SURAU.CO. Isu nikah siri kembali ramai, terutama setelah beberapa kasus artis mencuat. Di satu sisi, sebagian orang membelanya dengan alasan “yang penting sah secara agama”; namun di sisi lain, semakin banyak yang mempertanyakan etika dan dampaknya bagi perempuan. Di sinilah kita perlu melihat persoalan ini secara lebih utuh.
Memang benar nikah siri sah secara syariat, tetapi sah saja tidak cukup. Pernikahan bukan hanya ijab–kabul, melainkan juga ikatan sosial yang menjamin perlindungan bagi istri dan kepastian bagi anak. Ketika unsur sosial ini diabaikan, maka pernikahan berubah menjadi ruang rentan yang mudah melukai pihak yang lemah.
Karena itu, MUI menegaskan bahwa nikah siri bisa jadi haram apabila menimbulkan mudarat. Dengan demikian, persoalan nikah siri tidak boleh berhenti pada sah tidaknya akad, melainkan harus dilihat dari apakah praktik tersebut menghadirkan kemaslahatan atau justru membuka jalan bagi ketidakadilan.
Kesahihan Ibadah Belum Tentu Menjamin Keadilan
Kita mengakui bahwa nikah siri sah secara fikih selama syarat dan rukunnya terpenuhi. Syariat Islam klasik memang tidak mensyaratkan pencatatan administratif negara secara eksplisit. Namun, kita harus mengingat tujuan utama syariat (Maqashid Syariah) yakni hadir untuk menjaga keturunan, menegakkan keadilan, dan melindungi kaum lemah.
Di sinilah letak permasalahan utamanya. Praktik nikah siri sering kali berseberangan dengan tujuan mulia tersebut. Perempuan kehilangan perlindungan negara saat akad suci terjadi tanpa pencatatan resmi. Istri tidak memiliki landasan hukum untuk menuntut haknya.
Bayangkan jika suami lalai memberikan nafkah. Istri tidak bisa menempuh jalur hukum untuk menuntut keadilan. Situasi akan semakin buruk jika terjadi perceraian. Istri akan terperangkap dalam ruang hampa tanpa kejelasan status. Nasib anak-anak juga menjadi taruhan. Mereka harus berjuang keras untuk mendapatkan identitas sipil. Padahal, akta kelahiran adalah hak dasar setiap warga negara.
Hal-hal mengerikan tersebut bukan sekadar asumsi belaka. Realitas ini terjadi berulang kali di sekitar kita. Kasus-kasus yang menimpa para artis belakangan ini hanyalah puncak gunung es. Ribuan perempuan lain mungkin mengalami nasib serupa tanpa terekspos media.
Oleh karena itu, pernyataan MUI sangat beralasan. Sah tapi haram bukan berarti akadnya salah tetapi karena dampak buruk sosial atau mudharat yang timbul. Praktik ini justru mencederai tujuan perlindungan dalam syariat itu sendiri.
Nikah Siri Vs Poligami
Mengapa nikah siri masih marak terjadi? Salah satu pemicunya adalah keinginan sebagian pria untuk berpoligami. Mereka ingin menikah lagi tanpa perlu meminta izin istri pertama.
Padahal, negara tidak melarang poligami secara mutlak. Negara hanya mengatur mekanismenya. Tujuannya adalah memastikan semua pihak mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum. Sayangnya, banyak orang menyalahgunakan nikah siri.
Mereka menjadikan akad sebagai celah untuk lari dari tanggung jawab. Beberapa oknum menjadikan akad nikah sebagai tameng. Mereka ingin hubungan tersebut terlihat “halal” secara agama. Namun, praktiknya justru menciptakan relasi yang timpang.
Pihak perempuan sering kali menjadi pihak yang paling dirugikan. Mereka terombang-ambing tanpa kepastian saat konflik rumah tangga pecah. Kita perlu merenungkan satu pertanyaan penting.
Pencatatan Nikah Adalah Adab Modern
Kita tidak boleh memandang pencatatan nikah sebagai formalitas belaka. Lembaran kertas negara itu adalah jaring pengaman sosial. Fikih kontemporer menyebut hal ini sebagai istihsan atau kebijakan demi kebaikan umat. Negara hadir untuk menjamin hak-hak warganya. Adapun pencatatan pernikahan memberikan banyak manfaat nyata, antara lain:
- Memberikan kejelasan status nasab anak.
- Menjamin hak waris yang kuat secara hukum.
- Membuka akses hukum terhadap tuntutan nafkah.
- Melindungi istri dari manipulasi pasangan.
- Memberikan status hukum yang tegas dan tidak bisa dipermainkan.
Para ulama menyadari pentingnya aspek administratif ini. KH Cholil Nafis pernah memberikan pernyataan yang sangat relevan. Beliau menegaskan: “Jika akad tanpa pencatatan menimbulkan mudharat, maka hukumnya haram.”
Pandangan ini bukan bentuk perubahan syariat. Ini adalah penerapan syariat yang cerdas dalam konteks zaman yang terus berubah. Kita harus beragama dengan nalar yang sehat dan peka terhadap kondisi sosial.
Mengejar Kualitas, Bukan Sekadar Legalitas
Fenomena nikah siri memberikan pelajaran berharga bagi kita semua. Tidak semua hal yang sah itu pasti baik dampaknya. Tidak semua hal yang boleh dilakukan itu layak untuk kita jalankan. Sesuatu yang sesuai fikih belum tentu selaras dengan nilai kemanusiaan jika penerapannya keliru.
Fatwa “sah tapi haram” pada nikah siri sesungguhnya adalah panggilan moral bagi umat Islam. Seruan ini mengajak kita untuk lebih dewasa dalam menjalankan agama. Jangan jadikan syariat sebagai jalan pintas pemuas nafsu. Jadikanlah syariat sebagai cahaya yang menuntun kita menuju keadilan sejati. wallahu a’lam bish-showab. (kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
