Khazanah
Beranda » Berita » Menentukan Kredibilitas Perawi Hadits menurut Kitab Taisir Mushthalah al-Hadits

Menentukan Kredibilitas Perawi Hadits menurut Kitab Taisir Mushthalah al-Hadits

Timbangan keadilan perawi hadits, menggambarkan Al-Jarh wa at-Ta’dîl, evaluasi kredibilitas untuk menentukan validitas hadits.
Ilustrasi ini menggambarkan ilmu Al-Jarh wa at-Ta’dîl sebagai timbangan keadilan bagi perawi hadits. Setiap perawi ditimbang berdasarkan kriteria keadilan dan hafalan mereka, menentukan apakah riwayatnya akan diterima atau ditolak, sehingga menjaga kemurnian ajaran Nabi Muhammad.

Surau.co. Dalam studi keislaman, hadits Nabi Muhammad ﷺ selalu menempati posisi fundamental setelah Al-Qur’an. Hadits berfungsi sebagai sumber hukum sekaligus pedoman hidup umat Islam. Karena itu, para ulama kemudian mengembangkan metodologi ilmiah yang sangat ketat, salah satunya adalah disiplin Al-Jarh wa at-Ta’dîl. Ilmu ini secara khusus menilai kredibilitas para perawi hadits, sehingga para ulama dapat memastikan bahwa setiap mata rantai periwayatan benar-benar terbebas dari cacat yang merusak keabsahan riwayat. Kitab Taisir Mushthalah al-Hadits karya Dr. Mahmûd Thahhan hadir sebagai salah satu rujukan penting yang menjelaskan prinsip-prinsip ini secara ringkas namun komprehensif.

Seiring berkembangnya kajian hadits, pembahasan Al-Jarh wa at-Ta’dîl dalam Taisir Mushthalah al-Hadits menjadi sangat vital. Hal ini terjadi karena keputusan menerima atau menolak suatu hadits sering kali bergantung langsung pada kondisi perawinya. Jika penilaian terhadap keadilan dan hafalan perawi tidak dilakukan dengan teliti, maka keaslian hadits tidak mungkin terjaga. Oleh sebab itu, artikel ini secara ringan akan mengulas prinsip evaluasi perawi, mencakup konsep jarh dan ta’dîl, kriteria penilaian, istilah-istilah teknis, serta peran para ulama yang berkompeten di bidang ini.

Urgensi Kredibilitas Perawi dalam Ilmu Hadits

Para ulama menilai kredibilitas perawi sebagai faktor penentu utama dalam memverifikasi keabsahan sebuah hadits. Hadits merupakan laporan yang bersumber dari Nabi Muhammad ﷺ dan diteruskan melalui rangkaian perawi. Karena itu, jika sebuah mata rantai diisi oleh perawi yang lemah, baik dari sisi keadilan maupun hafalan, maka riwayat tersebut akan terpengaruh secara langsung. Dengan demikian, penelitian terhadap perawi menjadi sangat mendesak untuk menjaga kemurnian Sunnah Nabi Muhammad ﷺ dari riwayat yang tidak akurat atau bahkan palsu.

Ilmu Al-Jarh wa at-Ta’dîl kemudian muncul sebagai instrumen utama untuk menyaring riwayat. Melalui disiplin ini, para ulama dapat meneliti latar belakang, karakter, dan kemampuan intelektual setiap perawi. Dr. Mahmûd Thahhan dalam Taisir Mushthalah al-Hadits menekankan bahwa evaluasi tersebut merupakan langkah mendasar sebelum memutuskan apakah suatu hadits dapat diterima atau harus ditolak. Dengan demikian, umat Islam dapat berpegang teguh pada ajaran yang benar-benar bersumber dari Nabi.

Mengenal Al-Jarh wa at-Ta’dîl: Definisi dan Landasan Syar’i

Secara bahasa, al-jarh berarti luka atau cacat, sedangkan at-ta’dîl berarti meluruskan atau memuji. Dalam terminologi musthalah hadits, al-jarh menunjuk pada sifat dalam diri perawi yang menyebabkan riwayatnya ditolak atau dinilai rendah; sementara at-ta’dîl menunjukkan sifat yang menjadikan riwayatnya diterima. Dr. Mahmûd Thahhan mendefinisikan Al-Jarh wa at-Ta’dîl sebagai “Ilmu yang membahas cacat yang dapat mencemarkan perawi dan pujian yang membenarkan perawi.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Ilmu ini memiliki landasan syar’i yang kokoh. Al-Qur’an dan Sunnah mengajarkan umat Islam untuk memverifikasi berita, terutama bila sumbernya tidak jelas. Allah SWT berfirman:

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا”
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seorang fasik datang membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya.”
(QS. Al-Hujurat: 6)

Ayat ini secara tegas mengharuskan umat Islam mengecek sumber berita—yang kemudian menjadi pondasi dasar lahirnya ilmu Al-Jarh wa at-Ta’dîl.

