Kisah
Beranda » Berita » Sayembara Mendatangkan Nabi Khidir

Sayembara Mendatangkan Nabi Khidir

kisah sufi
Ilustrasi

SURAU.CO.  Ini kisah seorang raja yang dzalim ingin mendapatkan keuasaan yang tanpa batas.  Ia ingin menyentuh jubah Nabi Khidir.  Hal ini karena ada kisah yang menyebit siapa yang bisa menyentuh jubahnya maka segala pengetahuan akan menjadi miliknya. Karena raja ini rakus maka ia ingin menyentuh jubah tersebut agar kekuasaannya bertambah besar.

Kisah berawal dari jantung Turkistan yang berdebu. Saat itu hiduplah seorang raja dengan ambisi yang melampaui batas kerajaannya. Suatu malam, ia duduk mendengarkan seorang darwis atau sufi tua bercerita. Dalam suasana khidmat itu, tirani sang raja  kemudian bertanya, “Wahai Darwis, tahukah engkau cerita Nabi Khidir?” tanya

Darwis itu menanggapi dengan tenang, “Khidir? Ia datang jika diperlukan. Siapa pun yang berhasil menyentuh jubahnya, segala pengetahuan alam semesta akan menjadi miliknya.”

“Apakah itu berlaku untuk semua orang?” desak raja.

“Pada semua orang,” jawab Darwis mantap.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Mendengar janji kekuasaan absolut, mata raja berkilat. “Kalau begitu, aku harus mendatangkannya. Tidak boleh ada seorang pun yang lebih pintar dan lebih berkuasa daripadaku!,” katanya dalam hati.

Sang Raja yang Rakus

Maka keesokan harinya, raja  sayembara ke seluruh negeri.  “Barangsiapa bisa menghadirkan Nabi Khidir ke hadapanku, ia akan kujadikan orang kaya raya,” begitu kira-kira bunyinya.

Sayembara berhadiah besar ini kemudian sampau ke telinga Bakhtiar Baba.  Lelaki miskin dan  kedua matan tidak melihat itu tertarik. Karena kemiskinannya,  Baba kemudian  merangkai rencana yang nekat.

“Aku punya rencana,” kata Bakhtiar Baba kepada istrinya dengan suaranya penutekad yang menyayat.

“Kita akan segera kaya. Namun, tak lama setelah itu, aku harus mati. Tidak mengapa, sebab kekayaan kita itu akan menghidupi engkau dan anak-anak kita,” ujarnya.

Mengelola Amarah Menurut Hadis: Panduan Praktis Menahan Emosi Sesuai Tuntunan Nabi

Tidak sberapa lama, dengan langkah yang penuh keberanian, Bakhtiar Baba menghadap Raja.

“Paduka Raja, Izinkan hamba mengikuti sayembara ini. Jika Paduka bersedia memberiku seribu keping uang emas, hamba akan mencari Nabi Khidir dalam waktu empat puluh hari,” ucapnya.

Mendangar hal tersebut, Raja menjawan, “Tentu saja. Kalau kau bisa menemukan Khidir dan membawanya kemari, kau akan mendapat sepuluh ribu keping uang emas. Tapi, jika gagal, kau akan mati! Kau akan dipancung di tempat ini sebagai peringatan bagi siapa pun yang mencoba mempermainkan rajanya.”

Bakhtiar Baba menerima syarat mengerikan itu dengan mantap. Setelah itu ia pulang, menyerahkan seribu keping emas kepada istrinya sebagai jaminan hari tua mereka. Namun Baba tidak pergi ke mana-mana, tidak mencari Nabi Khidir.

Pada sisa empat puluh hari , ia memilih untuk merenung dan mempersiapkan diri memasuki kehidupan lain.

Membangun Resiliensi Mental yang Kokoh Melalui Konsep Mujahadah

Kebenaran yang Menyakitkan

Hari keempat puluh tiba. Dengan langkah penuh keyakinan, Bakhtiar Baba kembali menghadap Raja. Di depan Paduka, ia tidak gentar. “Paduka Raja,” ujar Bakhtiar Baba, tatapannya kosong namun suaranya tegas. “Kerakusanmu telah membuat Paduka berpikir bahwa uang emas akan bisa mendatangkan Nabi Khidir. Tetapi Nabi Khidir tidak akan muncul oleh karena undangan yang berdasarkan kerakusan.”

Raja sangat terkejut dan kemudian murka. “Orang celaka! Kau tidak sayang pada nyawamu! Siapa pula kau ini? Beraninya kau mencampuri keinginanku?,” hardiknya dengan suara keras. Kemudian raja meminta pednapat menterinya.

Paduka Raja lantas bertanya pada Menteri Pertarna, Menteri Kedua, dan Menteri Ketiga. “Bagaimana cara orang itu mati?” tanya Paduka raja kepada ketiga menterinya. ”Panggang dia hidup-hidup sebagai peringatan!” jawab Menteri Pertama.

“Potong-potong tubuhnya! Pisah-pisahkan anggota badannya,” jawab menteri kedua.

Kemudian menteri ketiga menjawab, “Sediakan kebutuhan hidup orang itu agar ia tidak menipu lagi demi kelangsungan hidup keluarganya.

Ketika pembicaraan antara Sang Raja dan para Menteri berlangsung, seseorang tua yang bijaksana memasuki ruang pertemuan itu. Semua orang yang ada dalam ruangan tersebut tertegun Wajahnya bersinar, dan ia mulai berbicara dengan bijaksana. Raja dan semua yang hadir terpana.

tiba-tiba lelaki misterius itu berkata, “Setiap orang mengajukan pendapat sesuai dengan prasangka yang tersembunyi di dalam dirinya.” .

“Apa maksudmu?” tanya Raja, bingung.

“Maksudku,” kata tua misterius itu. “Menteri Pertama Paduka itu dulunya adalah Tukang Roti. Jadi ia berbicara tentang panggang-memanggang. Kemudian  Menteri Kedua dulunya adalah tukang jagal, jadi ia berbicara tentang potong-memotong daging. Dan, Menteri Ketiga, hanya dia yang telah mempelajari ilmu kenegaraan—melihat sumber masalah yang kita bicarakan ini dengan bijaksana,” jawabnya

Raja hanya diam termangu.

“Catat dua hal ini,” lanjut lelaki tua itu. . “Pertama, Khidir muncul melayani setiap orang sesuai kemampuan orang itu untuk memanfaatkan kedatangannya. Kedua, Bakhtiar  terdesak oleh keputusasaannya sehingga melakukan tindakan menipumu. Aku tahu, keperluannya semakin mendesak. Maka, aku pun muncul di depanmu!”

Ketika orang-orang terpukau,  lelaki bijaksana itu lenyap dari pandangan mata.

Raja tersentak dan baru sadar yang hadir secara tiba-tiba itu adalah Nabi Khidir. Namun, ia tidak sempat berpikir untuk memegang jubah-Nya. Kesadarannya untuk berbuat baik sudah mulai ada nasehatnya tadi. Sesuai yang diperintahkan Nabi Khidir, Raja memberikan tunjangan belanja teratur kepada Bakhtiar Baba. Sementara itu, Menteri Pertama dan Kedua dipecat dan harus kembali ke pekerjaan lama mereka sebagai tukang roti dan tukang jagal. Bakhtiar Baba sendiri, yang kini hidup dalam kecukupan, bertekad mengembalikan seribu keping uang emas yang dulu ia terima kepada kas kerajaan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement