SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam mengatakan,
“Kita lebih membutuhkan kelembutan Allah Swt. ketika menaati-Nya daripada ketika kita bermaksiat kepada-Nya.”
Melaksanakan ketaatan kepada Allah Swt. memiliki hak yang sangat besar. Jika bukan karena belas kasihan-Nya, kita tidak akan mampu menjalankannya. Bayangkanlah, kita adalah makhluk lemah yang berasal dari tanah dan air mani yang hina, lalu kita menghampiri Zat Yang Maha Agung lagi Mulia. Mungkinkah kita mampu melakukannya? Tentu tidak. Kita sama sekali tidak akan mampu melaksanakan semua ketaatan yang Allah Swt. perintahkan. Hanya kasih sayang-Nyalah yang membuat kita kuat dan layak mendapatkan rahmat-Nya.
Namun demikian, ini bukan berarti kita harus berdiam diri dan tidak beribadah sedikit pun. Kita harus tetap menjalankan perintah dan menjauhi semua larangan-Nya, karena itulah jalan utama untuk meraih rahmat-Nya. Jika kita berhasil mendapatkan rahmat-Nya, itu adalah nikmat paling besar yang tidak dapat dibandingkan dengan apa pun di dunia ini.
Jika kita hanya membanggakan ketaatan kita, seberapa besarkah kadarnya yang bisa kita banggakan? Apakah itu mampu menutupi maksiat dan kelalaian yang kita lakukan selama ini?! Hanya rahmat Allah Swt. yang membuat kita mampu berada di atas jalur ketaatan kepada-Nya.
Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari menjelaskan,
“Tirai Allah Swt. itu ada dua. Pertama, tirai yang menghalangi dari maksiat. Kedua, tirai ketika melakukan maksiat. Orang-orang awam memohon kepada-Nya untuk dilindungi dari maksiat karena takut kedudukan mereka jatuh di hadapan manusia. Sedangkan orang-orang khusus memohon kepada-Nya untuk dilindungi dari maksiat karena takut jatuh kedudukan mereka di hadapan-Nya.”
Penjagaan dari Maksiat
Syekh Ibnu ‘Athaillah menjelaskan bahwa Allah Swt. menjaga kita agar tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan. Sebagai contoh, bayangkan kita sedang lapar, namun belum sampai pada tingkatan darurat. Saat berjalan, kita melihat sebungkus nasi lengkap dengan lauk-pauknya. Jika kita mengambilnya, kita dianggap mencuri, sebab itu adalah hak orang lain. Namun, jika tidak diambil, perut kita akan terus keroncongan.
Bagaimanakah cara Allah Swt. menjaga hamba-Nya dalam keadaan seperti ini?
Mungkin, Allah Swt. mengilhamkan ke dalam hati hamba tersebut agar mengingat dosa dari perbuatan maksiat yang akan kita lakukan. Panasnya api neraka lebih dahsyat daripada rasa lapar yang sedang terasakan saat ini. Atau, bisa juga Dia menghadirkan pemiliknya, kemudian menawari kita ikut makan bersama pemilik nasi tersebut, atau memberikan makanan itu kepada kita. Intinya, Dia akan memberikan jalan kepada hamba tersebut agar bebas dari maksiat dan tidak masuk ke dalam lingkarannya.
Penjagaan dalam Perbuatan Maksiat
Menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam menerangkan bahwa ketika kita melakukan perbuatan maksiat, Allah Swt. akan menjaga kita dengan tidak menyebarkan aib kita di hadapan khalayak ramai. Dalam kehidupan sehari-hari, berapa banyak maksiat yang kita lakukan, terutama secara sembunyi-sembunyi? Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Allah Swt. dan kita. Bahkan, jika maksiat yang kita lakukan itu tersebar, kita akan merasa sangat malu untuk berjalan atau tampil di muka umum.
Namun, kasih sayang Allah Swt. selalu tercurahkan kepada para hamba-Nya. Allah Swt. menutupi aib kita dan tidak menyebarkannya kepada orang lain. Kehormatan kita tetap terjaga, dan kita tidak kehilangan harga diri. Sayangnya, terkadang kita tidak mensyukuri nikmat besar yang diberikan Allah Swt. ini. Kita tidak menjadi jera melakukan maksiat. Kita selalu melakukannya lagi dan lagi, seolah-olah kita tidak pernah jera bermaksiat kepada-Nya. Oleh karena itu, marilah kita bertaubat dengan sebenar-benarnya, dan menjauhi semua larangan-Nya.
Itulah dua jenis penjagaan yang Allah Swt. berikan kepada para hamba-Nya. Ada perbedaan di kalangan orang awam dan orang khusus dalam menyikapinya. Orang awam memohon kepada Allah Swt. agar dilindungi dari maksiat, sehingga nama baiknya tidak tercoreng di hadapan khalayak dan tidak malu berhadapan dengan mereka. Sedangkan orang khusus, ia memohon kepada Allah Swt. agar dilindungi dari maksiat, sehingga kedudukannya tidak jatuh di hadapan-Nya. Jelas sekali perbedaaan niat kedua kelompok ini.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
