SURAU.CO.Dunia pendidikan kita hari ini menghadapi tantangan besar. Banyak yang cerdas secara akademik, tetapi lemah dalam etika. Fenomena ini muncul karena pendidikan lebih menonjolkan pengetahuan daripada pembentukan karakter. Pesantren sudah lama menyadari hal ini. Mereka memegang teguh prinsip al-adabu fauqal ‘ilm—adab harus mendahului ilmu. Prinsip ini bukan sekadar slogan, tetapi nilai yang diwariskan melalui keteladanan dan kitab-kitab bermutu. Salah satunya adalah Izzul Adab fi Tarjamatil Mathlab.
Karya Syekh Al-Muntakhab Ibnu Muwafiq ini menjadi pengingat penting tentang hakikat menuntut ilmu. Ia menegaskan bahwa ilmu tanpa adab ibarat pohon besar tanpa akar: mudah tumbang ketika angin datang.
Izzul Adab: Jembatan Budaya Lewat Tradisi Pegon
Pesantren mengajarkan kitab ini dengan cara yang khas. Para santri mempelajarinya melalui metode makna gandul atau Jawa Pegon, sebuah teknik yang bukan sekadar alat penerjemahan, tetapi juga jembatan budaya. Melalui tulisan Arab yang diberi makna Jawa, santri tidak hanya memahami teks, tetapi juga menghubungkannya dengan kearifan lokal yang mereka hidupi setiap hari.
Cara belajar ini membuat pesan moral kitab terasa sangat dekat. Santri seperti bercermin ketika membacanya; mereka tidak hanya menghafal teori etika, tetapi juga menangkap bagaimana adab itu dipraktikkan dalam keseharian. Melalui proses tersebut, Izzul Adab berubah dari sekadar bacaan teoretis menjadi pedoman hidup yang membentuk karakter dan perilaku mereka.
Empat Pilar Utama Menuntut Ilmu dalam Izzul Adab
Syekh Al-Muntakhab menyusun Izzul Adab dengan struktur yang rapi dan bertahap. Ia menegaskan empat poros adab yang wajib dimiliki santri: kepada Allah, orang tua, guru, dan sesama teman. Urutan ini bukan kebetulan, tetapi menunjukkan bahwa keberhasilan belajar sangat dipengaruhi oleh kualitas hubungan santri dengan empat pihak tersebut.
Poros pertama adalah adab kepada Allah Swt. Di sinilah segalanya bermula. Santri dituntut menata niat agar ikhlas. Hati yang jernih menjadi wadah terbaik bagi cahaya ilmu. Sebaliknya, belajar tanpa keikhlasan hanya akan melahirkan kesombongan intelektual—pelajar mengejar pujian, bukan kebenaran.
Setelah itu, Syekh Al-Muntakhab mengarahkan perhatian kepada orang tua. Mereka adalah sebab keberadaan kita, dan ridha mereka menjadi pintu terbukanya pemahaman. Mustahil seorang anak memperoleh keberkahan ilmu bila ia menyakiti hati orang tuanya. Meski sederhana, prinsip ini sering terlupakan oleh generasi muda yang lebih sibuk mengejar prestasi daripada merawat restu keluarga.
Memuliakan Guru Sebagai Kunci Rahasia Ilmu
Bagian paling sentral dari Kitab Izzul Adab membahas hubungan murid dengan guru. Syekh Al-Muntakhab menempatkan guru pada posisi yang sangat mulia. Guru bukan sekadar penyalur informasi. Mereka adalah wasilah atau perantara sampainya sanad keilmuan. Sikap meremehkan guru bisa berakibat fatal. Hal itu dapat memutus mata rantai keberkahan ilmu.
Para kiai pesantren sering menguatkan poin ini dengan syair. Mereka kerap mengutip nadzam yang berbunyi:
وَمَنْ لَمْ يَكُنْ بِالشَّيْخِ يَرْضَى دَلِيلُهُ
فَسِرُّ الْعُلُوْمِ عَلَيْهِ لَنْ يَنْفَتِحَا
“Barang siapa tidak ridha dan hormat kepada gurunya, maka rahasia ilmu tidak akan pernah terbuka baginya.”
Harmoni Sosial di Lingkungan Pesantren
Pilar terakhir dalam kitab ini menyoroti hubungan antar teman. Kehidupan pesantren adalah miniatur masyarakat. Santri bertemu dengan berbagai karakter dan latar belakang berbeda. Gesekan sosial pasti terjadi di sana. Izzul Adab mengajarkan pentingnya mengelola ego dan emosi.
Syekh Al-Muntakhab mengajak santri untuk membangun persaudaraan. Ruang belajar bukan hanya tempat mengasah otak. Ia juga tempat melatih kesabaran dan toleransi.
Kitab Izzul Adab dan Relevansi Adab di Era Modern
Kekuatan Kitab Izzul Adab terletak pada relevansinya yang tak lekang waktu. Kita hidup di era di mana informasi begitu mudah didapat. Namun, kemudahan ini sering membuat orang lupa diri. Banyak pelajar ingin cepat pintar tanpa melalui proses yang tertib. Mereka mengabaikan sopan santun demi ambisi pribadi.
Kitab ini memberikan teguran keras sekaligus solusi. Ilmu yang bermanfaat pasti lahir dari adab yang baik. Adab bukanlah pelengkap atau aksesoris semata. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari ilmu itu sendiri. Ulama terdahulu telah menegaskan hal ini lewat syair:
تَعَلَّمْ فَإِنَّ الْعِلْمَ زَيْنٌ لِأَهْلِهِ
وَلَكِنْ أَدِبْ نَفْسَكَ الْيَوْمَ أَوَّلاَ
“Belajarlah, karena ilmu adalah hiasan bagi pemiliknya, tetapi didiklah akhlakmu terlebih dahulu sebelum belajar.”
Argumentasi ini sangat jelas. Kita harus mendidik karakter sebelum mengisi otak dengan pengetahuan. Kitab Izzul Adab fi Tarjamatil Mathlab layak menjadi pegangan utama pendidikan karakter kita. Ia memadukan nilai spiritual, sosial, dan budaya. Mari kita kembali menjadikan adab sebagai panglima dalam setiap proses pencarian ilmu.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
