Mode & Gaya
Beranda » Berita » Budaya Workaholic: Mengancam Kesehatan Tubuh dan Kualitas Ibadah

Budaya Workaholic: Mengancam Kesehatan Tubuh dan Kualitas Ibadah

SURAU.CO. Dunia kerja modern sering menjerumuskan kita pada standar produktivitas yang menipu. Di tengah hiruk-pikuk itu, istilah workaholic kian populer dan kerap disamakan dengan etos kerja keras. Padahal, keduanya berdiri pada landasan yang sangat berbeda. Pekerja keras memahami ritme dirinya: mereka tahu kapan harus menutup laptop, menarik napas, dan pulang kepada keluarga.

Anggapan mereka, waktu istirahat adalah bagian dari tanggung jawab, bukan kelemahan. Sebaliknya, seorang workaholic bekerja bukan karena tuntutan, melainkan karena kecanduan yang menggerakkan tanpa henti. Diam membuat gelisah, libur terasa salah, dan cuti seolah menjadi bentuk pengkhianatan. Dalam pola seperti ini, pekerjaan bukan lagi aktivitas, melainkan candu yang perlahan menguasai hidup.

Jebakan Hustle Culture dan Validasi Semu

Fenomena kecanduan kerja semakin menguat seiring berkembangnya hustle culture, budaya yang mengagungkan kesibukan tanpa henti sebagai tanda sukses. Dalam pola pikir ini, istirahat dianggap kelemahan, sementara bekerja terus-menerus menjadi simbol harga diri. Banyak anak muda bangga menyebut diri workaholic, padahal mereka sedang menumpuk kelelahan mental dan menguras energi tubuh perlahan-lahan.

Dorongan itu lahir dari kebutuhan akan validasi. Setiap pujian atasan memberi kepuasan sesaat, membuat mereka berlari makin cepat hingga melewati batas kewajaran. Akibatnya tak terhindarkan: waktu keluarga menyusut, kesehatan mental terganggu, dan nilai-nilai hidup sering terabaikan. Lebih tragis lagi, banyak yang tak sadar bahwa mereka sedang dieksploitasi—perusahaan untung, sementara hidup mereka makin tergerus.

Fenomena Suami Takut Istri: Meneladani Sikap Sahabat Nabi dan Psikologi Modern

Workaholic dan Dampak Buruk Bagi Fisik dan Mental

Gaya hidup gila kerja membawa konsekuensi yang sangat fatal. Secara fisik, risiko penyakit jantung dan gangguan tidur mengintai setiap saat. Sistem imun tubuh akan menurun drastis akibat kelelahan kronis.

Secara mental, pekerja rentan mengalami kecemasan, depresi, hingga burnout. Perasaan hampa sering muncul meskipun karier sedang menanjak. Hubungan sosial dengan keluarga pun menjadi renggang. Seseorang bisa merasa asing di dalam rumahnya sendiri. Ironisnya, banyak orang bekerja keras demi membahagiakan keluarga, namun justru keluargalah yang paling merasa kehilangan.

Pandangan Islam: Menjaga Keseimbangan (Tawazun)

Islam sangat menghargai umatnya yang bekerja keras. Bekerja merupakan bagian dari ibadah untuk mencari nafkah yang halal. Nabi Muhammad Saw bersabda:

“Sebaik-baik makanan yang dimakan seseorang adalah dari hasil usaha tangannya sendiri.” (HR. Bukhari)

Namun, Islam melarang segala sesuatu yang melampaui batas. Allah Swt tidak membenarkan pekerjaan yang menghilangkan hak diri sendiri dan hak orang lain. Prinsip tawazun atau keseimbangan adalah pondasi utama dalam ajaran Islam.

Frugal Living: Seni Hidup Sederhana dan Secukupnya

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Qashash: 77:

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ ۝٧٧

Latin: wabtaghi fîmâ âtâkallâhud-dâral-âkhirata wa tansa nashîbaka minad-dun-yâ wa aḫsing kamâ aḫsanallâhu ilaika wa tabghil-fasâda fil-ardl, innallâha yuḫibbul-mufsidîn

Arti: Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Fenomena Nikah Siri: Boleh Secara Agama, Tapi Berbahaya

Workaholic (Tidak) Memberi Hak pada Tubuh 

Tubuh kita memiliki hak yang wajib kita penuhi. Bekerja hingga lupa makan, lupa tidur, dan melalaikan shalat bukanlah bentuk produktivitas. Hal tersebut merupakan pelanggaran amanah dari Allah Swt.

Nabi SAW menegaskan: “Tubuhmu memiliki hak atasmu.” (HR. Bukhari)

Burnout dan stres ekstrem akibat kerja berlebih termasuk dalam kategori tadlih an-nafs atau menyakiti diri sendiri. Perbuatan ini haram hukumnya dalam Islam. Allah Swt memberikan peringatan keras melalui firman-Nya:

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An-Nisa’: 29)

Menjembatani Workaholic dengan Seni Bekerja Islami

Kita tidak perlu berhenti bekerja untuk terhindar dari workaholic; yang terpenting adalah cara bekerja yang lebih bijak. Ulama mengajarkan prinsip sederhana: letakkan pekerjaan pada porsinya—jadikan ia sarana ibadah, bukan tujuan. Rezeki datang dari Allah Swt, bukan dari jam kerja yang tak berujung.

Jaga waktu shalat karena ia menjadi jeda yang menenangkan sekaligus pengingat arah hidup. Rawat tubuh dengan istirahat yang cukup dan makan yang baik, sebab menjaga kesehatan juga bagian dari syukur. Tanamkan qanaah, merasa cukup, agar ambisi tidak membutakan. Rasulullah Saw bersabda, “Qanaah adalah harta yang tak pernah habis.”

Detik ini, saatnya berhenti sejenak dan menarik napas. Dunia mungkin terus mendorong kita berlari, tetapi Islam mengingatkan untuk melangkah dengan seimbang. Mengejar target pekerjaan itu boleh, namun jangan sampai tubuh menjadi korban dan jiwa kehilangan arah. Pada akhirnya, yang kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT bukanlah seberapa sibuk kita, tetapi bagaimana kita menjaga diri, waktu, dan amanah hidup. Wallahu a‘lam bish-shawab. (Kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement