SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam mengatakan:
“Tempat terbitnya cahaya adalah hati dan relung-relung jiwa.”
Syekh Ibnu ‘Athaillah bertanya, Apakah kita mengetahui di mana tempat cahaya Ilahi berada?!
Ya, cahaya Ilahi berada di dalam hati dan relung-relung jiwa, yang merupakan tempat mengenal Allah Swt., mengetahui rahasia-rahasia-Nya, dan gudang segala kelebihan yang Allah Swt. berikan kepada para hamba-Nya.
Cahaya itu memang bersarang di dalam hati. Namun, perlu kita ingat bahwa semua itu tidak akan muncul ke permukaan, kecuali dengan bantuan-Nya. Jikalau kita tidak hati-hati dan selalu larut dalam perbuatan maksiat, maka cahaya tersebut akan redup, bahkan tertutupi.
Syekh Ibnu ‘Athaillah mendorong kita agar berusaha untuk senantiasa menjaga cahaya itu dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Jikalau Allah Swt. telah mengangkat hijab yang ada di dalam hati kita, maka cahaya-Nya akan terlihat jelas di wajah kita. Bahkan, kita akan mampu melihat sesuatu yang tidak mungkin kita lihat dengan mata biasa, dan mengetahui rahasia yang tidak diketahui orang lain. Saat itu, kita akan mencapai makrifat-Nya, yaitu tingkatan yang dirindukan setiap salik.
Sumber Cahaya Hati
Syekh Ibnu ‘Athaillah menegaskan:
“Cahaya yang tersimpan di dalam hati bersumber dari cahaya yang datang dari gudang kegaiban.”
Syekh Ibnu ‘Athaillah menjelaskan bahwa cahaya itu berasal dari Allah Swt. Cahaya itu tersimpan dalam perbendaharaan gaib. Allah Swt. memberikan cahaya tersebut kepada hati-hati yang suci dan jauh dari maksiat. Semakin banyak ketaatan yang kita lakukan, maka hati kita akan semakin suci, dan cahaya Ilahi akan semakin mudah menghampirinya. Sebaliknya, semakin banyak maksiat yang kita lakukan, maka hati kita akan semakin gelap dan hitam, sehingga cahaya itu terhalangi dari hati kita.
Cobalah kita perhatikan kertas putih yang bersih, bagaimana keadaannya jikalau kita berikan cahaya? Bukankah ia akan memantulkannya?! Kemudian, perhatikan pula bagaimana jikalau kertas itu kita pantulkan cahaya dalam keadaan kotor dan hitam. Apakah ia akan mampu memantulkan cahaya?!
Pertanyaan itu tidak perlu kita jawab, sebab kita sendiri sudah mengetahui jawaban yang sebenarnya. Itulah hati kita, yang harus kita jaga dengan sebaik-baiknya.
Dua Jenis Cahaya
Syekh Ibnu ‘Athaillah menuturkan:
“Ada cahaya yang mampu memperlihatkan makhluk Allah Swt. kepada kita, dan ada pula cahaya yang dapat memperlihatkan sifat-sifat-Nya kepada kita.”
Syekh Ibnu ‘Athaillah mCahaya Allah Swt. yang Dia berikan kepada kita terbagi dua. Pertama, cahaya yang akan memperlihatkan kepada kita mengenai makhluk-Nya. Jikalau kita telah mendapatkan cahaya ini, maka kita akan mampu mengenal hakikat segala sesuatu yang ada di dunia ini. Kemudian, kita juga akan mampu menjadikannya sebagai sarana menuju hadirat-Nya.
Berapa banyak manusia yang terlena oleh kehidupan dunia ini? Ketika mereka diberikan harta, mereka malah menghabiskannya dalam kemaksiatan, bukan dimanfaatkan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, seperti bersedekah, berzakat, dan lain sebagainya. Jikalau mereka diberikan anak keturunan, maka ia justru menghabiskan waktu bersenang-senang dengannya, sehingga menyebabkannya lalai menunaikan kewajibannya terhadap Sang Khaliq. Dan, masih banyak lagi contoh yang bisa kita jadikan teladan dalam hal ini.
Kedua, cahaya yang akan menyingkapkan kepada kita mengenai sifat-sifat-Nya. Dengan cahaya ini, kita akan mampu mencapai makrifat. Keimanan yang kita miliki akan bersambung dengan cahaya sifat-sifat-Nya. Jikalau kita telah mendapatkan cahaya jenis kedua ini, maka kita akan mampu menyingkap rahasia yang ada di balik ketetapan-Nya. Jikalau orang masih gundah gulana menghadapi takdir buruk-Nya, maka kita justru akan bisa menenangkannya dan menyingkap hikmah di baliknya. Cahaya kedua adalah kelanjutan dari cahaya yang pertama.
Jikalau kita baru mendapatkan cahaya yang pertama, maka langkah yang kita tuju belum sempurna. Syekh Ibnu ‘Athaillah berpesa agar kita terus melangkah, dan rajin beribadah, mudah-mudahan kita akan mampu mendapatkan cahaya kedua yang merupakan dambaan setiap salik.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