Kriteria Jarh: Cacat Keadilan dan Hafalan Perawi

Para ulama menjadikan al-jarh sebagai upaya untuk mengidentifikasi cacat pada perawi. Mereka mengelompokkan cacat tersebut dalam dua kategori besar: cacat yang berkaitan dengan keadilan dan cacat yang berkaitan dengan hafalan. Dr. Mahmûd Thahhan menguraikan keduanya secara rinci.

Cacat keadilan meliputi sifat-sifat yang merusak integritas moral perawi, seperti melakukan dosa besar, terus-menerus melakukan dosa kecil, atau melakukan bid’ah yang menghilangkan kepercayaan. Beberapa istilah yang sering dipakai para ulama adalah kadzib, fasik, jahalah, atau bid’ah. Sementara itu, cacat hafalan mencakup ketidakmampuan perawi menjaga riwayat, seperti ghaflah, kasratul wahm, atau su’ al-hifz. Jika seorang perawi memiliki salah satu cacat ini, maka riwayatnya ditolak atau setidaknya diturunkan kualitasnya.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Kriteria Ta’dîl: Membangun Kepercayaan dan Penerimaan Riwayat

Sebaliknya, at-ta’dîl memberikan penilaian positif kepada perawi yang memiliki integritas serta kemampuan menghafal dengan baik. Kriteria ta’dîl juga terbagi dalam dua aspek: keadilan dan hafalan. Perawi yang adil biasanya dikenal jujur, saleh, menjaga diri dari dosa besar, tidak terus-menerus melakukan dosa kecil, dan berakhlak baik. Perawi semacam ini dianggap Muslim yang bertakwa.

Adapun perawi yang dhabit adalah perawi yang memiliki hafalan kuat dan akurat. Ia mampu mengingat hadits dengan baik sejak menerima hingga menyampaikan, serta mampu menjaga riwayat dari perubahan. Bila seorang perawi memenuhi dua aspek ini, para ulama menyebutnya sebagai tsiqqah—perawi yang riwayatnya sangat layak diterima.

Istilah dalam Al-Jarh wa at-Ta’dîl

Para ulama yang ahli dalam disiplin ini memakai istilah yang sangat beragam dengan tingkatan yang berbeda. Untuk ta’dîl, mereka menggunakan istilah seperti “ثِقَةٌ ثَبْتٌ” (tsiqatun tsabatun), “مُتْقِنٌ حَافِظٌ” (mutqinun hāfizh), atau “إِمَامٌ” (imāmun). Istilah-istilah itu menunjukkan bahwa perawi tersebut sangat terpercaya.

Untuk jarh, para ulama juga mengurutkan istilah celaan dari yang paling ringan hingga paling berat. Contohnya “فِيهِ مَقَالٌ” (fīhi maqālun) hingga “كَذَّابٌ” (kaddzābun), “وَضَّاعٌ” (waddhā‘un), atau “دَجَّالٌ” (dajjālun). Pemahaman istilah ini sangat penting agar pembaca mampu memahami kritik ulama terhadap perawi.

Ulama Ahli Al-Jarh wa at-Ta’dîl dan Kontribusinya

Ilmu Al-Jarh wa at-Ta’dîl berkembang karena dedikasi besar para ulama yang meneliti ribuan perawi secara detail. Di antara ulama yang paling berpengaruh adalah Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa’i, dan Ibnu Hajar Al-Asqalani.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Mereka tidak hanya mengumpulkan hadits, tetapi juga melakukan perjalanan panjang untuk menemui perawi, mengonfirmasi riwayat, dan membandingkan berbagai jalur periwayatan. Karya monumental seperti At-Tarikh Al-Kabir karya Imam Bukhari dan Kitab Al-Jarh wa at-Ta’dîl karya Ibnu Abi Hatim Ar-Razi menjadi standar bagi generasi ulama setelahnya.

Implikasi Al-Jarh wa at-Ta’dîl dalam Menentukan Status Hadits

Hasil evaluasi terhadap perawi memiliki pengaruh langsung pada status hadits. Jika perawi mendapat jarh berat, haditsnya akan menjadi dha’if jiddan atau bahkan maudhu’. Sebaliknya, jika semua perawi dinilai tsiqqah, hadits tersebut dapat naik menjadi shahih atau hasan.

Dr. Mahmûd Thahhan menegaskan bahwa sanad yang kuat dan bebas dari masalah merupakan syarat utama kesahihan hadits. Jika salah satu perawi majhul atau dha’if, maka kedudukannya akan menurun. Karena itu, para ulama menempatkan ilmu Al-Jarh wa at-Ta’dîl sebagai saringan pertama dalam menilai hadits.

Penutup: Pilar Keotentikan Sunnah Melalui Evaluasi Perawi

Ilmu Al-Jarh wa at-Ta’dîl, sebagaimana dijelaskan dalam Taisir Mushthalah al-Hadits, merupakan pilar penting yang menjaga keautentikan Sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Melalui proses evaluasi yang teliti, para ulama memastikan bahwa ajaran Islam tetap murni dan jauh dari intervensi manusia.

Pemahaman terhadap peran disiplin ini membantu kita lebih menghargai setiap hadits shahih dan hasan yang sampai kepada kita. Riwayat tersebut merupakan hasil kerja keras para ulama yang mengorbankan waktu, tenaga, dan perjalanan panjang.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement