SURAU.CO – Syaikh Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad al-Hishni al-Husaini—yang para penuntut ilmu kenal sebagai Abu Bakar al-Hishni—menjadi salah satu ulama terkemuka dalam tradisi pesantren. Para santri menghafal namanya melalui karya besarnya, Kifayatu al-Akhyar fi Halli Ghayati al-Ikhtishar, kitab yang memandu mereka memahami fikih Imam Syafi’i. Beliau tidak hanya menguasai fikih, tetapi juga menonjol sebagai ahli tasawwuf dengan akhlak yang mulia dan keteladanan yang kuat. Nasab mulianya yang bersambung kepada Rasulullah ﷺ turut menguatkan kehormatan beliau dalam tradisi keilmuan Islam.
Sebutan “al-Hishni” menunjukkan bahwa beliau berasal dari Hauran, sebuah wilayah di Damaskus. Para ulama kemudian menjulukinya dengan gelar “Taqiyuddin” karena beliau menonjol dalam ilmu fikih madzhab Syafi’i. Abu Bakar al-Hishni lahir pada tahun 752 H di Hauran. Sejak kecil, beliau memilih untuk pindah ke Damaskus demi menuntut ilmu. Saat itu, Damaskus menjadi pusat pendidikan Islam dan menarik banyak guru besar dari berbagai disiplin ilmu.
Di kota itu, beliau belajar kepada banyak tokoh ternama seperti Syaikh Ibnu al-Syuraisyi, Syaikh Syihabuddin al-Zuhri, Syaikh Najmuddin bin al-Jabi, Syaikh Syamsuddin al-Sharkhady, Syaikh Syarafuddin al-Ghazzi, dan Syaikh Badruddin bin Maktum. Mereka membimbing beliau hingga menguasai bidang fikih, tasawwuf, dan akidah secara mendalam.
Abu Bakar al-Hishni memperlihatkan akhlak luhur dan sifat tawadhu dalam kesehariannya. Beliau tampil sebagai seorang sufi yang bersahaja, ramah, dan mudah bergaul. Meski menempati posisi sebagai guru besar, beliau tetap menjaga hubungan yang hangat dengan murid-muridnya. Beliau sering menemani mereka berkumpul, berjalan, bahkan bermain, sambil tetap menjaga kehormatan sebagai seorang guru.
Ujian hidup tidak membuatnya goyah. Ketika tentara Tamarlenk, keturunan Jengis Khan, menyerang Damaskus dan menimbulkan kerusakan besar, beliau tetap melanjutkan aktivitas belajar dan mengajar. Keteguhan ini menunjukkan komitmen kuatnya terhadap ilmu. Setelah para mujahidin berhasil menghalau serangan itu, nama beliau kembali menarik perhatian para penuntut ilmu di Syam. Beliau kemudian membatasi perkataan hanya untuk keperluan ilmu, namun tetap membuka diri bagi para qadhi dan pejabat yang membutuhkan nasihat. Semangat kezuhudannya semakin tampak dalam fase ini.
Karya Abu Bakar al-Hishni
Sepanjang hidup, Abu Bakar al-Hishni menghasilkan banyak karya ilmiah yang para ulama gunakan hingga saat ini. Di antara karya beliau adalah:
- Kifayatu al-Akhyar fi Halli Ghayati al-Ikhtishar
- Syarah Shohih Muslim (3 jilid)
- Syarah al-Arbain an-Nawawi
- Syarah Asmaullah al-Husna
- Syarah al-Hidayah
- Tanbih as-Saalik
- Qami’un Nufuus
- Siyarus Saalik dan Siyarush Sholihaat
- Berbagai karya tentang tafsir, adab, akidah, dan hukum
Beliau mengikuti madzhab Asy’ari dalam akidah. Beliau juga kerap berdiskusi dan berdebat dengan para pengikut Ibnu Taimiyah, menunjukkan keteguhan dan keberanian intelektual dalam mempertahankan pandangan yang beliau yakini.
Keutamaan dan Pengaruh Sosial
Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani dalam Jaami` Karaamaatil Awliya’ menyebut bahwa Abu Bakar al-Hishni memiliki kemuliaan yang jarang dimiliki ulama lain. Banyak mujahidin yang berperang di Cyprus mengaku melihat beliau ikut terlibat dalam perjuangan mereka, meskipun saat itu beliau tetap mengajar di Damaskus. Kesaksian ini menunjukkan bahwa masyarakat mengakui pengaruh spiritual beliau, bahkan melampaui kehadiran fisik beliau sendiri.
Pada masa tua, Abu Bakar al-Hishni memilih untuk memperbanyak ibadah, i’tikaf, dan mengajar di Masjid al-Mazar. Walaupun usia lanjut membuat penglihatan dan pendengarannya melemah, beliau tetap mengajar dengan semangat yang tidak menyusut. Banyak orang kemudian datang membantu kebutuhan hidupnya selama tinggal di pemondokan.
Beliau wafat pada 14 Jumadil Akhir 829 H. Masyarakat Damaskus mengiringi jenazah beliau dalam jumlah besar, termasuk para ulama dan guru besar. Mereka memenuhi kota Damaskus untuk memberikan penghormatan terakhir. Para pengiring kemudian memakamkan beliau di dekat Masjid Damaskus, berdampingan dengan makam ibunya.
Hingga hari ini, para santri dan ulama tetap mengenang Abu Bakar al-Hishni sebagai ulama besar, guru sufi, dan penulis kitab fikih penting. Para penuntut ilmu terus mempelajari Kifayatu al-Akhyar, yang menjadi salah satu pegangan utama dalam tradisi fikih Syafi’i di pesantren. Warisan ilmu, akhlak, dan spiritualitas beliau terus mengalir, memberikan inspirasi bagi generasi yang ingin menyeimbangkan antara ilmu, amal, dan akhlak mulia.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
