Surau.co. Bahasa Arab, sebagai salah satu bahasa tertua dan paling kaya di dunia, memiliki struktur dan pembentukan frasa gramatikal yang sangat sistematis dan indah. Kunci untuk membuka gerbang pemahaman bahasa ini terletak pada penguasaan kaidah-kaidah tata bahasanya, yang terbagi menjadi nahwu (sintaksis) dan shorof (morfologi).
Di antara sekian banyak literatur tata bahasa Arab, kitab Mulakhhas Qawaid al-Lughah al-Arabiyyah karya Fou’ad Ni’mah muncul sebagai panduan komprehensif yang telah membantu jutaan pelajar di berbagai belahan dunia. Kitab ini, dengan pendekatannya yang ringkas namun padat, menjadi mercusuar bagi siapa saja yang ingin menyelami seluk-beluk konstruksi kalimat yang sempurna dalam memahami Struktur dan Pembentukan Frasa.
Memahami struktur dan pembentukan frasa adalah langkah krusial untuk menguasai Bahasa Arab. Frasa, sebagai satuan gramatikal yang lebih besar dari kata namun lebih kecil dari kalimat, merupakan blok bangunan fundamental dalam menyampaikan ide dan gagasan. Sebuah frasa yang terbentuk dengan benar akan menghasilkan makna yang jelas dan mencegah kekeliruan interpretasi.
Artikel ini akan membedah secara edukatif bagaimana Mulakhhas Qawaid al-Lughah al-Arabiyyah menjelaskan kaidah-kaidah pembentukan frasa yang sempurna, menjauh dari pembahasan filosofis, dan fokus pada aplikasi praktis yang dapat dimengerti oleh pembaca awam maupun akademisi. Pemahaman ini sangat penting, apalagi mengingat bahwa Al-Qur’an dan Hadits, dua sumber utama ajaran Islam, tersusun dalam Bahasa Arab yang kaya akan variasi frasa.
Mengenal Frasa dalam Bahasa Arab: Fondasi Kalimat yang Bermakna
Frasa, dalam terminologi nahwu, seringkali dikenal dengan berbagai istilah tergantung jenisnya, namun intinya adalah dua kata atau lebih yang saling berkaitan dan membentuk satu kesatuan makna tetapi belum mencapai taraf kalimat sempurna. Mulakhhas Qawaid al-Lughah al-Arabiyyah mengulasnya dengan detail, terutama dalam pembahasan Isim, Fi’il, Harf, dan Jumlal. Pembentukan frasa yang tepat merupakan jembatan emas menuju penyusunan kalimat (jumlah) yang sempurna.
Para ahli bahasa Arab telah lama menekankan pentingnya memahami frasa. Misalnya, dalam kitab Al-Ajurrumiyyah, meskipun tidak secara eksplisit membahas “frasa”, konsep-konsep dasar seperti mudhaf-mudhaf ilaih atau na’at-man’ut sudah menjadi fondasi pembentukan frasa. Pemahaman ini memungkinkan seseorang untuk merangkai kata-kata tidak hanya secara gramatikal benar, tetapi juga memiliki kejelasan makna yang tidak ambigu.
Frasa Ismiyah: Kekuatan Ikatan Mudhaf dan Mudhaf Ilaih
Salah satu jenis frasa yang paling sering ditemui dalam Bahasa Arab adalah frasa idhofi atau mudhaf-mudhaf ilaih (مضاف ومضاف إليه). Frasa ini terdiri dari dua isim atau lebih yang saling bersandar, membentuk kepemilikan atau spesifikasi. Isim pertama (mudhaf) kehilangan tanwin atau nun tatsniyah/jamak, sementara isim kedua (mudhaf ilaih) selalu dalam keadaan majrur (berakhiran kasrah atau ya’). Fou’ad Ni’mah dalam Mulakhhas Qawaid al-Lughah al-Arabiyyah menguraikan kaidah ini dengan gamblang, memberikan banyak contoh untuk memudahkan pemahaman.
Pembentukan frasa mudhaf-mudhaf ilaih tidak hanya sekadar menggabungkan dua kata, melainkan membentuk satu kesatuan makna. Sebagai contoh, frasa بَيْتُ اللَّهِ (baitullah) berarti “rumah Allah”. Di sini, بَيْتُ adalah mudhaf dan اللَّهِ adalah mudhaf ilaih yang majrur. Contoh lain, كِتَابُ الطَّالِبِ (kitabut thalibi) yang berarti “buku seorang siswa”. Perhatikan bahwa mudhaf tidak boleh bertanwin atau beralif lam, sedangkan mudhaf ilaih selalu majrur. Kejelasan kaidah ini sangat krusial agar tidak salah dalam memahami makna, terutama dalam ayat-ayat Al-Qur’an seperti firman Allah:
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan manusia.” (Surat An-Nas: 1)
Frasa رَبِّ النَّاسِ (Rabb An-Nas) adalah contoh jelas dari mudhaf-mudhaf ilaih, di mana رَبِّ (Rabb) adalah mudhaf dan النَّاسِ (An-Nas) adalah mudhaf ilaih yang majrur, membentuk kepemilikan “Tuhan milik manusia”.
