SURAU.CO – Imam Haramain al-Juwaini merupakan salah satu ulama besar. Banyak kajian ushul fiqh selalu menyebut namanya sebagai rujukan utama setelah wafatnya Imam Syafi’i. Lahir dengan nama lengkap Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Abdullah pada tahun 419 H di kota Naisabur, masyarakat lebih mengenalnya dengan julukan “Imam Haramain al-Juwaini” karena kiprahnya yang luas dalam dunia pendidikan Islam dan pengaruhnya yang besar terhadap generasi ulama setelahnya.
Para ulama memberi gelar “al-Imam” kepada beliau sebagai bentuk penghargaan atas ilmu dan karya-karyanya. Dua ulama besar, Syekh Husain al-Baghawi, pengarang Ma’alim at-Tanzil (w. 516 H), dan Syekh Ibnu Abi ad-Dam, pengarang Adab al-Qadha’ (w. 642 H), pertama kali menyematkan julukan ini (Husain al-Baghawi & Ibnu Abi ad-Dam, sebagaimana dikutip). Ulama lain, termasuk Imam Nawawi (w. 676 H) dan Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H), juga menegaskan gelar ini dalam karya-karya mereka. Menariknya, para ulama biasanya memberikan gelar “al-Imam” hanya kepada pendiri mazhab fiqh, seperti Imam Syafi’i atau Imam Abu Hanifah. Namun, para ulama mengakui Imam Haramain sebagai ulama besar karena kontribusinya yang luas dan mendalam dalam ilmu fiqh dan ushul fiqh.
Masyarakat menyematkan julukan “Haramain” kepada beliau karena ia mengajar selama empat tahun di kota Makkah dan Madinah, sedangkan julukan “al-Juwaini” muncul karena keluarganya berasal dari Juwain, provinsi Qazvin, Iran, meski Imam Haramain lebih banyak menghabiskan hidup di Naisabur, Khurasan. Keluarganya memang dikenal besar dalam ilmu. Ayahnya, Abdullah bin Yusuf, seorang ahli fiqih yang dijuluki “Rukn al-Islam”, menulis berbagai kitab, seperti al-Furuq, as-Silsilah, dan Syarh ar-Risalah. Paman beliau, Ali bin Yusuf, menekuni ilmu hadits dan mendapat julukan “Syaikhul Hijaz” (Hafidz Abu Nu’aim, sebagaimana dikutip).
Masa Kecil dan Perjalanan Menuntut Ilmu
Sejak kecil, Imam Haramain menunjukkan kecerdasan luar biasa. Imam Tajuddin as-Subki mencatat dalam Thabaqat as-Syafi’iyyah, “Sejak kecil ia menguasai ilmu gramatika Arab dengan fasih. Tidak ada ulama dari empat mazhab fiqh di zamannya yang menandingi kefasihannya dalam bahasa Arab.” Ia mengembara selama sepuluh tahun menimba ilmu di Khurasan, Baghdad, hingga Hijaz. Ia berguru kepada ayahnya dan ulama-ulama besar lain, termasuk Abu Qasim Abdul Jabbar al-Iskafi al-Isfiraini (w. 452 H), Abu Abdullah al-Khubazi (w. 449 H), dan al-Hafidz Abu Nu’aim al-Ashbihani (w. 430 H). Dari para guru ini, Imam Haramain mempelajari ilmu aqidah, fiqih, Al-Qur’an, dan hadits, bahkan menerima banyak ijazah riwayat hadits dari al-Hafidz Abu Nu’aim (as-Subki, Thabaqat as-Syafi’iyyah).
Imam Haramain menunjukkan kecintaan luar biasa terhadap ilmu melalui disiplin yang tinggi. Ia menegaskan, “Aku tidur ketika sudah sangat payah dan makan ketika sudah sangat lapar.” Ia juga menunjukkan kerendahan hati dan ketekunan dengan terus belajar, bahkan dari murid-muridnya sendiri. Banyak ulama memuji keilmuan dan ketekunannya. Syekh Abu Hasan Ali bin Fadhal bin Ali al-Mujasyi’ berkata, “Sungguh aku tak pernah melihat seseorang yang sangat asyik mencari ilmu seperti Imam Haramain.” Syekh Ali bin Hasan bin Abi Thayyib menambahkan, “Ketika Imam Haramain menjelaskan ilmu fiqih, murid-murid mendapat cahaya baru, sebanding dengan setetes air di tengah hujan lebat.”
Imam Haramain adalah sosok yang cerdas dan tekundalam kehidupan spiritual. Imam Tajuddin as-Subki menceritakan, “Beliau mudah tersentuh, menangis saat merenung, bahkan murid-murid meneteskan darah dari kelopak mata karena ikut menangis mendengarkan beliau.” Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi dan al-Hafidz Abu Muhammad al-Jurjani menegaskan keunggulannya dalam hafalan, kefasihan, dan pengajaran. Syekh Abdul Ghafir al-Faris menyatakan, “Imam Haramain memimpin para ulama dan menjadi gudangnya ilmu syariah yang diakui di barat maupun timur.”
Karya-Karya Monumental
Karya-karya Imam Haramain mencerminkan keunggulannya dalam fiqih dan ushul fiqh. Ia menulis Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Mazhab sebagai karya monumentalnya yang merangkum seluruh pemikiran beliau. Ia juga menyusun Mukhtashar an-Nihayah, ringkasan dari Nihayah al-Mathlab yang lebih padat dan lengkap (Ibnu Subki, sebagaimana dikutip). Selain itu, ia menulis at-Talkhis fi Ushul al-Fiqh di Makkah sebagai penjelasan atas karya al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani.
Imam Haramain mendidik banyak murid yang menjadi ulama besar. Murid paling terkenal adalah Imam al-Ghazali (w. 505 H), yang menyerap ilmu fiqih dan ushul fiqh dalam waktu singkat serta menghasilkan karya monumental seperti al-Mustashfa. Murid lain termasuk Imad ad-Din Ilkiya al-Harrasi, Ibnu Qusyairi (w. 514 H), dan al-Khowwafi (w. 500 H), yang unggul dalam debat fiqih (Ibnu Asakir, Tanbih Kidzb al-Muftari).
Imam Haramain mengabdikan sisa hidupnya untuk jihad di jalan Allah dan membimbing generasi ulama hingga wafat pada malam Rabu, 25 Rabiul Awwal 478 H, pada usia 59 tahun lebih tiga bulan tujuh hari. Putranya, Abu Qasim, mengimami shalat jenazah beliau, menandai besarnya pengaruh Imam Haramain dalam dunia keilmuan Islam.
Kesimpulannya, Imam Haramain al-Juwaini tidak sekadar pengajar atau penulis kitab; beliau menjadi teladan ulama yang memadukan kecerdasan intelektual, keimanan, dan kedalaman spiritual. Karya-karyanya tetap menjadi rujukan utama dalam fiqh mazhab Syafi’i, dan murid-muridnya terus melanjutkan tradisi keilmuan hingga generasi berikutnya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
