SURAU.CO. Setiap insan beriman mendambakan kunci menuju surga, dan kalimat Lā ilāha illallāh adalah kunci itu. Dalam banyak majelis Maiyah, suasana hening sering turun ketika Cak Nun dan Kiai Kanjeng melantunkan tembang khas yang telah melekat di hati umat. Syair Jawa itu sederhana tetapi memiliki daya spiritual yang menembus relung hati:
“Kuncine lawang suwarga ora ana lafadz liya,
Laa ilaaha illallah, Muhammadur rosulullah.
Gusti Allah kula nyekseni mboten pengeran malih,
Kejawi Panjenengan… Laa ilaaha illallah.”
Tembang ini bukan sekadar lagu, melainkan persaksian iman yang mengingatkan bahwa pintu surga dibuka bukan oleh banyaknya amalan semata, tetapi oleh kemurnian tauhid yang menetap dalam hati dan terjaga di lisan.
Fondasi Tauhid yang Menghidupkan Jiwa
Para Nabi membawa inti ajaran yang sama sejak masa lalu. Mereka menyerukan kalimat tauhid sebagai landasan keselamatan. Rasulullah Saw memberikan penegasan mengenai hal ini. Beliau bersabda, “Kunci surga adalah kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.” (HR. Ahmad).
Namun, kita perlu memahami sifat sebuah kunci secara fisik. Sebuah kunci hanya akan berfungsi jika memiliki gerigi yang lengkap dan presisi. Demikian pula dengan kalimat tauhid, tidak boleh hanya berhenti sebagai suara di lisan saja. Ia harus menjadi kesaksian batin yang kuat yang kelak menuntun arah hidup seseorang hingga akhir hayat.
Tujuh Gerigi Agar Kunci Berfungsi
Para ulama telah membedah syarat sahnya kalimat tauhid. Mereka memetakan tujuh syarat agar “kunci surga” tersebut benar-benar berfungsi. Tanpa syarat ini, kunci tersebut ibarat besi polos yang tak bisa membuka pintu.
- Ilmu. Seseorang harus memahami makna kalimat tauhid dengan benar.
- Yakin. Hati tidak boleh menyimpan keraguan sedikit pun terhadap keesaan Allah.
- Qabul. Kita harus menerima konsekuensi syahadat dengan tulus hati.
- Inqiyad. Syahadat menuntut kepatuhan dan ketundukan total.
- Shidq. Kejujuran harus selaras antara ucapan lisan dan isi hati.
- Ikhlas. Segala amal harus murni karena Allah Swt semata.
- Mahabbah. Rasa cinta yang mendalam kepada Allah dan Rasul-Nya harus melebihi segalanya.
Harmonisasi Lisan, Hati, dan Amal
Tauhid yang kokoh berdiri di atas tiga pilar utama yang tidak dapat terpisahkan satu sama lain.
- Iqrar bil-lisan. Kita mengucapkannya dengan tegas dan jujur lewat mulut.
- Tasdiq bil-qalb. Hati meyakini kebenaran kalimat tersebut tanpa ragu.
- ‘Amal bil-jawarih. Anggota tubuh membuktikan keimanan melalui perbuatan nyata.
Inilah alasan mengapa kita sering melihat fenomena yang kontradiktif. Sebagian orang fasih mengucapkan Lā ilāha illallāh, namun, hati mereka masih tunduk pada ketakutan duniawi. Mereka lebih takut miskin daripada takut kepada Allah Swt. Mereka lebih sibuk dengan pencitraan media sosial daripada pandangan Tuhan.
Menghadapi Berhala di Era Modern
Zaman sekarang menghadirkan tantangan tauhid yang berbeda. Berhala di era modern tidak selalu berbentuk patung batu tapi kini bisa berwujud gengsi sosial dan haus pujian. Ketergantungan pada materi juga bisa menjadi berhala baru hingga ambisi yang mengikis keikhlasan pun termasuk dalam kategori ini.
Mengucapkan Lā ilāha illallāh berarti kita berani mengambil sikap tegas dengan menempatkan Allah Swt di atas segala kepentingan duniawi tersebut. Tauhid seseorang akan terlihat saat ia dihadapkan pada pilihan sulit. Misalkan, Orang bertauhid memilih jujur meski kejujuran itu merugikan secara materi. Ia tetap beribadah meski kesibukan kerja sedang memuncak bahkan berani menolak tawaran haram meski nilainya sangat menggiurkan. Ia menggantungkan harapan kepada Allah Swt melebihi kecemasan hidupnya.
Bekal Menuju Jalan Pulang
Mari kita renungkan kembali lirik Kiai Kanjeng tadi. “Kuncine lawang suwarga ora ana lafadz liya…”
Syair ini mengingatkan kita bahwa perjalanan pulang menuju Allah Swt sebenarnya sederhana. Kita hanya perlu merawat tauhid dengan baik. Biarkan tauhid menuntun seluruh aspek kehidupan kita. Lā ilāha illallāh bukan hanya kunci kebahagiaan akhirat namun juga menjadi kunci ketenangan di dunia. Ia menjadi kompas saat hidup terasa tak menentu dan menjadi pelita saat hati kita gelap gulita.
Kelak, hanya kalimat itu yang akan kita bawa pulang. Semoga kalimat mulia ini menjadi ucapan terakhir kita saat menutup mata. Saat itulah, pintu surga akan terbuka lebar menyambut kehadiran kita. (kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
