SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam menjelaskan:
“Pemikiran adalah perjalanan hati dalam medan ciptaan Allah Swt.”
Pemikiran merupakan perjalanan hati yang bertujuan mengenal hakikat makhluk Allah Swt. Sehingga, kita tidak tertipu dengan kenikmatan yang ada di dalamnya. Kita harus mengetahui bahwa di negeri ini (dunia) tidak ada rasa cinta yang abadi, baik kepada keluarga, pasangan, anak, dan manusia pada umumnya. Bisa jadi, suatu saat kita akan membenci mereka karena sebab-sebab tertentu yang kita sendiri tidak menginginkannya.
Jikalau kita hanya sekadar berpaling meninggalkan dunia tanpa mengenal hakikatnya sama sekali, maka kita akan penasaran dan ingin mengetahuinya lebih jauh. Sehingga, kita akan menghampirinya dan ingin mencicipinya. Sedangkan jikalau kita menjauhi dunia karena sudah mengenalnya dengan baik, maka kita tidak akan pernah mendekatinya lagi.
Untuk menjadikannya sebagai bahan pelajaran, lihatlah keadaan orang-orang yang tergila-gila dengan dunia dalam hidup mereka. Bukankah kehidupan yang mereka alami penuh penderitaan dan kesusahan? Harta mungkin banyak, namun hati tetap gelisah. Keadaan seperti ini sama sekali tidak akan menguntungkan kita. Kenalilah dunia, maka kita akan menjauhinya.
Berpikir Adalah Lentera Hati
Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari menetapkan fungsi pikiran:
“Pemikiran adalah cahaya hati. Jikalau itu hilang, maka tidak akan ada lagi cahayanya.”
Apakah kita mengetahui fungsi hati yang kita miliki?! Hati berfungsi untuk berpikir (tafakkur). Pikiran bagaikan cahaya yang akan menerangi jalan hidup ini. Menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah, pikiran adalah hidayah yang akan menunjukkan kita tentang sesuatu, apakah baik atau tidak, apakah layak kita dapatkan atau tidak, apakah sesuai dengan ketentuan syariat atau tidak. Pikiran akan menunjuki kita di tengah gelapnya kejahilan kita.
Jikalau pikiran tiada, maka hati kita akan hidup di tengah kegelapan abadi. Kita akan hidup di tengah kesengsaraan yang tidak ada ujungnya. Oleh karena itu, berpikirlah terus dan jangan pernah berhenti. Kita dan hewan, pada hakikatnya adalah sama (makhluk). Namun, kita Dia muliakan oleh Allah Swt. dengan kemampuan berpikir. Maka, manfaatkanlah kelebihan ini baik-baik.
Dua Jenis Pemikiran
Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari membagi pemikiran menjadi dua:
“Pikiran itu ada dua macam, yaitu pikiran yang berasal dari pembenaran dan keimanan, serta pikiran yang berasal dari penyaksian dan penampakan. Jenis pertama adalah bagi orang-orang yang bisa mengambil pelajaran, sedangkan jenis kedua adalah bagi orang-orang yang bisa melihat dan menyaksikan dengan mata hati.”
Pemikiran manusia terdiri atas dua jenis: Pertama. pemikiran dari pembenaran dan keimanan (Istidlal): Pemikiran ini dimiliki oleh orang yang membenarkan semua yang disampaikan oleh Allah Swt. melalui lisan rasul-Nya. Ia meyakininya dengan cahaya keimanan. Dalam hatinya, tertanam bahwa semua yang Allah perintahkan untuk mendekatkan diri kepada-Nya adalah hak dan wajib kita jalankan. Sedangkan semua larangan-Nya yang Allah minta jauhi adalah maksiat dan kebatilan yang tidak layak didekati sama sekali. Hanya saja, orang-orang yang berada dalam kelompok ini belum sampai pada tingkatan penyaksian dengan mata hati. Mereka baru melangkah menuju tingkatan itu. Kedua, pemikiran dari penyaksian dan penampakan (Musyahadah): Orang-orang yang berada dalam jenis kedua ini adalah tingkatan paling tinggi. Mereka mampu melihat sesuatu sesuai dengan kenyataan hakiki. Cahaya Allah Swt. sudah terpatri di dalam hatinya.
Kita berada di kelompok yang mana? Kita-lah yang lebih mengetahui diri sendiri. Jikalau kita masih berada di kelompok pertama, maka berusahalah terus-menerus untuk mencapai tingkatan selanjutnya. Semakin tinggi tingkatan yang kita dapatkan, maka semakin besar kenikmatan yang kita rasakan bersama-Nya.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
