Khazanah
Beranda » Berita » Menyaksikan Allah dalam Segala: Hikmah Makrifat dalam Al-Hikam

Menyaksikan Allah dalam Segala: Hikmah Makrifat dalam Al-Hikam

Ilustrasi hamba yang menyucikan diri dengan berdzikir.
Ilustrasi hamba yang menyucikan diri dengan berdzikir.

SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari  dalam Al-Hikam mengatakan:

“Barang siapa yang mengenal Allah Swt., maka ia akan menyaksikan-Nya di dalam segala sesuatu. Barang siapa yang fana karena bersama-Nya, maka ia akan lenyap dari segala sesuatu. Barang siapa yang mencintai-Nya, maka ia tidak akan mengutamakan apa pun selain-Nya.”

Barang siapa yang mengenal Allah Swt., maka ia akan melihat-Nya di dalam segala sesuatu. Setiap kali menyaksikan alam semesta ini, maka keyakinannya tentang kebenaran Allah Swt. akan semakin besar. Tidak ada yang mampu mengatur hembusan angin, turunnya hujan, dan perputaran tata surya, kecuali Dzat Yang Maha Kuasa.

Barang siapa yang larut dalam cahaya Allah Swt. yang tertambat di dalam hati setiap hamba, maka ia akan lenyap dari segala sesuatu. Pandangannya hanya tertuju kepada-Nya. Apakah kita tidak menyaksikan bahwa seandainya matahari tidak terbit, apakah bulan dan bintang-bintang masih mampu menampakkan sinarnya?!

Barang siapa yang mencintai Allah Swt., maka ia tidak akan mendahulukan apa pun selain diri-Nya. Ketika ada bentrokan antara kepentingan pribadi dengan sesuatu di jalan-Nya, maka ia akan mendahulukan kepentingan Allah Swt. Misalnya, ketika ada panggilan dakwah, sedangkan pada saat yang bersamaan panggilan dunia juga menyerunya, maka ia akan mendahulukan panggilan-Nya. Atau, ketika ada panggilan untuk berkorban harta di jalan-Nya, kemudian ada juga rayuan untuk membeli mobil baru, maka ia lebih mendahulukan kepentingan-Nya, bukan kepentingan pribadi atau hawa nafsu. Begitulah di antara contoh nyata yang bisa kita temukan di dalam kehidupan sehari-hari orang yang mencintai Allah Swt. Intinya, kerahkanlah seluruh kemampuan dan hidup kita untuk mengenal-Nya, karena itulah kehidupan yang sebenarnya.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Penyebab Allah Terhijab dari Kita

Syekh Ibnu ‘Athaillah menegaskan :

“Sesungguhnya, penyebab Allah Swt. tidak terlihat oleh kita adalah karena sangat dekat-Nya dengan kita.”

Allah Swt. terhijab dari kita karena kedekatan-Nya yang luar biasa dengan kita. Kedekatan yang dimaksud di sini adalah kedekatan yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, bukan seperti kedekatan biasa layaknya manusia seperti yang kita bayangkan.

Cobalah kita perhatikan, bagaimana jikalau sesuatu itu berada tepat di hadapan kita, bahkan menempel ketat. Apakah kita bisa menyaksikannya? Tentu tidak, bahkan sesuatu itu akan menutupi pandangan kita. Berbeda halnya dengan sesuatu yang memiliki jarak dengan mata kita, maka kita akan mampu melihatnya dengan jelas.

Misalnya, jikalau ada gajah tepat berada di pelupuk mata kita, tentu pandangan kita akan tertutup dan sama sekali tidak mampu menyaksikan belalainya, badannya yang gemuk, dan telinganya yang besar. Namun, jikalau gajah itu berada agak jauh dari pandangan kita, walaupun hanya satu meter, maka kita akan mampu menyaksikan badannya dengan semua sisinya. Begitulah kira-kira ilustrasi tentang ketajaman pandangan mata. Sedangkan Allah Swt. tentu lebih mulia dan lebih agung dari contoh rendahan ini.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Cahaya Allah yang Agung

Syekh Ibnu ‘Athaillah berpesan:

“Allah Swt. terhijab karena kejelasan-Nya sangat tinggi, dan Dia tersembunyi dari pandangan makhluk karena keagungan cahaya-Nya.”

Allah Swt. terhijab dari pandangan mata lantaran keberadaan-Nya sangat jelas. Semua yang ada di dunia ini menunjukkan keagungan dan kemahahebatan-Nya. Alam semesta ini terlampau kecil dan hina untuk menerima eksistensi-Nya Yang Maha Agung.

Pandangan manusia yang lemah tidak akan mampu melihat Allah Swt. Sebab, cahaya-Nya sungguh luar biasa. Jikalau kita sekarang berada di siang hari yang terik, cobalah kita melihat matahari secara langsung. Apakah kita mampu melakukannya? Tidak, sama sekali tidak. Dan, cahaya-Nya lebih hebat lagi dari cahaya makhluk-Nya itu.(St.Diyar)

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement