atau baru beberapa kali melakukan kemaksiatan. Bila kita sering melakukan kemaksiatan, maka hati kita akan terbiasa dan tidak akan membekas sama sekali. Kita merasa ada sesuatu yang hilang dari hati kita, namun kita tidak mengetahuinya sama sekali.
Pada waktu itu, kita akan merindukan nikmatnya hidup di bawah cahaya Ilahi. Sebagaimana halnya kesehatan, kenikmatannya baru akan terasa ketika kita tertimpa ujian sakit. Begitu juga halnya dengan harta, kita baru akan merasakan kenikmatannya ketika kita jatuh miskin. Itulah hikmah di balik perbuatan maksiat.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
