SURAU.CO – Syaikh Muhammad Syakir al-Iskandari adalah ulama besar Mesir yang memberi kontribusi penting dalam bidang akhlak, pendidikan, dan ilmu-ilmu Islam. Beliau dikenal sebagai pengarang kitab Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’. Kitab ini, hingga kini digunakan sebagai pedoman dalam pendidikan akhlak dasar. Pemikiran, perjalanan ilmiah, dan karya-karyanya menunjukkan bahwa ia bukan hanya ulama berilmu luas, tetapi juga pendidik yang mampu menerjemahkan nilai-nilai moral Islam menjadi ajaran yang mudah dipahami dan diterapkan.
Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan
Syaikh Muhammad Syakir al-Iskandari lahir pada tahun 1863 M atau 1282 H di kota kecil Jurja, Mesir. Beliau tumbuh dalam lingkungan yang menghargai ilmu dan kedisiplinan. Perjalanan intelektualnya berlangsung saat Mesir sedang berada dalam masa perubahan sosial dan intelektual, sehingga ia merasakan langsung kebutuhan umat akan pendidikan moral yang kuat.
Ketika dewasa, beliau mengajar di Universitas al-Azhar, salah satu pusat ilmu tertua di dunia Islam. Pada masa pengajarannya inilah ia menulis Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’ (1905 M/1326 H). Kitab tersebut menjadi representasi pandangannya tentang pentingnya akhlak, adab menuntut ilmu, hubungan antarmanusia, dan tanggung jawab moral seorang muslim.
Pada tahun 1913 M, Syaikh Muhammad Syakir mendirikan Jam‘iyyah Tasyni‘iyyah dan menjadi anggota aktif organisasi tersebut. Namun, ketika pemerintah Mesir menawarkan jabatan kepadanya, beliau memilih untuk meninggalkannya. Sikap ini menunjukkan keteguhan hati dan komitmennya terhadap kehidupan yang jauh dari kepentingan duniawi.
Beliau mengutamakan hidup dengan pikiran, amalan, dan ilmu yang bebas. Kondisi inilah yang membuatnya dikenal sebagai ulama yang ikhlas, tidak terikat oleh jabatan maupun kekuasaan. Fokus hidupnya hanya pada penyebaran ilmu dan pendidikan akhlak. Hal yang semakin langka di tengah arus modernisasi pada masanya.
Kontribusi dalam Bidang Aqidah dan Akhlak
Syaikh Muhammad Syakir memiliki pengaruh besar dalam bidang akhlak dan aqidah. Ia memberikan ta‘liq dan tahqiq terhadap sejumlah karya klasik penting, antara lain Al-Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Aqidah at-Tahawiyah karya Ibn Abi al-Ezz. Melalui usaha tersebut, ia membantu menyebarkan pemahaman aqidah yang lebih jelas dan terstruktur kepada umat.
Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’ menjadi bukti kepiawaiannya dalam pendidikan moral. Kitab ini tidak hanya memberikan nasihat kepada anak-anak, tetapi juga kepada orang tua dan guru tentang bagaimana membentuk karakter yang mulia. Pada beberapa bab, terlihat bahwa beliau mengambil inspirasi dari Imam Abu Hanifah, terutama mengenai adab dan tanggung jawab terhadap teman serta kesungguhan dalam menuntut ilmu.
Selain dikenal sebagai ulama akhlak, beliau juga dihormati sebagai salah satu muhadditsin (ahli hadits). Keahliannya bukan karena banyaknya riwayat yang beliau kumpulkan, melainkan karena kedalaman pemahamannya terhadap ilmu hadits. Ia memiliki kemampuan untuk menjelaskan makna hadits dengan jernih dan mengkritisinya secara ilmiah.
Perjalanan ilmiahnya memberikan dampak besar pada pendidikan generasi setelahnya, termasuk pada putranya, Syaikh Ahmad Syakir. Syaikh Ahmad Syakir akhirnya menjadi ulama hadits di dunia Islam. Melalui didikan ayahnya, Ahmad Syakir belajar mencintai ilmu sejak kecil dan tumbuh dalam lingkungan ulama ketika mereka pindah ke Iskandariyah. Di sana ia belajar dari sejumlah ulama ternama dan menunjukkan keistimewaan dalam hafalan serta ketajaman analisis, seperti kesaksian Syaikh Muhammad Hamid al-Faqi.
Karya Intelektual Keluarga Syakir
Warisan intelektual keluarga Syakir tidak berhenti pada Syaikh Muhammad Syakir. Putranya, Syaikh Ahmad Syakir, tumbuh menjadi ulama produktif yang menulis puluhan karya. Ia memberikan tahqiq dan ta‘liq pada kitab-kitab penting dalam berbagai disiplin ilmu, seperti Alfiya al-Suyuti, Sunan at-Tirmidzi (meski tidak selesai hingga wafat), Musnad Ahmad, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, Al-Kharaj, Tafsir Jalalain, dan lain-lain.
Karya Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’ tetap relevan hingga kini karena berisi nilai-nilai akhlak yang universal: kejujuran, amanah, tanggung jawab, adab menuntut ilmu, hingga pergaulan yang baik. Kitab ini menjadi rujukan bagi guru, orang tua, dan lembaga pendidikan Islam dalam membentuk karakter generasi muda.
Kontribusi Syaikh Muhammad Syakir dalam melahirkan ulama besar seperti Ahmad Syakir juga membuktikan bahwa pendidikan akhlak dalam keluarga memiliki dampak jangka panjang yang sangat besar.
Syaikh Muhammad Syakir al-Iskandari adalah figur ulama yang memadukan kedalaman ilmu dan ketulusan niat dalam berdakwah. Melalui karya dan keteladanan hidupnya, ia mengajarkan pentingnya akhlak sebagai fondasi peradaban. Warisan gagasannya hidup bukan hanya dalam kitab-kitabnya, tetapi juga dalam generasi ulama setelahnya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
