SURAU.CO – Syekh Muhammad bin Abu Bakar al-Usfuri tampil sebagai salah satu ulama yang memperkenalkan karyanya yang populer, al-Mawāʿiẓ al-Usfuriyah. Meskipun masyarakat tidak mengenalnya setenar sebagian ulama besar Damaskus atau Mesir, ia tetap memberikan kontribusi berarti melalui pesan-pesan moral dan spiritual dalam kitab tersebut. Ia lahir di Damaskus, lalu menetap di Mesir hingga wafat pada tahun 1103 H/1692 M. Para penulis sejarah belum banyak mendokumentasikan kehidupannya. Minimnya literatur membuat kita sulit mengetahui latar belakang keluarganya, perjalanan intelektualnya, dan para gurunya.
Keterbatasan data biografis ini justru menonjolkan nilai penting al-Mawāʿiẓ al-Usfuriyah. Kitab ini menjadi satu-satunya jejak yang menunjukkan kedalaman spiritual dan kesungguhan tobat seorang ulama yang berusaha memperbaiki dirinya. Melalui kitab tersebut, Syekh Muhammad bin Abu Bakar tidak hanya menyampaikan sabda Nabi sebagai pelita hidup, tetapi juga menggambarkan perjalanan batinnya yang penuh kerendahan hati, penyesalan, serta harapan terhadap rahmat Allah.
Kitab sebagai Media Tobat dan Perbaikan Diri
Dalam muqaddimah al-Mawāʿiẓ al-Usfuriyah, Syekh Muhammad bin Abu Bakar menuliskan pengakuan yang jujur dan menyentuh. Ia menyebut dirinya sebagai “hamba penuh dosa” yang telah lama “terbenam dalam lautan dosa dan angkara”. Ungkapan tersebut menunjukkan keberaniannya dalam menilai dirinya secara objektif. Ia memohon ridha Allah, bertekad meninggalkan ajakan setan, dan berusaha menyelamatkan dirinya dari siksa neraka.
Ia menjelaskan bahwa hatinya tidak pernah tenang hingga ia menemukan sebuah hadis Nabi yang menjanjikan ampunan bagi siapa saja yang menghimpun empat puluh hadis. Hadis tersebut memberi harapan baru dan mendorongnya menyusun empat puluh hadis dengan jalur sanad yang bersambung hingga Rasulullah ﷺ. Ia mengumpulkan hadis-hadis itu dari guru-guru pilihan dan para imam terkenal. Setelah meriwayatkan setiap hadis, ia menambahkan nasihat dan hikayat yang ia dengar dari para ulama, sehingga kitab tersebut tidak hanya menghadirkan rangkaian hadis, tetapi juga memuat pedoman etika dan jalan menuju ketenangan jiwa.
Keterangan muqaddimah ini menunjukkan bahwa ia melahirkan kitab tersebut melalui proses mujahadah dan pertobatan, bukan melalui ambisi ilmiah semata. Ia berharap dapat memperoleh ketenangan dan terbebas dari murka Allah. Karena itu, al-Mawāʿiẓ al-Usfuriyah hadir sebagai karya ilmiah sekaligus dokumen spiritual yang menggambarkan usaha seorang ulama untuk kembali kepada hidayah.
Motivasi Penyusunan Empat Puluh Hadis
Tradisi menghimpun empat puluh hadis telah lama berkembang di kalangan ulama. Imam al-Nawawi juga mengikuti tradisi tersebut ketika menulis al-Arbaʿīn al-Nawawiyyah. Syekh Muhammad bin Abu Bakar al-Usfuri pun meneruskan tradisi ini dengan motivasi spiritual yang kuat.
Beberapa riwayat—yang juga al-Nawawi sebutkan—menjelaskan keutamaan menghafal atau menghimpun empat puluh hadis. Salah satu riwayat menyatakan:
“Barangsiapa menghafal empat puluh hadis dalam urusan agamanya, maka Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat bersama para fuqaha dan ulama.”
Dalam riwayat lain, Allah akan membangkitkan orang tersebut sebagai pakar fikih. Riwayat Abu al-Darda’ menyebutkan bahwa Allah mempersilakan mereka memasuki surga melalui pintu mana saja yang mereka sukai.
Imam al-Nawawi menegaskan bahwa seluruh riwayat tersebut berstatus lemah (da‘if). Namun ia menyatakan bahwa umat Islam tetap boleh mengamalkan hadis da‘if dalam konteks fada’il al-a‘mal, yaitu amalan yang berhubungan dengan motivasi dan keutamaan, bukan hukum syariat. Penjelasan ini memberikan landasan kuat bahwa Syekh Muhammad bin Abu Bakar menyusun kitabnya berdasarkan tradisi ilmiah yang para ulama tanamkan.
Kedalaman Ilmu dan Warisan Spiritual
Keberadaan al-Mawāʿiẓ al-Usfuriyah menunjukkan bahwa Syekh Muhammad bin Abu Bakar al-Usfuri memiliki kedalaman ilmu agama yang mumpuni. Ia berhasil menghimpun hadis-hadis bersanad, memilih hikayat yang relevan, dan menyusun nasihat bijak yang menyentuh persoalan moral masyarakat. Hal ini menggambarkan kemampuannya memahami teks sekaligus kepekaannya terhadap kebutuhan spiritual umat.
Walaupun kita tidak memiliki banyak informasi biografis tentang beliau, karyanya berhasil melampaui batas keterbatasan tersebut. Para santri dan pengajar di berbagai pesantren masih membaca, mengajarkan, dan mengamalkan nasihat-nasihat yang ia tulis, terutama dalam tradisi pengajian Ramadan di Nusantara. Pesan moral yang ia sampaikan membantu umat Islam memperbaiki diri dan mendekat kepada Allah.
Syekh Muhammad bin Abu Bakar al-Usfuri mungkin tidak meninggalkan catatan hidup yang lengkap, tetapi ia tetap mewariskan petunjuk hidup melalui nasihat-nasihat dan hadis Nabi. Al-Mawāʿiẓ al-Usfuriyah berdiri sebagai bukti perjalanan tobat seorang ulama dan sebagai sarana yang mengajak umat Islam kembali pada ketenangan hati, cahaya petunjuk, dan rahmat Allah yang luas.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
