Khazanah
Beranda » Berita » Mengapa Safinatun Najah Paling Banyak Disyarahi?

Mengapa Safinatun Najah Paling Banyak Disyarahi?

Mengapa Safinatun Najah Paling Banyak Disyarahi?
Ilustrasi

SURAU.CO – Di kalangan pemula dalam studi fikih, para santri menganggap Safinatun Najah sebagai kitab sederhana yang membahas dasar-dasar ibadah. Bahasa yang mudah dan penyajiannya yang ringkas membuat para santri memilih kitab ini sebagai pegangan awal di banyak pesantren. Namun, di balik bentuknya yang sederhana, Safinah memegang peran besar dalam sejarah intelektual Islam, terutama di Nusantara. Jejak keilmuannya tidak berhenti pada pengarangnya, tetapi justru melahirkan mata rantai literasi dan jaringan ulama lintas wilayah.

Syekh Salim bin Abdullah bin Saad bin Sumair al-Hadrami menulis Safinatun Najah pada abad ke-19. Ulama keturunan Hadramaut ini memilih menetap di Batavia, kota pelabuhan kosmopolit yang mempertemukannya dengan beragam tradisi keilmuan. Dengan karyanya yang ringkas ini, Syekh Sumair membuka jalan bagi teks yang kemudian mengalirkan pengaruh besar dalam kurikulum banyak pesantren.

Walaupun hanya terdiri dari sekitar 16 lembar naskah, Safinah berhasil membangun jaringan ulama lintas generasi. Para peneliti menemukan banyak manuskrip kitab ini di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, sebuah tanda bahwa kitab ini beredar luas di kalangan Muslim Nusantara. Peredaran yang luas ini menunjukkan bahwa para ulama menjadikan Safinah bukan sekadar bahan pelajaran dasar, tetapi juga titik awal untuk menulis syarah, hasyiyah, hingga nazam.

Ginanjar Syaban dalam diskusi ilmiah Islam Nusantara Center (INC) menjelaskan bahwa para ulama menaruh perhatian sangat besar pada Safinatun Najah. Ia menyebut beberapa kitab ringkas lain seperti Ghayat al-Taqrib, al-Riyadh al-Badi‘ah, Masail al-Ta‘lim, atau al-Durar al-Bahiyyah. Namun, para ulama justru lebih banyak menulis syarah untuk Safinah daripada kitab-kitab sejenis. Fenomena ini memperlihatkan bahwa Safinah mampu menarik minat ulama dari berbagai latar belakang dan daerah, sehingga menjadi magnet intelektual dalam tradisi fikih pemula.

Syarah dari Para Ulama Besar: Dari Batavia hingga Makkah

Syekh Nawawi al-Bantani, murid langsung Syekh Sumair, mencatat kontribusi besar ketika ia menulis Kasyifatussaja fi Syarh Safinatin Najah pada tahun 1875. Percetakan-percetakan di Saudi, Lebanon, dan Turki mencetak karya ini berkali-kali. Fakta tersebut menunjukkan bahwa para ulama di Timur Tengah menerima Safinah dan memasukkannya ke dalam lingkaran kajian fikih klasik.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Syekh Utsman bin Said Tangkil, ulama Jambi yang mengajar di Makkah, juga memberi kontribusi melalui syarahnya berjudul Sullamul Raja pada tahun 1932. Madrasah Shaulatiyyah—salah satu lembaga pendidikan terkemuka di Makkah—menggunakan kitab ini sebagai rujukan. Meskipun masyarakat Indonesia kurang mengenal kitab tersebut, peran Syekh Utsman dalam jaringan keilmuan internasional tetap menonjol.

Dari Sullamul Raja, Kiai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq dari Pasuruan melanjutkan tradisi intelektual dengan menazhamkannya menjadi Tanwir al-Hija. Ia membuat nazam ini saat masih remaja. Kekaguman terhadap karya ini tampak ketika Syekh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki, seorang mufti Malikiyah di Makkah, menulis syarah atas nazam tersebut dengan judul Inarah al-Duja. Syekh Maliki secara terbuka menyebut bahwa ia menulis syarah itu untuk mengambil berkah dari karya Kiai Qusyairi—sebuah pengakuan yang menunjukkan apresiasi luar biasa terhadap ulama muda Nusantara.

Fenomena ini menegaskan bahwa para ulama dari mazhab Maliki pun menghargai teks fikih yang berakar pada mazhab Syafi’i. Jaringan keilmuan pun berkembang tanpa terbatasi mazhab maupun wilayah.

Kreativitas Ulama Nusantara: Dari Nazam hingga Syarah Baru

Para ulama Nusantara terus memperkaya tradisi syarah dan nazam atas Safinah. Kiai Ma’shum Siraj dari Cirebon menciptakan nazam Nail al-Raja, lalu Kiai Sahal Mahfudz menulis syarahnya dengan judul Faid al-Hija. A. Ginanjar menilai bahwa Kiai Sahal merupakan ulama terakhir yang menunjukkan semangat penulisan sangat kuat, dan syarah ini menjadi bukti keseriusannya dalam literasi keilmuan.

Selain karya-karya tersebut, para ulama di Nusantara juga menulis syarah Safinah dalam bahasa lokal seperti Melayu, Sunda, dan Jawa. Upaya ini memperlihatkan bahwa Safinah telah menembus batas linguistik dan geografis, sekaligus memperkuat penerimaan kitab ini di berbagai komunitas santri.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Jika kita melihat melalui perspektif kosmopolitanisme teks, Safinatun Najah menjadi contoh kuat bagaimana sebuah karya kecil mampu menciptakan jaringan ulama yang luas. Dari Batavia, kitab ini melahirkan syarah di Banten, Jambi, Makkah, Pasuruan, Cirebon, hingga pusat-pusat keilmuan Timur Tengah. Kitab ini mempertemukan murid dan guru, ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah, serta tradisi lokal dan global. Dengan hanya 16 lembar, Safinah berhasil menembus generasi dan wilayah, menghubungkan para ulama dalam jaringan intelektual yang terus berkembang.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement