SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam mengatakan:
“Kata-kata yang mereka ungkapkan, bisa jadi, sekadar limpahan perasaan atau bertujuan memberikan petunjuk kepada muridnya. Jenis yang pertama adalah keadaan para salik (yang sedang menempuh jalan), dan jenis kedua adalah keadaan orang-orang yang sudah mapan dan mencapai hakikat.”
Menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah bahwa terdapat dua jenis ungkapan yang keluar dari lisan seseorang yang telah mendapatkan cahaya dari Allah Swt.
Limpahan Perasaan (Keadaan Para Salik)
Ungkapan tersebut menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah merupakan luapan perasaan. Kata-kata yang diungkapkan adalah limpahan perasaan terdalam karena tidak sanggup menahan gejolak jiwa. Bisa jadi, bentuk ungkapan ini adalah nasihat amar ma’ruf, dan bisa juga bentuknya nahi mungkar.
Misalnya, ia menyaksikan kemaksiatan di hadapannya. Orang tersebut sudah menahan sekuat tenaga untuk menghindari kemaksiatan ini, namun perasaan cintanya kepada Allah Swt. meluap-luap, sehingga mendorongnya untuk ber-amar ma’ruf dengan kata-kata, bahkan terkadang dengan luapan emosi. Atau, bisa jadi ungkapannya itu sekadar menggerutu dengan wajah penuh kemarahan. Jenis pertama ini menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah adalah keadaan orang-orang yang sedang menuju makrifat Allah Swt. Mereka belum mampu menahan luapan perasaan.
Memberikan Petunjuk (Keadaan Ahli Hakikat)
Ungkapan tersebut menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah muncul dalam rangka memberikan petunjuk kepada seorang murid. Seorang yang mendapatkan cahaya-Nya tidak mungkin akan berdiam diri. Ia akan mengumpulkan dua sifat utama dalam dirinya, yaitu belajar dan mengajar. Salah satu sebab yang mendorongnya untuk berbicara adalah untuk mengajar muridnya. Ia akan mengajarkan cara mencapai hakikat dan meraih makrifat.
Jenis kedua ini adalah keadaan orang-orang yang telah mencapai puncak keyakinan dan meraih hakikat, sehingga mereka mampu menahan luapan emosi.
Contoh ringannya, cobalah kita perhatikan seekor keledai. Saat pertama kali keledai itu mendapat beban di punggungnya, ia akan meringkik dan berisik karena belum terbiasa, walaupun barang itu ringan. Namun, lama-kelamaan, keledai ini akan terbiasa dan tenang, walaupun barang yang dipikulnya berat.
Nasihat Adalah Makanan
Syekh Ibnu ‘Athaillah menuturkan:
“Nasihat adalah makanan bagi para pendengar. Dan, kita hanya akan mendapatkan sesuatu yang kita makan.”
Nasihat dan petuah tentang masalah-masalah hakikat menurut adalah ibarat makanan bagi para pendengarnya. Terutama, bagi orang-orang yang belum mampu mengenal hakikat sesuatu karena keimanan mereka masih lemah dan cahaya Ilahi yang dimiliki tidak begitu terang.
Sedangkan menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah bahwa orang-orang yang kaya ilmu hakikat, maka mereka tidak membutuhkan nasihat dan petuah ini lagi. Sebab, mereka sudah mampu memahaminya tanpa harus kita jelaskan. Kemampuan yang mereka miliki hampir sama dengan kemampuan yang dimiliki penasihat, sehingga mereka juga layak memberikan makanan ruhiyah kepada orang lain.
Akan tetapi, Syekh Ibnu ‘Athaillah mengatakan bahwa:
Ingatlah, wahai kita yang menyampaikan dan mendengarkan nasihat. Kita tidak akan mendapatkan apa pun dari sesuatu yang kita sampaikan dan dengarkan, kecuali jikalau kita mengamalkannya. Jangan sampai kita sama seperti orang-orang Yahudi, yang mengetahui namun tidak mau mengamalkannya.
Contoh ringan saja. Sepengetahuan kita, gula itu manis. Kita mengatakan hal itu kepada setiap orang, namun kita tidak pernah mencobanya sama sekali. Syekh Ibnu ‘Athaillah menyampaikan bahwa apakah ilmu kita bermanfaat dan bisa terasakan efeknya?! Tidak, sama sekali tidak. Begitu juga halnya dengan orang yang mendengarkan.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