Frasa Na’at Man’ut: Deskripsi yang Menambah Kejelasan
Jenis frasa penting lainnya adalah na’at-man’ut (نعت ومنعوت) atau sifat-maushuf. Frasa ini terdiri dari isim yang disifati (man’ut) dan isim yang mensifati (na’at). Aturan emas dalam frasa ini adalah na’at harus mengikuti man’ut dalam empat hal dari sepuluh: i’rab (rafa’, nashob, jar), jenis (mudzakkar/muannats), jumlah (mufrad/mutsanna/jamak), dan kejelasan (nakirah/ma’rifah).
Mulakhhas Qawaid al-Lughah al-Arabiyyah menekankan keselarasan ini untuk mencapai deskripsi yang akurat. Contoh yang sering digunakan adalah قَلَمٌ جَدِيدٌ (qalamun jadidun) yang berarti “pulpen baru”. Di sini, قَلَمٌ adalah man’ut dan جَدِيدٌ adalah na’at. Keduanya sama-sama marfu’, nakirah, mufrad, dan mudzakkar. Jika man’utnya menjadi ma’rifah, na’atnya juga harus ma’rifah, seperti الْقَلَمُ الْجَدِيدُ (al-qalamu al-jadidu) “pulpen yang baru”. Keselarasan ini memastikan bahwa sifat yang disebutkan benar-benar merujuk pada benda yang disifati.
Pentingnya frasa na’at-man’ut ini terasa dalam Hadits Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan sifat-sifat Allah atau para Nabi, seperti dalam hadits:
(عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا” (رواه مسلم
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim)
Frasa طَيِّبٌ (thayyibun) sebagai na’at untuk Allah, menunjukkan sifat yang sesuai, menegaskan bahwa Allah adalah Zat yang Mahabaik.
Athaf: Merangkai Gagasan dengan Keselarasan
Frasa athaf (عطف) adalah frasa yang menghubungkan dua kata atau lebih, atau dua frasa atau lebih, menggunakan huruf athaf (kata sambung). Huruf athaf yang paling umum adalah وَ (wa – dan), فَ (fa – lalu), ثُمَّ (tsumma – kemudian), أَوْ (aw – atau). Mulakhhas Qawaid al-Lughah al-Arabiyyah mengajarkan bahwa ma’thuf (yang diathafkan) harus mengikuti ma’thuf alaih (yang diathafkan padanya) dalam hukum i’rab-nya.
Contoh frasa athaf adalah جَاءَ زَيْدٌ وَعَمْرٌو (jaa’a Zaidun wa ‘Amrun) “Zaid dan ‘Amr datang”. Di sini, عَمْرٌو adalah ma’thuf yang mengikuti Zَيْدٌ dalam keadaan rafa’-nya. Kaidah ini juga berlaku dalam Al-Qur’an, seperti firman Allah:
وَالْعَصْرِ * إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ * إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Surat Al-Asr: 1-3)
Dalam ayat ini, آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ adalah contoh frasa athaf yang panjang, di mana setiap frasa kerja setelah huruf waw (وَ) mengikuti hukum i’rab pada frasa sebelumnya, menyusun rangkaian sifat orang-orang yang tidak merugi.
Frasa Jar Majrur: Keterangan yang Memperjelas Lokasi dan Fungsi
Frasa jar majrur (جار ومجرور) adalah kombinasi antara huruf jar dan isim yang di-jar-kan (majrur). Huruf jar, seperti مِنْ (min – dari), إِلَى (ila – ke), عَلَى (ala – di atas), فِي (fi – di dalam), لِـ (li – untuk), بِـ (bi – dengan), berfungsi memberikan keterangan tambahan seperti tempat, waktu, tujuan, atau sebab. Mulakhhas Qawaid al-Lughah al-Arabiyyah menjelaskan bahwa isim yang datang setelah huruf jar akan selalu dalam keadaan majrur.
Contohnya adalah ذَهَبَ إِلَى الْمَسْجِدِ (dzahaba ilal masjidi) “pergi ke masjid”. Di sini, إِلَى adalah huruf jar dan الْمَسْجِدِ adalah isim yang majrur. Frasa ini memberikan keterangan arah. Pentingnya frasa jar majrur dapat dilihat dalam ayat Al-Qur’an:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha.” (Surat Al-Isra: 1)
Ayat ini menggunakan frasa مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ (minal Masjidil Harami) dan إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى (ilal Masjidil Aqsha), keduanya adalah frasa jar majrur yang secara jelas menunjukkan titik awal dan tujuan perjalanan Isra Mikraj Nabi Muhammad ﷺ.
Peran Syaikh Muhammad Hasbullah Asy-Syāfi‘i dalam Penjelasan Kaidah
Dalam memahami kaidah-kaidah nahwu, penjelasan dari para ulama sebelumnya sangat membantu. Syaikh Muhammad Hasbullah Asy-Syāfi‘i, dalam kitab Riyādhul Badi‘ah, meskipun fokus pada fiqih, seringkali mengulas kaidah bahasa sebagai penunjang pemahaman teks-teks syariat. Beliau menegaskan bahwa pemahaman yang kokoh terhadap tata bahasa Arab adalah prasyarat mutlak untuk menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits dengan benar. Apabila tidak memahami kaidah frasa seperti mudhaf-mudhaf ilaih, seseorang bisa salah mengartikan suatu perintah atau larangan syariat.
Misalnya, penjelasan Syaikh Muhammad Hasbullah Asy-Syāfi‘i dalam Riyādhul Badi‘ah yang menegaskan pentingnya akurasi bahasa dalam menentukan hukum. Beliau menerangkan:
“وَمِنْ أَهَمِّ مَا يَجِبُ عَلَى طَالِبِ الْعِلْمِ فَهْمُ قَوَاعِدِ اللُّغَةِ لِصِحَّةِ الِاسْتِنْبَاطِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ”
“Dan di antara hal terpenting yang wajib bagi penuntut ilmu adalah memahami kaidah-kaidah bahasa untuk keabsahan pengambilan hukum dari Kitab (Al-Qur’an) dan Sunnah (Hadits)”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pembentukan frasa yang benar bukan hanya sekadar estetika bahasa, tetapi pondasi bagi ijtihad dan pemahaman agama yang lurus.
Menuju Kalimat Sempurna: Aplikasi Frasa dalam Jumlah Ismiyah dan Fi’liyah
Setelah memahami berbagai jenis frasa, langkah selanjutnya adalah merangkainya menjadi kalimat sempurna (jumlah). Mulakhhas Qawaid al-Lughah al-Arabiyyah pada bagian terakhirnya menjelaskan bagaimana frasa-frasa ini berfungsi sebagai komponen dalam jumlah ismiyah (kalimat nominal) atau jumlah fi’liyah (kalimat verbal). Misalnya, frasa mudhaf-mudhaf ilaih dapat berperan sebagai mubtada’, khabar, fa’il, atau maf’ul bih dalam sebuah kalimat.
Contoh: بَيْتُ اللَّهِ كَبِيرٌ (baitullahi kabirun) “Rumah Allah itu besar”. Di sini, بَيْتُ اللَّهِ adalah frasa mudhaf-mudhaf ilaih yang berfungsi sebagai mubtada’ (subjek). Sementara itu, frasa na’at-man’ut bisa menjadi khabar, seperti الْبَيْتُ نَظِيفٌ جِدًّا (al-baytu nazifun jiddan) “Rumah itu sangat bersih”. Di sini نَظِيفٌ جِدًّا adalah frasa yang menjadi khabar. Kombinasi frasa jar majrur seringkali menjadi keterangan tambahan yang memperkaya makna kalimat.
Penutup: Memahami Struktur dan Pembentukan Frasa
Pembelajaran tata bahasa Arab, khususnya mengenai struktur dan pembentukan frasa yang sempurna seperti yang diulas dalam Mulakhhas Qawaid al-Lughah al-Arabiyyah, bukanlah sekadar hafalan kaidah yang kaku. Lebih dari itu, ini adalah perjalanan menyelam ke dalam logika dan keindahan sebuah bahasa yang telah menjadi wadah bagi wahyu ilahi. Setiap isim, fi’il, dan harf yang terangkai menjadi frasa, lalu membentuk kalimat, membawa pesan yang mendalam.
Dari balik gemuruh ombak makna di lautan kata, frasa-frasa yang terstruktur sempurna adalah jangkar yang mengukuhkan pemahaman kita. Dengan memahami kaidah ini, kita tidak hanya berbicara atau menulis Bahasa Arab dengan benar, tetapi juga mampu menyelami lautan hikmah Al-Qur’an dan Hadits, merasakan getaran keagungan bahasanya. Semoga perjalanan kita memahami Bahasa Arab menjadi tangga yang membawa kita semakin dekat pada pemahaman hakikat agama, sehingga setiap kata yang terucap dan tertulis menjadi jembatan menuju cahaya kebenaran yang abadi.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
