SURAU.CO – Tradisi ngaji kitab kuning di pesantren-pesantren salaf Indonesia tidak pernah lepas dari kitab-kitab nasihat yang sarat nilai moral. Salah satunya adalah Al-Mawa’idhul Ushfuriyah, karya Syekh Muhammad bin Abu Bakar Al-Ushfuri, sebuah kitab yang populer dibaca saat Bulan Ramadhan maupun dalam pengajian harian di banyak pondok pesantren. Melalui pengajian para masyayikh, termasuk KH. Afifuddin Muhajir, kitab ini terus hidup dan mengalirkan hikmah bagi masyarakat.
Penyusun Al-Mawa’idhul Ushfuriyah menulis kitab ini setelah tergerak oleh sebuah riwayat: “Barang siapa mengumpulkan 40 hadis, maka ia akan berada dalam ampunan Allah SWT.” Dorongan spiritual ini membuat beliau menyusun empat puluh hadis pilihan yang kemudian membentuk empat puluh bab. Hadis-hadis itu beragam: sebagian berstatus da’if, sebagian hasan. Bahkan beberapa di antaranya dinukil pula oleh Imam Nawawi dalam Arba’in Nawawiyah dari para sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Ibn Mas’ud, Mu’adz, Abu Dzarr, Ibn Umar, Ibn Abbas, Anas, Abu Hurairah, dan Abu Sa’id al-Khudri.
Namun, yang membuat kitab ini istimewa bukan hanya hadis-hadisnya. Syekh Al-Ushfuri menyertakan nasihat para ulama salaf dan kisah-kisah inspiratif yang ia dengar dari berbagai khabar dan atsar. Semua itu ia rangkai dalam sistematika yang sederhana, tetapi bernas. Setiap bab mengangkat tema moral tertentu yang menyinari perjalanan ruhani manusia.
Kitab yang Menuntun Menuju Insan Kamil
Al-Mawa’idhul Ushfuriyah merupakan bagian dari khazanah klasik Islam yang menekankan moralitas, adab, dan akhlak. Kitab ini mengajarkan bagaimana manusia seharusnya hidup sebagai hamba Allah sekaligus sebagai makhluk sosial. Melalui nasihat-nasihatnya, Syekh Al-Ushfuri mengarahkan pembaca untuk meniti jalan menuju maqam insan kamil—manusia paripurna dalam iman, ibadah, pikiran, dan perilaku.
Kitab ini tetap digemari lintas generasi karena kandungan kearifannya tidak lekang oleh zaman. Kisah-kisahnya sederhana tetapi menggugah; seperti burung kecil yang mengepakkan sayapnya, pesan-pesan Ushfūriyyah masuk lembut ke relung hati dan menetaskan hikmah yang selalu relevan bagi kehidupan.
Pada bab pertama, Syekh Al-Ushfuri membuka pembahasan dengan hadis agung tentang kasih sayang:
“Ar-rahimūna yarhamuhum ar-Rahmān. Irhamū man fil ardh yarhamkum man fis samā’.”
Orang-orang yang pengasih akan dikasihi Allah Yang Maha Pengasih. Kasihilah siapa saja di bumi, maka Yang di langit akan mengasihi kalian.
Dalam bab ini, penyusun menegaskan bahwa kasih sayang adalah fondasi seluruh hubungan manusia. Bab kedua mengingatkan agar manusia tidak pernah putus asa dari rahmat Allah. Sedangkan bab ketiga menasehatkan agar orang yang telah lanjut usia senantiasa kembali kepada Allah dan mempersiapkan kehidupan akhirat.
Ketiga bab awal ini mencerminkan arah moral kitab: membangun pribadi yang lembut, optimis, dan sadar akan perjalanan hidup.
Hikayat Pertama: Kasih Sayang Umar kepada Burung Pipit
Untuk menguatkan pesan hadis pertama, Syekh Al-Ushfuri menyelipkan sebuah hikayat tentang Sayyidina Umar bin Khattab. Dikisahkan, Umar suatu hari melihat anak kecil mempermainkan seekor burung pipit di kota Madinah. Ia merasa iba, lalu membeli burung itu dan melepaskannya ke udara.
Setelah Umar wafat, beberapa ulama bermimpi bertemu dengannya. Mereka bertanya bagaimana Allah memperlakukannya. Umar menjawab bahwa Allah mengampuni dan melewatkan dosa-dosanya. Ketika ditanya apakah hal itu karena kedermawanan, keadilan, atau kezuhudannya, Umar berkata:
“Ketika kalian meninggalkanku di kubur dan dua malaikat datang menanyai, aku ketakutan hingga seluruh sendiku bergetar. Namun tiba-tiba terdengar suara keras, ‘Tinggalkan hamba-Ku! Jangan menakut-nakutinya! Aku menyayanginya. Aku telah mengampuni seluruh dosanya karena ia menyayangi seekor burung pipit di dunia.’”
Hikayat ini mengajarkan bahwa sekecil apa pun kasih sayang yang seseorang berikan, Allah menghargainya dan membalas dengan kasih sayang yang berlipat ganda.
Hikayat Kedua: Pahala Niat Baik
Syekh Al-Ushfuri kemudian menyampaikan kisah tentang seorang laki-laki Bani Israil. Di tengah musim kelaparan, ia melintasi gundukan pasir sambil berangan-angan, “Andaikata pasir ini menjadi tepung, akan kuberi makan seluruh Bani Israil.” Allah lalu memberi wahyu kepada nabi pada masa itu bahwa laki-laki tersebut akan mendapat pahala sepadan dengan sedekah besar itu, meski niatnya baru berupa harapan.
Kisah ini menegaskan bahwa Allah mencintai hamba-Nya yang memiliki belas kasih, bahkan dalam bentuk niat sekalipun.
Ketika KH. Afifuddin Muhajir atau para kiai lain mengajarkan Al-Mawa’idhul Ushfuriyah, mereka tidak hanya membacakan teks klasik. Mereka menghidupkan pesan moral yang sangat dibutuhkan umat saat ini. Nilai kasih sayang, empati, optimisme, dan akhlak sosial yang luhur menjadi obat bagi kehidupan modern yang cenderung keras dan serba kompetitif.
Kitab ini mengajak setiap Muslim untuk menjadikan kebaikan sebagai kebiasaan, kasih sayang sebagai karakter, dan niat baik sebagai fondasi perbuatan. Dengan demikian, manusia tidak hanya menjalani hidup secara mekanis, tetapi juga dengan kepekaan ruhani.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
