Khazanah
Beranda » Berita » Malu kepada Allah dan Beratnya Nafsu: Hikmah dari Al-Hikam

Malu kepada Allah dan Beratnya Nafsu: Hikmah dari Al-Hikam

Ilustrasi hamba yang bermunajat dan larut dalam doa.
Ilustrasi hamba yang bermunajat dan larut dalam doa.

SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari  dalam Al-Hikam mengatakan:

“Terkadang, seorang yang arif merasa malu mengungkapkan kebutuhannya kepada Penguasanya karena merasa cukup dengan kehendak-Nya. Maka, bagaimana ia tidak malu mengungkapkan kebutuhannya kepada makhluk-Nya?”

Teks ini menjelaskan bahwa kita dapat mendapati seseorang yang telah mencapai tangga makrifat merasa malu menyampaikan kebutuhannya kepada Allah Swt. Ia merasa cukup dengan keyakinan penuh bahwa Allah Swt. telah menentukan segalanya, termasuk rezeki yang akan diterima. Apa pun yang kita alami di dunia ini, baik kesenangan maupun kesengsaraan, kekayaan maupun kemiskinan, semua itu adalah kehendak-Nya yang tidak mampu diubah oleh siapa pun.

Seseorang yang malu mengutarakan kebutuhannya kepada Allah Swt. akan lebih malu lagi untuk melakukan hal yang sama terhadap makhluk-Nya. Sebab, mereka lemah dan tidak mampu melakukan apa pun. Ini adalah salah satu bentuk kesempurnaan makrifat. Namun demikian, Kitab Al-Hikam dan Penjelasannya mengingatkan bahwa termasuk pencapaian makrifat yang sempurna adalah menerima pemberian orang lain dengan anggapan bahwa yang memberikan hanya sebatas perantara dari rezeki yang Allah Swt. berikan kepadanya. Perlu kita pahami bahwa doa dan mengadukan kelemahan kepada-Nya bukanlah sebuah kesalahan, bahkan merupakan keharusan karena tergolong ibadah.

Menyikapi Dua Perkara yang Meragukan

Syekh Ibnu ‘Athaillah  memberikan pedoman:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

“Jikalau ada dua perkara yang meragukan bagi kita, maka perhatikanlah bagian yang paling berat bagi nafsu, kemudian ikutilah. Sebab, tidaklah sesuatu itu berat dilakukan, kecuali sebuah kebenaran.”

Jikalau kita berhadapan dengan suatu urusan yang memungkinkan timbulnya dua hukum yang meragukan bagi kita, maka jadikanlah nafsu kita sebagai hakim yang akan memutuskannya. Jikalau ada bagian yang terasa berat bagi nafsu untuk melakukannya, maka ketahuilah bahwa itu adalah yang hak. Kerjakanlah segera, dan tinggalkan bagian yang disukai nafsu kita.

Nafsu tidak akan pernah menyukai kebenaran. Nafsu akan senantiasa dikendalikan oleh setan. Jikalau kita mengikuti nafsu, maka sama saja artinya kita memasukkan diri sendiri ke dalam api neraka yang panasnya membara dan apinya menyala-nyala. Kita harus menolak selalu nafsu tersebut dalam hal apa pun yang kita lakukan dalam kehidupan ini. Ingatlah selalu: Nafsu adalah musuh kebenaran dan teman kejahatan. Berhati-hatilah selalu.

Di Antara Tanda Mengikuti Hawa Nafsu

Syekh Ibnu ‘Athaillah menyebutkan salah satu tanda jebakan nafsu:

“Di antara tanda-tanda mengikuti hawa nafsu adalah bergegas menjalankan amalan-amalan sunnah dan bermalas-malasan menjalankan amalan-amalan wajib.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Hawa nafsu akan selalu menuntun kita mengerjakan semua yang dibenci oleh Allah Swt. Nafsu akan menjauhkan kita dari segala perintah-Nya. Di antara tanda yang menunjukkan kita masuk dalam jebakan nafsu adalah jikalau kita rajin mengerjakan ibadah sunnah, namun lalai menjalankan ibadah wajib.

Kita mungkin mampu mengerjakan puasa sunnah Senin dan Kamis, bahkan puasa Dawud, namun kita melalaikan puasa Ramadan. Kita mungkin mampu bangun di malam hari untuk mengerjakan salat Tahajjud dan salat lainnya, tetapi kita bermalas-malasan mengerjakan salat Subuh dan salat wajib lainnya. Jikalau kita melakukan itu semua, berarti kita telah mengikuti hawa nafsu, dan kita telah masuk dalam jaring-jaring setan.

Kitab Al-Hikam dan Penjelasannya menegaskan: Bagaimana mungkin kita mendahulukan sesuatu yang hukumnya sunah daripada sesuatu yang hukumnya wajib? Jikalau kita ibaratkan dalam kehidupan sehari-hari, maka kita mendahulukan membeli mobil daripada makanan yang mengenyangkan perut kita. Kita rela mati, asalkan memiliki barang-barang mewah. Ini tidak akan terjadi, kecuali oleh orang-orang yang kurang akalnya.(St.Diyar)

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement