SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam mengatakan:
“Di antara tanda Allah Swt. menempatkan kita di suatu tempat adalah Dia menempatkan kita di dalamnya serta berbagai keuntungan yang bisa kita dapatkan.”
Di antara tanda bahwa Allah Swt. memberikan kedudukan mulia kepada kita di hadapan-Nya adalah ketika kita ditempatkan di salah satu sifat-Nya yang mulia. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Dia memiliki berbagai sifat, di antaranya ada yang menunjukkan kemuliaan, seperti Maha Agung, Maha Mulia, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan lain sebagainya. Dan, ada juga sifat yang menunjukkan keagungan, seperti Maha Perkasa, Maha Sombong, dan Maha Tinggi, dan lain sebagainya.
Jikalau seorang hamba rajin beribadah, kemudian memiliki sifat-sifat kemuliaan, itu artinya Allah Swt. telah menempatkannya di posisi yang baik dan menghubungkannya dengan diri-Nya. Sebaliknya, jikalau ibadahnya itu tidak menghasilkan apa-apa, maka ia tidak boleh menyandarkan kedudukan yang dimiliki kepada-Nya. Hal ini adalah sebagai adab kepada Sang Penguasa. Katakanlah, bahwa setanlah yang menempatkannya dalam posisi yang tidak baik itu.
Kebaikan Adalah Karunia dari Allah
Syekh Ibnu ‘Athaillah menyebutkan:
“Barang siapa yang menampakkan kebaikannya, maka kesalahan akan menghentikannya. Dan, barang siapa yang menampakkan kebaikan Allah Swt. kepadanya, maka ia tidak akan berhenti berbicara saat terjadi kesalahan.”
Jikalau kita mendapati seseorang yang mengungkapkan kebaikannya kepada kita, baik dengan lisan maupun perbuatan, seolah-olah ia sendirilah yang melakukannya dengan kuasanya, maka ketahuilah bahwa ia adalah orang yang kurang akal dan tidak punya rasa malu.
Jikalau suatu hari ia melakukan kesalahan, maka ia akan merasa malu dan tidak akan membicarakannya lagi. Misalnya, ada seseorang mengatakan kepada kita bahwa ia beribadah dengan sangat khusyuk, seolah-olah ia berhadapan langsung dengan Allah Swt. Kemudian, jikalau suatu hari kita mendapati perbuatannya tidak sesuai dengan sesuatu yang telah dikatakan, dan kita mengungkapkan hal itu kepadanya secara terang-terangan, maka ia akan malu dan kehilangan kata-kata.
Jikalau kita mendapati seseorang yang mengungkapkan kebaikan dan menyandarkannya kepada Allah Swt., maka ketahuilah bahwa ia adalah hamba yang beruntung. Jikalau suatu hari kita mendapatinya melakukan kesalahan, kemudian kita mengungkapkannya kepada orang tersebut, maka ia akan berusaha untuk memperbaikinya.
Orang seperti ini menyadari bahwa sesuatu yang didapatkan selama ini, baik nikmat ibadah, harta, dan lain sebagainya, adalah karunia dari Allah Swt. Jikalau ia melakukan kesalahan, maka itu adalah tabiat aslinya yang memang Dia ciptakan seperti itu. Tugasnya hanyalah beribadah. Jikalau orang tersebut berbuat kesalahan, maka ia akan bertaubat kepada-Nya.
Oleh karena itu, janganlah kita besar mulut dengan membanggakan ketaatan kita kepada orang lain, seolah-olah semua itu terjadi berkat usaha kita sendiri. Tidak, sekali lagi tidak. Itu adalah karunia Allah Swt. yang Dia berikan kepada kita. Syukurilah karunia Allah Swt. itu, dan jangan takabur.
Cahaya Orang Bijak Mendahului Ucapannya
Syekh Ibnu ‘Athaillah menerangkan:
“Cahaya orang-orang yang bijak mendahului perkataan mereka. Ketika cahaya itu terpancar, maka nasihat pun akan sampai di hati.”
Ahli hikmah adalah orang-orang yang mendapatkan cahaya dari Allah Swt. Sehingga, mereka mampu mengetahui perkara-perkara yang sulit, kemudian mengungkapkannya dengan bahasa yang singkat dan mudah dimengerti oleh orang lain. Biasanya, mereka tampil di hadapan khalayak dengan secara biasa-biasa saja, tanpa menunjukkan sikap sombong sedikit pun atau merasa hebat.
Hati mereka penuhi oleh cahaya, sehingga kata-kata yang mereka ungkapkan penuh makna dan hikmah. Semakin terang cahaya hati mereka, semakin benar ungkapan mereka, dan semakin dalam pula maknanya. Sebaliknya, jikalau cahaya mereka redup, maka kata-kata yang mereka ungkapkan pun kurang mengenai sasaran.
Cobalah kita perhatikan para nabi itu. Ungkapan mereka sangat indah dan menarik, serta sesuai dengan realitas. Hal itu tidak akan terjadi, kecuali karena hati mereka semakin terang dan penuh dengan cahaya keimanan. Kemampuan wali Allah Swt. berada satu tingkat di bawah mereka, yaitu sesuai dengan tingkat keimanan mereka. Begitulah seterusnya hingga sampai ke derajat kaum mukminin lainnya.
Kita tidak akan mungkin mendapatkan cahaya seperti yang para nabi dapatkan. Sebab, mereka adalah matahari, sedangkan kita adalah bulan atau bintang. Intinya, semakin rajin kita menjalankan ajaran agama, maka semakin terang cahaya kita.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
