SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam mengatakan:
“Peran nafsu dalam maksiat itu jelas dan nyata. Sedangkan perannya dalam ketaatan itu tidak tampak dan tersembunyi. Oleh sebab itu, memperbaiki sesuatu yang tersembunyi tentu lebih sulit.”
Peran nafsu dalam perbuatan maksiat sangat kentara. Bahkan, semua maksiat yang kita lakukan, penggerak utamanya adalah nafsu. Jikalau kita mencuri, maka itu adalah dorongan nafsu untuk mendapatkan harta. Jikalau kita berzina, maka itu adalah dorongan nafsu syahwat. Seandainya kita mencaci dan menghina orang lain, maka itu adalah dorongan nafsu dominasi. Siapa pun bisa mengenal hal ini, bahkan anak kecil sekalipun.
Sulitnya Mendeteksi Nafsu dalam Ketaatan
Namun, jikalau kita ingin membahas peran nafsu dalam ketaatan, maka itu sangat sulit terdeteksi, kecuali oleh Allah Swt. Jikalau kita bertanya kepada orang lain, maka ia tidak akan mengetahuinya sama sekali. Bagaimana mungkin ia mengetahui adanya peran nafsu dalam diri kita ketika kita beribadah? Ini adalah urusan hati dan merupakan perkara gaib.
Banyak di antara ahli ibadah yang mampu menghindarkan diri mereka dari peranan nafsu dalam maksiat. Namun, tidak banyak yang mampu menyelamatkan diri mereka dari peranan nafsu dalam ketaatan. Sebagaimana kita ketahui, jikalau ada seorang hamba yang rajin beribadah dan selalu menjalankan ketaatan kepada-Nya, maka segenap manusia akan menghormati dan mengagungkannya.
Sering kali, hal-hal seperti ini justru mendorong ibadah kita ditunggangi oleh nafsu, yaitu nafsu ketenaran. Berhati-hatilah dengan masalah sepele seperti ini, sebab justru akan menyedot amal kebajikan kita sehingga tidak ada lagi yang tersisa sedikit pun.
Beribadahlah dengan tulus karena mengharapkan ridha-Nya. Jangan sampai nafsu berperan dalam ketaatan kita. Sebab, hal tersebut akan sangat merugikan kita di dunia dan akhirat kelak. Di dunia, kita hanya akan memperoleh kelelahan semata. Tidak ada pahala yang kita dapatkan. Di akhirat, kita akan mendapatkan siksaan-Nya karena kita telah menyekutukan-Nya dengan tujuan lainnya, yaitu ketenaran. Ibadah yang kita lakukan tidak ada artinya sama sekali.
Penjelasan Tentang Riya’
Syekh Ibnu ‘Athaillah berpesan:
“Bisa jadi, riya’ itu menyusup ke dalam diri kita dari arah yang tidak terlihat oleh para makhluk.”
Riya’ adalah salah satu bentuk kesyirikan yang Allah Swt. benci. Sifat ini tidak tampak jikalau terlihat dengan mata telanjang, namun bisa dirasakan oleh pelakunya sendiri. Sikap ini harus kita jauhi dan hindari agar amalan yang kita kerjakan tidak sia-sia dan beterbangan layaknya debu yang ditiup angin.
Biasanya, riya’ dikenal dengan sikap menampakkan ibadah atau ketaatan di hadapan orang banyak. Misalnya, ketika kita shalat, maka kita sengaja mengerjakannya di hadapan khalayak ramai dengan penuh kekhusyukan dan dipanjangkan waktunya, agar mereka mengira bahwa kita orang shalih yang layak dicontoh dan dihormati.
Menghindari Riya’ untuk Riya’
Menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah ada satu sikap yang lebih sulit lagi kita cerna, yaitu ketika kita menghindari riya’ justru untuk riya’. Apakah kita bisa memahaminya? Jikalau belum, begini gambarannya. Ketika kita mengerjakan shalat, kita sengaja menghindari khalayak agar tidak mereka sangka riya’. Kemudian, kita sengaja berkhalwat dan menyendiri. Namun, di balik semua itu, kita justru ingin terlihat dan mendapat oleh orang lain. Kita ingin menjadi buah bibir manusia,
“Lihatlah si Fulan bin Fulan. Ia sangat rajin beribadah dan berkhalwat. Kita memang tidak menyaksikan ibadahnya di depan umum, karena ia melakukannya secara sembunyi-sembunyi.”
Jikalau ada rasa ingin mendapat pujian di balik khalwat yang kita lakukan, maka di sanalah riya’ yang tidak terlihat oleh khalayak. Justru sikap ini lebih berbahaya lagi dari riya’ yang kita lakukan di hadapan orang banyak. Jikalau kita tidak segera menyadarinya, maka kita akan larut di dalamnya. Akhirnya, amal ibadah yang kita kerjakan akan sia-sia belaka. Apalah gunanya amalan yang tidak ada nilainya sama sekali di hadapan Sang Khaliq?! Berhati-hatilah. Jangan sampai kita masuk ke dalam perangkap setan.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
