Opinion
Beranda » Berita » Peta Ideologi, Tuduhan Ijazah, dan Bayang-Bayang Neo-Orba dalam Narasi Perlawanan

Peta Ideologi, Tuduhan Ijazah, dan Bayang-Bayang Neo-Orba dalam Narasi Perlawanan

Peta Ideologi, Tuduhan Ijazah, dan Bayang-Bayang Neo-Orba dalam Narasi Perlawanan
Peta Ideologi, Tuduhan Ijazah, dan Bayang-Bayang Neo-Orba dalam Narasi Perlawanan

 

SURAU.CO – Di tengah mengentalnya suhu politik nasional, sebuah narasi ideologis kembali muncul ke permukaan: klaim bahwa Rocky Gerung, Bung Karno, Soemitro Djojohadikoesoemo, Prabowo Subianto, dan sejumlah tokoh Marhaenis lain berada dalam satu garis perjuangan—yakni sosialisme ala Indonesia, atau Marhaenisme.

Narasi ini, yang disebarkan aktivis politik Sabar Mangadoe, bukan sekadar nostalgia ideologis, tetapi bacaan kritis terhadap arah politik Indonesia hari ini yang dianggap telah menyimpang dari cita rasa awal republik.

Sabar Mangadoe memaparkan kembali wajah lama perebutan pengaruh: benturan antara gerakan sosialisme—yang ia sebut sebagai “pejuang konstitusi”—melawan “Nekolim”, aktor asing, dan apa yang ia tuding sebagai jaringan “Londo Ireng” atau setan kuning: Neo-Orba Network dan Golkar Connection.

Garis Mulus Birokrasi Akademis

Dalam versinya, perjuangan itu kini menemukan bentuk baru: Dinasti politik Jokowi dan kroni-kroninya.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Narasi ini tidak muncul di ruang kosong. Ia tumbuh di tengah tiga isu besar yang terus berseliweran:

(1) kontroversi ijazah Presiden Jokowi,
(2) konsolidasi politik keluarga Jokowi,
(3) ketidakpuasan sebagian kelompok sipil terhadap orientasi negara yang dianggap makin pragmatis dan makin jauh dari akar Marhaenistik.

Sabar bahkan menambahkan bumbu personal: klaim bahwa ia sendiri adalah lulusan ITB, sementara Syahganda Nainggolan—yang dulu di-DO karena demonstrasi—akhirnya justru meraih gelar doktor. Kontras semacam ini kerap dipakai sebagai simbol bahwa “perlawanan” memiliki jalannya sendiri, tak harus mengikuti garis mulus birokrasi akademis.

Namun titik paling eksplosif dari narasinya tetaplah satu:
tuduhan bahwa Jokowi bukan hanya gagal, tetapi pemilik ijazah palsu.

Kelompok Kritis

Dalam ruang publik, isu ijazah ini telah berubah dari pertanyaan akademis menjadi index of trust. Pro-Jokowi menyebutnya hoax; kelompok kritis menyebutnya pertanyaan kunci yang sengaja tidak dijawab.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Sabar menggemakan yang kedua, menyatakan bahwa ia sejak awal meyakini bahwa Jokowi “pernah kuliah tapi di-DO”, dan karenanya ijazah yang beredar tidak otentik.

Klaim tersebut memang tidak pernah memasuki proses pembuktian hukum yang tuntas, namun menjadi bensin politik yang terus menyala terus berkelanjutan. Di sinilah gerakan #AJMG—“Adili Jokowi, Makzulkan Gibran Duluan”—diletakkan sebagai bentuk perlawanan yang diformat ulang, seakan-akan menjadi kelanjutan dari tradisi Marhaenisme yang merasa dikhianati oleh dinasti kekuasaan.

Di bagian lain, tudingan terhadap “Neo-Orba Network” dan “Golkar Connection” menambah lapis sejarah panjang relasi kuasa di Indonesia. Dalam narasi Sabar, dinasti politik Jokowi bukan sekadar fenomena baru, tapi kelanjutan dari lingkaran kekuasaan lama yang berubah bentuk. Istilah “setan kuning”—merujuk pada warna dominan partai tertentu—dipakai sebagai metafora ancaman internal yang dianggap merusak fondasi konstitusi.

Awas Bahaya Laten Setan Kuning

Narasi ini bekerja bukan sebagai kajian ilmiah, tetapi sebagai seruan politik: kuat, emosional, dan meminjam bahasa ideologis zaman pergerakan Rakyat jaman dulu.

Karena di tengah polarisasi nasional yang semakin menebal dan tajam seperti saat inilah yang sering lebih cepat menyentuh simpul emosi publik dibanding argumen teknokratis ataupun penjelasan ‘status quo’ dari para Profesor Doktor Ilmu Sosial Politik di ruang publik. Justru bikin Rakyat yg 68% miskin dan 62% hanya lulusan SMP merasa semakin bodoh. Meski sebagian besar tidak sebodoh ‘anak haram konstitusi’

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Gerakan AJMG dirangkaikan sebagai wadah perlawanan rakyat semesta secara damai dan demokratis terhadap apa yang disebutnya “dinasti politik dan praktik manipulatif dalam negara”.

Bahan Bakar Dinamika Nasional

Terlepas dari setuju atau tidak, narasi ini menggambarkan betapa dalam ruang politik Indonesia. Pertarungan ide, sejarah, dan distrust publik tetap menjadi bahan bakar utama dinamika nasional.

Satu hal yang jelas: Isu ijazah, sosialisme, dinasti, dan kritik terhadap kekuasaan kini tidak lagi berdiri sendiri. Mereka telah menjelma menjadi satu paket narasi besar—yang bukan sekadar menantang legitimasi pemerintah. Tetapi menantang memori kolektif bangsa tentang siapa sebenarnya pewaris ideologi republik ini. Yang pasti bukan Siapapun yang mau bikin Republik Rasa Kerajaan!!

Dan seperti lazimnya dalam politik Indonesia, kebenaran tidak selalu menjadi pusat perhatian. Yang berperang justru narasi—siapa yang paling kuat, paling meyakinkan, dan paling berhasil menguasai persepsi massa.

Tapi di saat nanti,  terutama Rakyat 68% Miskin dan 62% orang dewasa. Hanya lulusan SMP mencapai tingkat kesadaran minimal untuk bergerak. Maka kekuatan konpsiratif jahad sebesar apapun pasti tumbang dilindas. Seperti pergerakan rakyat otentik yang bergulir seperti efek bola salju, ‘snow ball effect’, wow!. the end, Hade Trisada. (Sabar Tambunan)

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement