Khazanah
Beranda » Berita » Ketika Allah Menutupi Aib Kita: Hakikat Amal dalam Al-Hikam

Ketika Allah Menutupi Aib Kita: Hakikat Amal dalam Al-Hikam

Ilustrasi hamba yang tengah mendekatkan diri kepada Allah.
Ilustrasi hamba yang tengah mendekatkan diri kepada Allah.

SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam berpesan:

“Jika kita meyakini bahwa kita tidak akan sampai kepada Allah Swt. kecuali setelah lenyapnya keburukan-keburukan kita dan hilangnya prasangka-prasangka kita, maka kita tidak akan sampai kepada-Nya selama-lamanya. Akan tetapi, jikalau Dia ingin kita sampai kepada-Nya, maka Dia akan menutupi sifat dan watak kita dengan sifat dan watak-Nya. Kemudian, Dia akan menjadikan kita tiba di hadapan-Nya dengan sesuatu yang berasal dari-Nya, bukan dengan sesuatu yang kita persembahkan untuk-Nya.”

Jangan pernah menyangka bahwa kita tidak akan pernah mencapai makrifat jika segala keburukan dalam diri kita—baik lahir maupun batin—belum lenyap, atau jika kita masih menyimpan prasangka buruk. Sebab, prasangka tersebut justru akan menghalangi kita mencapai makrifat, baik sekarang maupun di masa depan.

Jangan Membangga-banggakan Kebaikan

Apa yang kita banggakan dari kebaikan kita? Apakah kita menyangka bahwa semua kebaikan dan ibadah yang kita lakukan akan mampu mengantar kita menuju makrifat-Nya? Tidak, sekali lagi tidak. Walaupun kita mempersembahkan seluruh hidup untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, semua itu tidak akan menjamin kita sedikit pun untuk bisa meraih makrifat kepada-Nya.

Ketahuilah, hanya rahmat Allah-lah yang akan mengantarkan kita menuju makrifat-Nya, bukan yang lainnya. Dengan kehendak Allah Swt., kita akan sampai kepada-Nya, walaupun amalan kita masih sedikit dan kecil dalam pandangan kita.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Jikalau kita termasuk dalam kategori hamba pilihan Allah Swt., maka Dia akan menjadikan kita sampai kepada-Nya dengan cara-Nya sendiri. Yaitu, dengan menutupi sifat hina kita dengan sifat-Nya yang mulia, dan watak kita yang rendah dengan watak-Nya yang agung. Saat itu, kita akan mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa. Kita menjadi bagian dari para hamba-Nya yang dekat. Kata-kata yang kita keluarkan bagaikan mutiara yang berada di bawah aturan-Nya. Tindakan dan perbuatan kita tidak akan keluar dari jalur yang ditentukan-Nya.

Poin penting yang perlu kita ingat adalah bahwa kita tidak akan pernah sampai kepada Allah Swt. hanya dengan amalan yang kita kerjakan. Tidak, dan tidak akan pernah selama-lamanya. Kita hanya akan sampai kepada Allah Swt. dengan rahmat-Nya.

Penyebab Allah Menerima Amalan Kita

Kemudian Syekh Ibnu ‘Athaillah berkata:

“Jika bukan karena keindahan tirai Allah Swt., maka tidak akan ada amalan yang layak diterima.”

Seseorang telah salah kaprah bila merasa bahwa semua amalan yang dilakukan layak diterima karena kesucian diri dari aib dan kesalahan. Ketahuilah, amalan kita layak diterima oleh Allah Swt. semata-mata karena Dia menutupi aib kita.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Janganlah pernah merasa lebih suci dan bersih daripada orang lain. Jangan pernah merasa kita tidak berdosa. Jangan pernah merasa kita lebih shalih dari orang lain. Bisa jadi, orang yang kita anggap remeh lebih baik daripada kita di hadapan-Nya. Dan, bisa jadi justru kita sendiri yang lebih buruk di hadapan-Nya, walaupun kita sudah merasa hebat.

Apakah kita tidak menyadari berapa banyak aib dan kesalahan yang kita lakukan dalam setiap detik kehidupan kita? Jikalau seandainya kesalahan itu berbau, maka tidak akan ada yang berani mendekati kita karena baunya yang luar biasa busuk. Bersikaplah santai, dan jangan merasa lebih baik daripada orang lain. Biarkanlah Allah Swt. yang menilai semuanya, sebab Allah adalah Zat Yang Maha Menguasai segala sesuatu.

Semua amalan yang kita kerjakan layak diterima oleh Allah Swt. hanya karena rahmat-Nya semata-mata. Tidak akan ada satu amalan pun yang layak diterima jika kita hanya mengandalkan diri kita sendiri. Semuanya busuk, dan tempat terbaiknya adalah tong sampah. Karena itu, rendahkanlah diri kita. Bersikaplah tawadhu (rendah hati) kepada Allah Swt. dan para hamba-Nya.(St.Diyar)

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement