SURAU.CO – Ini bukan bencana bung. Lebih dari itu, kalian lihat dengan mata dan mata jantung: ini bencana, dalam bencana, dengan bencana.
Kenapa rupanya? lihat di Sumatera hari ini air bah yang bukan datang tiba-tiba bukan satu-satunya yang menenggelamkan rakyat. Karena ancamannya sudah menggantung terpappang di langit data. Early warning system yang tidak bekerja. Kojo tak kojo kata orang Medan.
Tak tahu kah kelen kawan dan yang mengaku ketua semua. Yang lebih mematikan adalah kelambanan organ negara. Menjadi narasi ujaran kelalaian yang dikumandangkan Kepala BNPB. Dia garda terdepan bencana malah kelakuan mulutnya tak sensitif nasib muram rakyat korban bencana. Kelambanan dan tak sensitifnya BNPB menjelma jadi monster kedua setelah alam.
Banjir bandang menghajar kampung, namun gelombang paling ganas datang dari ruang rapat lembaga-lembaga yang harusnya segera terjun bebas menjaga nyawa rakyat.
Tengoklah Langkat porak-poranda
Air naik seperti tangan raksasa yang mencengkeram tanah. Tanjung Pura yang dulu gemahripah macam bukan lagi kota —tetapi cekungan air berwarna lumpur. Jirannya, Hinai pun hilang bentuk. Brandan tenggelam seperti babak terakhir yang ditulis oleh pena kelalaian.
Di Aceh, kampung lenyap seketika. Seorang ibu duduk di tanah, menatap kosong tempat rumahnya pernah berdiri. Warga teejabak. Lalu jalan kaki 100an kilometer dari Bener Meriah ke Bireun tanpa makan minum cukup, itu fakta. Ibu itu tak tau dan butuh istilah teknis. Ia hanya tahu satu hal: ini tsunami kedua, karena rasa kehilangan yang sama—bahkan lebih kejam.
Namun, di tengah kepanikan itu, seorang pejabat tertinggi BNPB berkata: “Ini cuma heboh di level medsos.” Macam gak ikut sekolah dasar ilmu akal dan absen madrasah amalan hati.
Wahai Ketua. Ucapan anda itu menyayat lebih tajam dari arus yang menyeret orang ke dasar sungai Wampu yang tak lagi mampu sampai DAS Batang Serangan yang tenggelam kena endapan puluhan tahun sampai tubir pesisir Bubun yang losap dimakan air kiriman.
Saya, Selwa Kumar, alimni USU, anak Medan asli tidak akan membiarkan penghinaan semacam itu lewat tanpa perlawanan akal.
Karena saya melihat data. Saya mendengar jeritan malam. Saya membaca realitas bukan catatan kertas. Dan saya tahu: ini bukan heboh—Bencana Sumatera ini tragedi besar. Bukan hanya Sibolga dan Langsa. Vukan cuma pray Tapanuli. Ini bencana nasional. Tak mungkin Indonesia tanpa Sumatera.
Bencana yang Membesar karena Negara Mengecil
Bencana alam bisa dimengerti. Tuhan marah. Alam lepas kendali. Tapi bencana setelah bencana? Itu hasil tangan manusia. Itu dosa kebijakan. Itu kejahatan kelalaian.
Mana perkakas dan fungsi early warning system? Mengapa alarm kelen tidak berbunyi. Koordinasi BNPB? Macet. Ekosistem penanggulangan bencana? Mati. Bantuan? Tersendat paling akut.
Pemerintah? Terlambat. Rakyat? Kelaparan.
Warga hidup dari sumbangan warga lain—sementara negara dan pejabat mengambil posisi penonton. Sembari angkat karung beras sok peduli. Tapi pena miliknya ijinkan hutan dimakan. Makan bersama kayaknya?!.
Bacalah dengan mata yang lain. Bencana tahap kedua muncul ketika negara tak gercep. Sistem BNPN tak hadir berlomba derasnya banjir. Maka, bencana tahap ketiga muncul ketika pejabat menyalahkan hujan.
Pejabat kehutanan berkata pohon tumbang sendiri, seolah hutan tidak dibantai bertahun-tahun. Seolah bukit runtuh karena kebetulan, bukan karena perut rakus yang menebang tanpa kendali.
Coba lihat bukit-bukit ompong dan botak itu gugur: sebagai longsor yang menghajar kampung, menenggelamkan kebun, menghancurkan jejak hidup. Itu bukan alam bekerja; itu bukti nyata pembalasan atas dosa ekologis. Kalau anda berakal dan beriman.
Dan tetap saja, tidak ada satu pun pejabat yang berdiri dan berkata: “Kami yang salah.”
Inilah bencana dalam bencana. Dan setelah itu masih ada bencana lagi—bencana, bencana dan bencana tanpa ada yang angkat tangan mengaku bertanggung jawab. Mana stok beras dari swasembada besar nasional itu. Hallo kemana wahai Bulog?
Seruan Alimni USU: Presiden Harus Menetapkan Bencana Nasional
Sumatera tidak butuh belas kasih.
Sumatera butuh negara kembali waras.
Ratusan nyawa hilang.
Ratusan masih hilang.
Pengungsian membengkak.
Harta rusak.
Psikologis rakyat remuk.
Atensi internasional masuk.
Apa lagi yang ditunggu? Rapat tambahan? Surat edaran? Atau angka korban yang lebih tinggi agar grafiknya terlihat dramatis? Apa tak segan jika Malaysia kirim.bantuan sannhadir dukuan ke kampung yang hilang di nangro Aceh pun nun Tapanuli Tengah?.
Saya alumni USU dan PP IKA USU tegaskan: “Bencana bukan statistik.
Jangan diskriminatif kepada Sumatera. Jangan biarkan republik ini menyesal karena lambat”.
Sumatera sedang berperang melawan maut. Dan negara bertindak seperti juri yang datang terlambat ke ruang sidang.
Wajar jika PP IKA USU Mendesak
- Tetapkan Bencana Nasional.
- Turunkan mesin negara total: militer, logistik, medis, evakuasi.
- Kepala BNPB koreksi retorika menyayat hati. Kerjakan dan buat tindakan menjangkau korban yang hilang, tak makan, kedinginan, tak lagi bisa marah murahan.
Ketahui dan sadarlah. Ketika negara lambat, rakyat mengubur korban dengan tangan sendiri yang lemah. Tapi doanya makbul menyoal jabatan sakral negara.
Ketika BNPB lemah, desa-desa menjadi korban berulang. Ketika pejabat meremehkan bencana, itu bukan sekadar salah ucap—itu pelecehan vulgar terhadap kemanusiaan.
Inilah suara saya, Selwa Kumar, menghadapi negara yang terlalu diam kepada bencana Sumatera. Sumatera tenggelam bukan hanya oleh air,
tetapi oleh dendam alam terhadap kelalaian manusia.
Jika Presiden tidak bergerak komandoi penanggulan benvana nasional Sumatera sekarang, sejarah yang akan mengadili. Rakyat Sumatera akan menilai arti IKN Jakarta.
Dan ketahuilah, sejarah selalu lebih kejam daripada air bah. (Selwa Kumar – Aktivis Budaya, Alumni USU, dan PP IKA USU bidang seni budaya)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
