Khazanah
Beranda » Berita » Ketika Pujian Menjadi Ujian: Pelajaran dari Al-Hikam

Ketika Pujian Menjadi Ujian: Pelajaran dari Al-Hikam

Ilustrasi hamba yang tengah mendekatkan diri kepada Allah.
Ilustrasi hamba yang tengah mendekatkan diri kepada Allah.

SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari  dalam Al-Hikam mengatakan:

“Manusia yang paling bodoh adalah yang meninggalkan keyakinannya karena persepsi yang ada pada orang lain.”

Syekh Ibnu ‘Athaillah mengajukan pertanyaan, apakah kita mengetahui tentang manusia yang paling bodoh di seantero jagat raya ini?!

Ya, orang yang paling bodoh adalah yang tertipu oleh pujian. Padahal, ia menyadari bahwa ia tidak seperti yang orang lain ucapkan. Hanya saja, pujian itu menipu dirinya sehingga ia merasa hebat dan melupakan kekurangannya. Syekh Ibnu ‘Athaillah minta kita mengingat bahwa kita lebih mengetahui kekurangan dan kelebihan kita. Jangan tertipu dan terlena oleh pujian orang lain kepada kita.

Jikalau orang lain mengatakan kita orang yang pintar memperbaiki mobil, padahal kita tidak mengetahuinya sama sekali, maka jangan terlena. Yakinlah bahwa kita tidak ahli dalam masalah mobil. Sesuatu yang orang lain ucapkan kepada kita hanyalah prasangka belaka. Bisa jadi, karena kita kebetulan mampu memperbaiki mobil yang dimilikinya atau mobil orang lain.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Maka dari itu, sekarang cobalah perhatikan diri kita dan pujian yang pernah disampaikan kepada kita. Setelah itu tanyakanlah, apakah semua itu sesuai dengan kenyataan atau tidak? Jika benar, alhamdulillah, segala puji bagi Dzat yang telah memberikan kita kemampuan melakukannya. Jika pujian itu tidak sesuai dengan keberadaan kita, maka segeralah ber-istighfar dan berdoa kepada-Nya; mudah-mudahan sesuatu yang disangkakan orang lain kepada kita akan menjadi kenyataan.

Pujian yang Tidak Layak Kita Miliki

Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari menuturkan:

“Jikalau kita dipuji, padahal kita tidak layak mendapatkannya, maka pujilah Allah Swt. yang layak mendapatkannya.”

Syekh Ibnu ‘Athaillah berpesan jikalau kita mendapat pujian, padahal kita tidak merasa layak mendapatkannya, maka pujilah Allah Swt., Dzat yang telah menganugerahkan kehormatan besar ini kepada kita. Bersyukurlah kepada Allah Swt. yang telah menutupi segala aib kita, dan tidak menyebarkannya di hadapan khalayak ramai.

Bukankah mudah bagi-Nya untuk menjatuhkan kita ke jurang keburukan yang paling dalam?! . Syekh Ibnu ‘Athaillah menjelaskan bahwa Allah Swt. adalah Dzat Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk segala aib dan keburukan yang selama ini kita lakukan. Jikalau kita adalah seorang pejabat yang mendapatkan pujian dan sanjungan di mana-mana, semua orang mengatakan bahwa kita shalih, padahal kita sering melanggar aturan-Nya dan melalaikan perintah-Nya, maka ingatlah bahwa Allah-lah yang menutupi maksiat dan menampakkan ketaatan kita.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Jangan terlena dan lalai. Segeralah memperbaiki kesalahan dan kembali kepada Allah Swt. Jikalau kita terus-menerus bermaksiat kepada-Nya, maka bisa jadi suatu hari Allah akan membongkar aib kita, walaupun kita melakukannya di tempat tertutup yang tidak mungkin orang lain saksikan.

Sikap Orang yang Zuhud dan Arif saat Mendapat Pujian

Syekh Ibnu ‘Athaillah menegaskan:

“Jikalau orang-orang zuhud dipuji, maka mereka akan resah karena mereka mendapatkan pujian itu berasal dari makhluk. Jikalau orang-orang arif dipuji, maka mereka akan senang karena mendapatkan pujian itu berasal dari Penguasa Sebenarnya.”

Orang zuhud adalah yang berusaha melepaskan diri dari ikatan-ikatan materi dan kenikmatan dunia, kemudian berusaha mengerahkan segenap tenaga dan usahanya untuk beribadah kepada Allah Swt. demi menggapai ridha-Nya. Jikalau orang seperti ini mendapat pujian, maka dadanya akan sesak dan tidak rela menerimanya. Ia menyadari bahwa pujian itu berasal dari makhluk, bukan dari Khaliq. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa pujian yang ditujukan kepadanya itu mengandung unsur kesyirikan, sebab yang berhak menerimanya hanyalah Dzat Penguasa semesta alam.

Orang yang zuhud hanya mengharap pujian dari Allah Swt. Sebab, semua pemberian dan ucapan Allah Swt. tidak ada yang sifatnya menipu. Semuanya adalah benar. Ini berbanding terbalik dengan ucapan dan pujian yang berasal dari makhluk, yang masih bercampur dengan dusta dan kemunafikan.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Tindakan sebaliknya justru tampak daeri orang arif, yaitu sosok yang terkenal bijaksana dalam menghadapi masalah apa pun. Bahkan, ia mencapai tangga makrifat yang menjadi dambaan setiap salik. Ia meyakini bahwa semua yang terjadi di dunia ini adalah kehendak-Nya, termasuk pujian yang disampaikan oleh orang-orang kepadanya.

Orang yang arif akan bahagia saat mendapatkan pujian dari orang lain, dan menganggapnya sebagai karunia dari Dzat Yang Maha Memiliki. Allah-lah yang telah menciptakan orang-orang tersebut, dan menuntun mereka untuk memujinya. Dia-lah yang menuntun orang-orang untuk mencintainya dan menerima keberadaannya.

Syekh Ibnu ‘Athaillah menjelaskan jikalau Allah Swt. mencintai seorang hamba, maka Dia akan menyeru Jibril dan memberitahukan kepadanya tentang rasa cinta-Nya. Kemudian, Jibril menyeru penduduk langit dan memberitahukan bahwa Allah Swt. mencintai si Fulan, serta memerintahkan mereka untuk mencintainya. Jikalau penduduk langit sudah mencintai hamba tersebut, maka Dia akan memberikan kepadanya penerimaan di bumi, sehingga penduduk bumi mencintai dan memujinya. Artinya, pujian itu sebenarnya berasal dari Rabb semesta alam. Itulah dua sikap berbeda yang  orang-orang yang zuhud dan arif tunjukkan.(St.Diyar)

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement