SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam mengatakan:
“Bisa jadi, yang menjelaskan tentang maqam (kedudukan) adalah orang yang hendak mencapainya. Bisa jadi juga, yang menjelaskannya adalah orang yang telah sampai kepadanya. Dan, itu adalah perkara yang samar; kecuali bagi orang yang memiliki mata hati.“
Kerumitan dalam Mengenali Maqam
Syekh Ibnu ‘Athaillah menjelaskan kerumitan dalam mengenali kedudukan spiritual seseorang. Terkadang, kita mendapati seseorang yang mengulas kedudukan para ahli ibadah di hadapan Allah Swt., padahal ia sendiri sedang berusaha mencapai makrifat kepada-Nya. Ia sama sekali belum menduduki maqam makrifat, bahkan mungkin baru memasuki gerbangnya. Namun, di waktu lain, orang yang memberikan penjelasan adalah memang orang yang telah mencapai tangga makrifat. Oleh karena itu, ia benar-benar menguasai seluk-beluk dan cara memasuki maqam tersebut, sehingga ia mampu menjawab secara detail setiap pertanyaan yang kita ajukan kepadanya.
Kita dapat menganalogikan perbandingan antara kedua jenis orang ini ibarat orang yang melaksanakan ibadah haji. Jenis orang pertama telah mengetahui bentuk Ka’bah, ukurannya, dan segala deskripsinya secara teoritis. Namun, ia belum pernah menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Sedangkan jenis orang kedua telah mengetahui semua teori yang terketahui oleh jenis pertama, dan bahkan ia telah menyaksikannya sendiri. Ilmu yang dimiliki oleh orang pertama tergolong ilmul yaqin (ilmu keyakinan), sementara ilmu yang dimiliki oleh orang kedua tergolong haqqul yaqin (hakikat keyakinan).
Lantas, siapa yang mampu membedakan kedua jenis orang yang sama-sama berbicara tentang hakikat ini? Jawabannya adalah hanya orang-orang yang memiliki mata hati yang mampu melakukannya. Mereka dikaruniai kemampuan untuk menebak telah mencapai atau tidaknya seseorang yang mereka jumpai hanya melalui gaya dan kualitas bicaranya. Ini menunjukkan bahwa kedalaman spiritual bukanlah perkara yang terlihat secara lahiriah, melainkan dapat diukur dengan bashirah (mata hati) yang jernih.
Prinsip Salik dalam Menerima Karunia
Beralih ke persoalan materi, Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari juga membimbing kita mengenai sikap yang benar saat berinteraksi dengan pemberian dari makhluk:
“Janganlah kita mengulurkan tangan untuk menerima pemberian makhluk, kecuali kita menganggap bahwa yang memberikan kepada mereka adalah Penguasa kita. Jikalau kita berpikiran seperti itu, maka ambillah sesuatu sesuai dengan ilmu.”
Inti ajaran ini adalah kita tidak boleh berharap kepada makhluk. Jangan kita membentangkan kedua tangan untuk meminta kepada mereka, karena pada dasarnya, mereka hanyalah makhluk yang juga meminta kepada Penguasa yang sesungguhnya, yaitu Allah Swt. Jikalau kita harus menerima pemberian dari makhluk, maka wajib kita yakini terlebih dahulu bahwa Allah Swt.-lah yang memberikan kita semua nikmat itu, sedangkan manusia yang memberikannya hanyalah perantara belaka.
Menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah bahwa jikalau pandangan tauhid kita sudah benar, maka ambillah sesuatu yang diberikan kepada kita, selama hal itu sesuai dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah Saw. Dengan kata lain, kita harus melakukan pemeriksaan terhadap sumber barang itu. Sebab, mungkin saja barang tersebut haram atau syubhat (samar hukumnya). Ambillah dan nikmatilah barang yang halal, namun jauhilah barang yang haram serta jangan pernah menyentuhnya. Kita harus berusaha keras untuk menjauhi barang yang syubhat karena hal itu lebih mampu menjaga diri kita dari panasnya api neraka. Akhirnya, janganlah kita mengandalkan prasangka atau hawa nafsu dalam menentukan hukum sebuah pemberian. Jadikanlah tuntutan syariat-Nya sebagai pegangan utama dan jangan berpaling kepada yang lainnya. Itulah jalan keselamatan yang Dia tunjukkan.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
