SURAU.CO – Dalam ajaran Islam, tiga pilar saling menguatkan dan menjadi fondasi kesempurnaan hidup seorang Muslim: Iman, Islam, dan Ihsan. Ketiganya bukan tiga jalan yang terpisah, melainkan satu kesatuan yang menghadirkan keutuhan dalam penghambaan. Namun, umat Islam sering kurang memperhatikan dimensi Ihsan—tasawuf, yang mengolah batin dan memperhalus jiwa. Padahal, tasawuf memainkan peran penting untuk membimbing hati agar selalu bersih, tenang, dan dekat dengan Allah.
Tasawuf membahas bagaimana seorang hamba bisa berinteraksi secara harmonis dengan Allah sekaligus berperilaku baik kepada manusia. Para ulama sepakat bahwa tasawuf menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya melalui penyucian hati dan penyempurnaan akhlak. Banyak kitab klasik menulis tentang tasawuf, dan salah satu yang paling terkenal hingga kini tetap dikaji adalah Bidayatul Hidayah, karya Imam Al-Ghazali.
Sosok Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali, atau Algazel sebagaimana dikenal di Barat, lahir di kota Thus, Khurasan, pada tahun 405 H. Ia menempuh perjalanan intelektual yang gemilang dan pada masa mudanya menjadi guru besar di Madrasah Nizamiyah Baghdad, lembaga pendidikan paling prestisius di dunia Islam kala itu. Banyak ulama dan penuntut ilmu datang menghadiri majelis ilmunya, sehingga masyarakat menamainya Majelis 300 Sorban.
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi Asy-Syafi’i, seorang alim yang memperoleh gelar Hujjatul Islam, pengakuan atas kedalaman ilmunya sehingga menjadi rujukan utama dalam berbagai disiplin, termasuk fikih, akhlak, dan tasawuf.
Di lingkungan Nahdlatul Ulama, umat menganggap Imam Al-Ghazali sebagai pilar dalam tradisi tasawuf, sejajar dengan Imam Junaid al-Baghdadi. Karya Ihya Ulumiddin menjadi referensi utama dalam pendidikan spiritual, sedangkan Bidayatul Hidayah menjadi pintu masuk yang lembut dan mudah untuk memahami lautan hikmah karya beliau.
Struktur dan Isi Bidayatul Hidayah
Al-Ghazali menyusun Bidayatul Hidayah sebagai pedoman spiritual yang ringkas dan padat. Bila Ihya Ulumiddin berisi ensiklopedia besar tentang kehidupan batin dan lahir seorang Muslim, maka Bidayatul Hidayah menjadi peta jalan yang sederhana, mudah dipahami, dan bisa langsung dipraktikkan.
Kitab ini terbagi menjadi dua bagian utama:
- Ketaatan (Ibadah Fi’liyyah)
- Menjauhi Maksiat (Ibadah Tarkiyyah)
Sebelum masuk ke inti pembahasan, Al-Ghazali membuka dengan pujian kepada Allah dan Rasul-Nya, serta menyelipkan ayat dan hadis pilihan sebagai dasar nasihat yang ia sampaikan. Ia mengingatkan pembaca agar mewaspadai ulama su’, ulama yang hatinya dikuasai oleh urusan dunia. Ia menegaskan bahwa ulama semacam itu lebih berbahaya daripada Dajjal, agar umat menggunakan ilmu bukan untuk kemuliaan dunia, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Komponen Pertama: Etika dan Doa dalam Kehidupan Sehari-hari
Di bagian pertama, Al-Ghazali mengajak pembaca memahami adab sehari-hari. Ia membimbing umat mulai dari bangun tidur, membaca doa, masuk kamar mandi dengan etika yang benar, hingga berwudhu dengan khusyuk. Ia menuntun langkah menuju masjid dengan hati bersih, dan mengajarkan adab masuk dan keluar masjid, berpuasa, bertayamum, mandi besar, serta praktik amalan di malam Jumat.
Al-Ghazali menekankan bahwa pembiasaan adab menjadi fondasi perjalanan spiritual. Ia menasihati umat:
“Jika melanggengkan amalan-amalan ini terasa berat, bersabarlah seperti sabarnya seorang penderita penyakit ketika meminum obat yang pahit.”
Pesan ini menunjukkan bahwa perjalanan menuju Allah memerlukan keteguhan dan keikhlasan.
Komponen Kedua: Menjauhi Kemaksiatan
Bagian kedua terbagi menjadi dua sub-bagian penting:
- Menjauhi Maksiat Anggota Tubuh
Al-Ghazali menegaskan bahwa meninggalkan maksiat lebih sulit daripada menjalankan ketaatan. Ia menyebut tujuh anggota tubuh yang rawan menjerumuskan manusia ke dalam dosa: mata, telinga, mulut, perut, kemaluan, tangan, dan kaki. Ia menjelaskan bagaimana setiap anggota tubuh bisa mengantarkan manusia kepada keburukan jika tidak dikendalikan. Penjelasan ini relevan di era modern, ketika godaan begitu mudah diakses dan tersebar luas.
- Etika Berinteraksi dengan Allah dan Sesama
Al-Ghazali menekankan hubungan vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal berfokus pada Allah sebagai pusat kehidupan hamba. Ia menyatakan bahwa satu-satunya sahabat sejati yang tidak meninggalkan manusia adalah Allah. Karena itu, umat perlu mengalokasikan waktu terbaik untuk berdialog dengan-Nya, berdoa, berdzikir, dan mendekatkan hati kepada-Nya.
Dalam hubungan horizontal, Al-Ghazali membimbing umat agar bersikap baik kepada ulama, pemerintah, teman sebaya, bahkan orang bodoh. Ia menekankan bahwa akhlak memainkan peran penting dalam membangun kehidupan sosial yang harmonis.
Di penghujung kitab, Al-Ghazali memberi kabar gembira: siapa pun yang mengamalkan isi Bidayatul Hidayah dengan tulus dan istiqamah, Allah akan menganugerahi cahaya iman yang terang benderang. Kitab ini ditutup dengan hamdalah, kalimat thayyibah, dan shalawat, sebagai penutup penuh berkah, sebagaimana nasihat-nasihat lembut yang ia tuliskan sepanjang kitab.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
