Fiqih
Beranda » Berita » Nikah Siri Tanpa Izin Istri: Tinjauan Agama, Etika, dan Pidana

Nikah Siri Tanpa Izin Istri: Tinjauan Agama, Etika, dan Pidana

SURAU.CO. Jagat media sosial kembali ramai membicarakan kasus rumah tangga seorang selebgram yang cukup pelik. Seorang suami tega melakukan nikah siri dengan perempuan lain secara diam-diam. Suami tersebut tidak memberikan kabar kepada istri sahnya, tidak meminta izin apalagi berdiskusi dengannya. Bahkan proses akad berlangsung senyap, tertutup, dan serba cepat.

Rahasia itu akhirnya terbongkar juga. Istri pertama tentu merasakan kehancuran yang luar biasa. Ia tidak hanya marah, tetapi merasa terkhianati. Luka batin ini tidak terlihat oleh mata, namun dampaknya sangat merusak mental. Fenomena ini menyadarkan kita akan satu hal penting. Persoalan nikah siri bukan sekadar perdebatan sah atau tidak sah. Masalah ini menyangkut kejujuran dan pondasi etika dalam berumah tangga.

Keabsahan Fikih Versus Etika Rumah Tangga

Kita perlu melihat masalah ini dari sudut pandang fikih klasik terlebih dahulu. Agama Islam memang menetapkan syarat sah pernikahan yang cukup jelas. Syarat tersebut meliputi adanya mempelai laki-laki dan perempuan, wali, dua orang saksi, serta ijab kabul. Jika elemen-elemen ini terpenuhi, pernikahan siri tetap sah secara agama. Izin istri pertama bahkan bukan syarat mutlak dalam keabsahan akad poligami menurut fikih klasik.

Namun, kita tidak boleh berhenti pada aspek formalitas akad saja. Syariat Islam memiliki tujuan yang lebih luas atau maqashid syariah. Pernikahan bertujuan untuk mencapai ketenteraman (sakinah), kasih sayang (mawaddah wa rahmah), dan keadilan (‘adalah). Suami yang menikah lagi secara sembunyi-sembunyi justru mencederai nilai keadilan tersebut. Tindakan ini tentunya melanggar hak istri untuk mendapatkan perlakuan yang baik.

Tidak Shalat Jum’at Karena Hujan; Apa Hukumnya?

Ulama kontemporer memberikan peringatan keras terkait hal ini. Poligami bukanlah ruang untuk menyembunyikan hawa nafsu semata. Poligami tanpa keadilan akan berubah menjadi kedzaliman domestik. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga memiliki pandangan tegas. Nikah siri memang sah secara rukun, tetapi bisa menjadi haram jika menimbulkan banyak mudarat atau kerusakan. Kerusakan tersebut meliputi konflik rumah tangga, penelantaran, hingga ketidakjelasan nasib anak.

Risiko Hukum Negara dan Hilangnya Hak Sipil

Indonesia merupakan negara hukum yang mengatur tata tertib pernikahan. Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 mewajibkan pencatatan setiap pernikahan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) memperkuat aturan ini demi melindungi hak perempuan dan anak.

Negara tidak mengakui pernikahan siri meskipun sah secara agama. Konsekuensinya sangat fatal bagi pihak perempuan dan anak-anak. Istri siri tidak memiliki kekuatan hukum atau legal standing di mata negara. Anak-anak yang lahir akan mengalami kesulitan administrasi kependudukan. Mereka tidak mendapatkan hak waris secara otomatis dari ayahnya. Selain itu, suami bisa lari dari tanggung jawab nafkah tanpa takut tuntutan hukum perdata.

MUI menilai pencatatan nikah sebagai langkah penyempurnaan akad. Langkah ini penting untuk mencegah mudarat di kemudian hari. Kita harus memahami bahwa aturan negara hadir untuk melindungi warga negaranya, bukan mempersulit ibadah.

Ancaman Pidana Bagi Pelaku Nikah Siri Diam-Diam

Banyak orang salah kaprah mengenai aspek pidana dalam kasus ini. Hukum pidana tidak memenjarakan orang karena akad nikahnya. Namun, hukum akan menindak rangkaian perbuatan curang yang menyertainya.

Bencana Alam Dari Perspektif Islam: Ujian atau Peringatan Allah?

Ada beberapa pasal yang bisa menjerat pelaku nikah siri tanpa izin istri:

  • Pasal 279 KUHP: Pasal ini mengatur tentang perkawinan yang memiliki halangan hukum. Suami yang menikah lagi padahal masih terikat perkawinan sah tanpa izin pengadilan bisa terkena pasal ini. Ancamannya cukup berat, yakni bisa menembus lima tahun penjara.
  • Pasal 284 KUHP: Istri sah dapat melaporkan suaminya atas tuduhan perzinaan jika pernikahan siri tersebut dilakukan tanpa sepengetahuannya.
  • Pemalsuan Identitas: Pelaku seringkali memanipulasi data diri agar bisa menikah lagi. Tindakan ini merupakan tindak pidana pemalsuan dokumen.
  • UU PKDRT: Tindakan menyembunyikan pernikahan seringkali memicu kekerasan psikis bagi istri pertama. Hal ini masuk dalam kategori penelantaran atau kekerasan dalam rumah tangga.

Memaknai Ulang Kejujuran dalam Pernikahan

Kita sampai pada sebuah refleksi penting: luka akibat nikah siri bukan terletak pada syariatnya, melainkan pada pengkhianatan kepercayaan. Ketika akad dilakukan diam-diam, kebohongan itulah yang meruntuhkan martabat rumah tangga. Suami yang menyembunyikan pernikahan lain sesungguhnya menunjukkan ketidakpedulian terhadap hati istri sah—perempuan yang telah ia janjikan perlindungan.

Syariat Islam tidak pernah membenarkan pengkhianatan, dan negara hadir untuk menjaga keutuhan keluarga dari tindakan yang merugikan pihak yang lemah. Karena itu, masyarakat tidak boleh menormalisasi nikah siri yang merendahkan perempuan. Pernikahan harus kembali dimaknai sebagai amanah besar yang ditopang kejujuran dan keadilan.(kareemustofa)

Penyebab Hilangnya Berkah Ilmu

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement