Fenomena pamer harta atau flexing kini memenuhi beranda media sosial kita. Pengguna Instagram berlomba menampilkan kemewahan. Mereka memotret tas bermerek, mobil sport, hingga liburan mewah. Budaya ini menciptakan standar kebahagiaan yang semu. Banyak orang merasa tertinggal saat melihat pencapaian orang lain. Kondisi ini memicu penyakit hati seperti iri dan dengki.
Kita membutuhkan solusi spiritual untuk melawan arus deras materialisme ini. Kitab klasik Riyadus Shalihin karya Imam An-Nawawi hadir sebagai jawaban relevan. Kitab ini menawarkan perspektif berbeda tentang kekayaan dan kebahagiaan. Ajaran di dalamnya bertindak sebagai antitesis atau lawan dari budaya pamer tersebut.
Bahaya Psikologis dan Sosial Budaya Flexing
Budaya flexing bukan sekadar tren tanpa makna. Perilaku ini mencerminkan kebutuhan validasi yang tinggi. Seseorang ingin orang lain mengakui status sosialnya. Psikolog menyebut ini sebagai bentuk ketidakamanan diri (insecurity). Pelaku flexing menutupi kekurangan batin dengan tumpukan materi.
Dampak sosialnya pun sangat nyata. Kesenjangan sosial terasa makin lebar di dunia maya. Pengikut atau followers sering kali merasa depresi. Mereka membandingkan hidup sederhana mereka dengan kemewahan palsu para selebgram. Hal ini merusak kesehatan mental masyarakat secara luas.
Riyadus Shalihin Mengajarkan Niat yang Lurus
Imam An-Nawawi membuka kitabnya dengan bab tentang niat. Beliau menukil hadis pertama yang sangat populer.
“Sesungguhnya amal-amal itu bergantung pada niatnya.”
Hadis ini menampar kebiasaan pamer di media sosial. Kita harus bertanya kembali alasan kita mengunggah sesuatu. Apakah tujuannya untuk bersyukur atau mencari pujian? Flexing biasanya berakar pada riya. Riya adalah keinginan memperlihatkan amal atau kelebihan demi pujian manusia.
Kitab ini menekankan pentingnya keikhlasan. Keikhlasan membebaskan manusia dari ketergantungan pada like dan komentar. Seseorang yang ikhlas tidak peduli dengan validasi netizen. Ia menemukan ketenangan dalam hubungan privatnya dengan Tuhan.
Konsep Zuhud Melawan Materialisme
Riyadus Shalihin memuat bab khusus tentang Zuhud. Zuhud sering disalahartikan sebagai kemiskinan. Padahal, Zuhud adalah sikap hati yang tidak terikat dunia. Seseorang bisa saja kaya raya. Namun, hatinya tidak meletakkan harta sebagai tujuan utama.
Imam An-Nawawi mengajarkan kita memandang dunia sekadarnya. Sikap ini menjadi antitesis telak bagi flexing. Pelaku flexing mendewakan benda mati. Sebaliknya, seorang zahid (pelaku zuhud) menganggap harta hanya titipan. Mereka tidak merasa perlu memamerkan titipan tersebut kepada publik.
Kesederhanaan menjadi kunci ketenangan hidup. Orang yang sederhana tidak terbebani gaya hidup mahal. Mereka tidak perlu berutang demi konten Instagram. Hidup mereka lebih otentik dan damai.
Tawadhu: Obat Kesombongan Digital
Pamer harta di Instagram sangat dekat dengan sifat takabur atau sombong. Seseorang merasa lebih hebat dari orang lain karena hartanya. Riyadus Shalihin menawarkan konsep Tawadhu atau kerendahan hati.
Bab Tawadhu dalam kitab ini memuat banyak hadis peringatan. Salah satunya peringatan bahwa surga haram bagi orang sombong.
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan.”
Ajaran ini mengajak kita menunduk. Kita harus sadar bahwa semua nikmat berasal dari Tuhan. Tidak ada alasan logis untuk menyombongkan diri. Media sosial seharusnya menjadi ladang berbagi manfaat, bukan panggung kesombongan. Tawadhu membuat interaksi di dunia maya lebih sejuk.
Relevansi Riyadus Shalihin di Era Digital
Banyak orang menganggap kitab klasik sudah ketinggalan zaman. Anggapan ini jelas salah besar. Riyadus Shalihin justru makin relevan di tengah kegilaan era digital. Nilai-nilai di dalamnya bersifat universal dan abadi.
Kita bisa menggunakan kitab ini sebagai filter konten. Sebelum memposting, kita bisa merujuk pada nasihat Imam An-Nawawi. Apakah postingan ini bermanfaat? Apakah ini mengandung unsur kesombongan? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi rem pakem bagi jempol kita.
Membaca dan mengkaji Riyadus Shalihin dapat membersihkan hati. Hati yang bersih tidak butuh pengakuan semu. Kita akan merasa cukup (qanaah) dengan apa yang ada. Rasa cukup inilah kekayaan yang sesungguhnya.
Kesimpulan
Budaya flexing di Instagram adalah penyakit sosial modern. Ia menggerogoti ketulusan dan memicu persaingan tidak sehat. Riyadus Shalihin hadir sebagai obat mujarab. Konsep Ikhlas, Zuhud, dan Tawadhu menjadi tameng pertahanan kita.
Mari kita kembali pada ajaran luhur para ulama. Kita ubah pola pikir materialistis menjadi spiritualis. Jadikan media sosial sebagai sarana kebaikan. Kita tidak perlu memamerkan harta untuk terlihat bahagia. Kebahagiaan sejati terletak pada hati yang tenang dan bersyukur. Riyadus Shalihin adalah panduan terbaik menuju ketenangan tersebut.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
