Khazanah
Beranda » Berita » Konsep Wujud, Fana, dan Pujian : Renungan Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam

Konsep Wujud, Fana, dan Pujian : Renungan Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam

Ilustrasi seorang muslim yang bemunajat kepada Allah.
Ilustrasi seorang muslim yang bemunajat kepada Allah.

SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari  dalam Al-Hikam mengatakan:

“Alam semesta ini ada dengan penetapan Allah Swt., dan lenyap dengan keesaan Dzat-Nya.”

Alam semesta yang indah dan menawan ini adalah ciptaan Allah Swt. Alam semesta ada karena kehendak-Nya. Semua hewan yang terbang di udara, yang berenang dan menyelam di air, yang melata dan berjalan di darat, semuanya adalah ciptaan-Nya. Jikalau seandainya Allah Swt. tidak berkeinginan menciptakan alam semesta, maka kita tidak akan mendapati apa pun di dunia ini. Semua akan tiada dan hampa.

Oleh karena itu, perlu kita ingat, jikalau semua wujud yang kita dapati ini bersanding  dengan wujud dan keesaan-Nya, maka semuanya akan hilang dan sirna. Sebagaimana telah kita jelaskan sebelumnya, wujud hakiki itu hanyalah Allah Swt. yang memilikinya. Tidak ada seorang pun yang mampu menandingi-Nya. Maka dari itu, janganlah kita tertipu dengan dunia dan segala keindahannya. Kita akan menyesalinya di Akhirat kelak.

Pujian dan Celaan

Syekh Ibnu ‘Athaillah mengungkapkan:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

“Orang-orang memuji berdasarkan suatu dugaan yang ada pada diri kita. Maka, cacilah diri kita sesuai dengan sesuatu yang kita ketahui dalam diri kita.”

Seseorang yang memuji kita melakukannya berdasarkan pengetahuannya dan dugaannya terhadap kita. Padahal, sebagian besar dugaan tersebut jauh dari kebenaran. Janganlah kita terlena dan larut dalam pujian. Pujian adalah pedang yang siap membantai kita kapan saja. Bila ia mengetahui diri kita yang sebenarnya, mendapati keburukan dan kejelekan yang kita lakukan selama ini, maka ia akan menjauhi kita dan tidak akan pernah memuji kita sedikit pun.

Sebaliknya, bersyukurlah, karena Allah Swt. masih menutupi aib kita dan tidak menyebarkannya kepada khalayak ramai. Namun, teruslah melakukan introspeksi diri. Caci maki kelalaian dan kesalahan yang selama ini kita lakukan. Hanya Dia-lah yang pantas mengetahui aib kita. Jangan biarkan aib kita terus bersarang di dalam diri kita. Buanglah jauh-jauh.

Jikalau kita mendapatkan pujian dari seseorang, padahal kenyataannya tidak seperti itu, maka pujian itu sebenarnya adalah hinaan yang diberikan kepada kita. Bila kita larut dalam pujian, maka kita akan semakin terhina. Namun, jika kita sadar dan segera memperbaikinya, maka kita akan beruntung di dunia dan akhirat.

Sikap Seorang Mukmin saat Mendapat Pujian

Syekh Ibnu ‘Athaillah menegaskan:

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

“Jikalau seorang mukmin dipuji dengan sifat yang tidak pantas disandang oleh dirinya, maka ia akan malu kepada Allah Swt.”

Jikalau cahaya keimanan telah tertanam dalam hati seorang hamba, kemudian ia dipuji, maka ia akan merasa malu kepada Allah Swt., yaitu Dzat Yang paling layak menerima pujian. Dia-lah yang menganugerahkan karunia yang besar, sehingga aib seorang hamba tertutup, dan kebaikannya tampak di mata manusia. Jikalau saja Dia menampakkan aib tersebut, walaupun hanya sebagian kecilnya, maka tidak akan ada orang yang mau memuji dan menyanjungnya.

Orang yang beriman menyadari bahwa semua sifat kebaikan yang ada di dalam dirinya adalah karunia Allah Swt. Seandainya Allah Swt. mencabut kebaikan itu, kemudian menggantinya dengan sifat buruk, maka tentu keadaannya akan berbeda. Semua kebaikan dan kehormatan itu berasal dari-Nya, sehingga hanya Dia-lah yang layak menerima pujian. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin (Segala puji bagi Allah Swt., Tuhan semesta alam).

Oleh karena itu, ingatlah, jangan terlena oleh pujian. Jikalau ada seseorang yang memuji kita, maka sadarilah bahwa kita adalah manusia lemah yang penuh dengan kesalahan, serta aib dan cela. Jadikanlah pujian itu sebagai sarana introspeksi diri, bukan sarana menyombongkan diri.(St.Diyar)

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement