Media sosial telah mengubah cara kita berkomunikasi secara drastis. Kita bisa terhubung dengan siapa saja dalam hitungan detik. Namun, kemudahan ini membawa tantangan moral yang serius. Fenomena saling hujat kini membanjiri kolom komentar. Masyarakat modern menyebut perilaku agresif ini sebagai cyberbullying. Islam memandang hal ini sebagai bentuk ghibah gaya baru. Kita perlu menengok kembali pedoman ulama klasik. Kitab Riyadus Shalihin karya Imam An-Nawawi memberikan panduan relevan terkait masalah ini.
Imam An-Nawawi mendedikasikan bab khusus tentang bahaya lisan. Beliau mengingatkan umat Islam agar menjaga tutur katanya. Konsep menjaga lisan ini berlaku pula untuk jari-jemari kita. Mengetik komentar jahat sama buruknya dengan mengucapkannya secara langsung.
Definisi Ghibah dalam Pandangan Islam
Banyak pengguna internet merasa aman saat mencela orang lain. Mereka bersembunyi di balik akun anonim. Padahal, Islam mencatat setiap tindakan tersebut sebagai dosa. Imam An-Nawawi dalam Riyadus Shalihin mencantumkan hadis tentang definisi ghibah. Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para sahabat tentang hal ini.
Rasulullah SAW bersabda:
“Tahukah kalian apakah ghibah itu? Mereka menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ Beliau bersabda: ‘Engkau menyebutkan perihal saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia sukai.'” (HR. Muslim)
Definisi ini sangat jelas dan tegas. Segala sesuatu yang tidak saudara kita sukai termasuk dalam kategori ghibah. Ghibah online dan cyberbullying memenuhi kriteria tersebut secara sempurna. Kita sering melihat netizen mengomentari fisik seseorang. Mereka juga sering menyebarkan aib masa lalu orang lain. Perilaku ini jelas menyakiti hati objek pembicaraan.
Transformasi Lisan Menjadi Tulisan
Ulama sepakat bahwa tulisan mewakili lisan. Kaidah fikih menyebutkan bahwa pena adalah salah satu dari dua lisan. Maka, hukum mengetik status penghinaan sama dengan mengucapkannya. Jempol kita bisa menjadi sumber dosa besar.
Dampak ghibah online dan cyberbullying bahkan bisa lebih fatal. Jejak digital bersifat abadi dan mudah tersebar luas. Ribuan orang bisa membaca satu komentar jahat dalam sekejap. Malaikat Raqib dan Atid mencatat setiap ketikan tersebut tanpa terlewat. Kita akan mempertanggungjawabkan setiap huruf di akhirat kelak.
Imam An-Nawawi juga mengutip firman Allah SWT yang keras. Ayat ini menggambarkan betapa menjijikkannya perilaku menggunjing.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Analogi memakan bangkai saudara sendiri sangatlah mengerikan. Namun, itulah hakikat ghibah online dan cyberbullying di mata Allah. Pelaku cyberbullying sedang mencabik-cabik kehormatan saudaranya di ruang publik.
Bahaya Namimah di Era Digital
Selain ghibah, Riyadus Shalihin juga membahas tentang Namimah (adu domba). Media sosial menjadi lahan subur bagi perilaku adu domba. Seseorang bisa dengan mudah memotong video untuk memelintir konteks. Potongan video tersebut kemudian memicu kebencian antar kelompok.
Netizen sering kali membagikan konten tanpa verifikasi (tabayyun). Mereka ikut menyebarkan fitnah hanya dengan satu kali klik. Perilaku ini memperparah dampak ghibah online dan cyberbullying. Imam An-Nawawi menegaskan haramnya perilaku ini. Beliau menukil hadis yang memberikan ancaman keras bagi pelaku adu domba.
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba.” (Muttafaq ‘alaih)
Ancaman tidak masuk surga seharusnya membuat kita gemetar. Kita harus berpikir seribu kali sebelum membagikan informasi sensitif. Menahan diri jauh lebih mulia daripada ikut memperkeruh suasana.
Cara Bertaubat dari Dosa Digital
Lantas, bagaimana jika kita terlanjur melakukannya? Riyadus Shalihin juga mengajarkan bab taubat. Pelaku ghibah online dan cyberbullying wajib segera berhenti. Kalian harus menghapus komentar atau postingan yang menyakiti orang lain.
Langkah selanjutnya adalah meminta maaf kepada korban. Syarat taubat dari dosa sesama manusia adalah meminta kehalalannya. Kalian harus menghubungi orang yang pernah kalian bully. Mintalah maaf dengan tulus atas ketikan jahat tersebut.
Jika korban tidak bisa kita hubungi, doakanlah kebaikan untuknya. Sebutlah kebaikan-kebaikannya di tempat kalian pernah menjelekkannya. Tutuplah aib masa lalu dengan menyebarkan konten positif.
Kesimpulan
Teknologi memang terus berkembang pesat. Namun, aturan moral dalam Islam tetap relevan sepanjang zaman. Ghibah online dan cyberbullying adalah bentuk kejahatan lisan modern. Kitab Riyadus Shalihin menjadi alarm peringatan bagi kita semua.
Mari kita gunakan media sosial untuk menyebar kebaikan. Jaga jemari kita dari mengetik hal yang sia-sia. Jadikan akun media sosial kita sebagai ladang pahala, bukan ladang dosa. Ingatlah bahwa Allah Maha Melihat setiap aktivitas kita di dunia maya. Bijaklah dalam bersosial media mulai hari
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
