Khazanah
Beranda » Berita » Mutiara Al-Hikam : Cahaya yang Memancar dari Lidah Orang Berhati Bersih

Mutiara Al-Hikam : Cahaya yang Memancar dari Lidah Orang Berhati Bersih

Ilustrasi seorang muslim yang bemunajat kepada Allah.
Ilustrasi seorang muslim yang bemunajat kepada Allah.

SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari  dalam Al-Hikam mengatakan:

“Setiap kata-kata yang terungkap adalah dibungkus oleh pakaian hati sebagai tempat keluarnya.”

Setiap kata yang kita keluarkan dari hati disertai cahaya. Jikalau cahaya hati kita terang, maka kata-kata yang kita keluarkan akan membekas di jiwa dan akan selalu diingat sepanjang masa. Sebaliknya, jikalau hati kita kotor, maka kata-kata yang kita keluarkan ibarat debu yang beterbangan. Tidak ada bekasnya sama sekali.

Selain itu, baik atau buruknya kata-kata yang diucapkan juga menjelaskan kadar cahaya hati pemiliknya. Jikalau kata-katanya baik, maka itu merupakan tanda kecemerlangan hati orang tersebut. Jikalau kata-katanya kotor, maka begitulah juga keadaan hatinya.

Lihatlah kata-kata para nabi yang penuh hikmah dan kebijaksanaan. Hal tersebut terjadi dikarenakan kata-kata itu keluar dari hati yang penuh cahaya. Kemudian, cobalah kita lihat juga ungkapan para wali Allah Swt. Kata-kata mereka juga indah dan penuh hikmah karena hati mereka bercahaya sesuai dengan kadar keimanan mereka. Keadaan kaum mukminin lainnya tidak jauh berbeda. Semakin bercahaya hatinya, maka semakin membekas kata-katanya.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Menjadi Pembicara yang Baik

Syekh Ibnu ‘Athaillah menuturkan:

“Barang siapa yang diizinkan berbicara, maka hendaklah pembicaraannya dapat dipahami oleh orang lain, dan jelas isyaratnya.”

Jikalau kita membicarakan sesuatu yang sekiranya tidak dapat kita pahami maksudnya oleh orang lain, misalnya tentang masalah-masalah gaib, maka hendaklah kita menyampaikannya dengan bahasa yang jelas dan terang. Sehingga, orang yang mendengarnya memahami dan mengerti maksud dari pembicaraan kita.

Bukalah mushaf Al-Qur’an yang kita miliki. Bukankah bahasanya tampak singkat dan jelas? Setiap orang yang membacanya pasti bisa memahami tujuannya, walaupun kandungan makna yang sebenarnya lebih dalam dari makna yang tersurat.

Tidak hanya itu, coba juga kita perhatikan bentuk lafal hadis Rasulullah Saw. Bukankah bahasanya sangat lugas, indah, menarik, jelas, dan tidak berbelit-belit? Sehingga membuat pembacanya mudah mencerna dan tidak pusing.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Begitulah seharusnya kita dalam berbicara dengan orang lain. Jangan seperti ahli filsafat yang perkataannya cenderung disampaikan dengan bahasa yang serba sulit, sehingga pembacanya harus mengernyitkan dahi. Itu pun belum tentu bisa memahami maknanya. Seolah-olah, semakin sulit bahasa yang diungkapkan, semakin pintar juga. Ini adalah bentuk pemahaman yang salah. Seharusnya, semakin mudah bahasa seseorang untuk dipahami, maka semakin cerdas pembicaranya.

Cahaya Hakikat Kita Bisa Meredup

Syekh Ibnu ‘Athaillah menegaskan:

“Bisa jadi, cahaya hakikat meredup jikalau kita belum diizinkan menampakkannya.”

Cahaya hakikat bermanfaat untuk melihat hakikat sesuatu. Jikalau kita melihat suatu musibah yang menimpa keluarga kita, maka dengan cahaya hakikat kita bisa mengetahui hikmahnya dan rahasia yang ada di baliknya. Hanya saja, perlu kita ingat bahwa cahaya ini bisa meredup, yaitu jikalau kita memperlihatkannya bukan pada tempatnya. Sehingga, yang terjadi adalah fitnah. Tidak semua rahasia dan hakikat harus kita beritahukan kepada orang lain. Sebab, tingkat akal dan pemikiran manusia itu berbeda-beda. Seseorang yang termasuk golongan intelektual, tentu ia bisa memahami sesuatu yang kita katakan. Sedangkan bagi orang awam, pembicaraan kita akan sulit kita pahami, bahkan bisa jadi kita mendapat cemoohan darinya.

Perhatikanlah sejarah masa lalu. Berapa banyak orang-orang yang tidak berhati-hati dan bijaksana dalam mengungkap rahasia dan hakikat? Sehingga mereka meninggal dalam keadaan tragis dan mengenaskan.(St.Diyar)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement