Khazanah
Beranda » Berita » Saat Hati Enggan Berpisah dari Allah: Renungan dari Al-Hikam

Saat Hati Enggan Berpisah dari Allah: Renungan dari Al-Hikam

Ilustrasi hamba yang menyucikan diri dengan berdzikir.
Ilustrasi hamba yang menyucikan diri dengan berdzikir.

 SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam menjelaskan:

“Allah Swt. mengetahui bahwa kita tidak akan mampu bersabar untuk berpisah dengan-Nya. Oleh karena itu, Dia memperlihatkan sesuatu yang bersumber dari-Nya kepada kita.”

Allah Swt. mengetahui bahwa kita tidak akan mampu lama-lama berpisah dengan-Nya, dan ingin segera bertemu dengan-Nya seraya menyaksikan wajah-Nya. Rasa tidak ingin berpisah dengan-Nya adalah hal lumrah, yang hanya dimiliki oleh orang-orang beriman. Cahaya Allah Swt. bertahta di dalam hati mereka.

Namun, di balik kerinduan itu, kita tetap tidak akan mampu menyaksikan Allah Swt. di dunia. Sebab, dunia ini sifatnya fana dan akan segera mengalami kehancuran pada waktunya. Untuk memuaskan dahaga kita, maka Dia memerintahkan kita untuk menyaksikan tanda-tanda dan bukti-bukti kebesaran-Nya di alam semesta ini. Renungkanlah alam semesta itu, maka kita akan merasa seolah-olah melihat-Nya. Bersabarlah, sebab kita akan mendapatkan nikmat yang paling besar itu di akhirat kelak.

 Allah Mengetahui Karakter Hamba-Nya

Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari menerangkan:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“Tatkala Allah Swt. mengetahui bahwa di dalam diri kita terdapat rasa jemu, maka Dia menjadikan kita menjalani aneka ragam ketaatan. Dan, tatkala Dia mengetahui rasa rakus menggerogoti diri kita, maka Dia membatasinya dalam waktu-waktu tertentu saja. Semua itu bertujuan agar kita bertekad untuk mendirikan shalat, bukan sekadar mengerjakannya semata. Sebab, tidak setiap orang yang mengerjakan shalat itu mampu mendirikannya.”

Dalam diri manusia, ada rasa jenuh dan bosan untuk melakukan pekerjaan atau aktivitas yang monoton. Allah Swt. Maha Mengetahui segala sesuatu yang dibutuhkan oleh para hamba-Nya. Sebab, Dia-lah yang menciptakan dan menetapkan takdir segala sesuatu. Allah Swt. mengetahui hakikat segala sesuatu, dan tidak ada yang luput dari pandangan-Nya.

Agar rasa bosan tidak menghinggapi para hamba-Nya ketika menjalankan ketaatan, maka Allah Swt. tidak hanya mewajibkan satu ibadah kepada mereka, melainkan Dia menetapkan beraneka ragam ibadah. Ada shalat, puasa, haji, zakat, dan lain sebagainya. Ada ibadah yang berkaitan dengan badan, hati, perbuatan, dan perkataan. Kerjakanlah ibadah yang lain ketika kita merasa jenuh menjalankan satu ibadah. Kita boleh meninggalkan satu ibadah sunnah untuk mengerjakan ibadah sunnah lainnya demi mengusir rasa bosan di dalam diri, tentu bukan persoalan yang dilarang dalam agama.

Allah Mengetahui Adanya Ketamakan pada Diri

Selain itu, Allah Swt. mengetahui adanya rasa tamak pada diri kita dalam beribadah. Seseorang yang melampaui batas dalam beribadah, misalnya shalat, maka ia akan terus-menerus menghabiskan waktu untuk shalat. Akibatnya, ia akan melalaikan tanggung jawab menghidupi keluarga, anak, dan istri. Orang tersebut juga akan melalaikan hubungan dengan masyarakat dan tugas sebagai seorang warga negara.

Oleh sebab itu, Allah Swt. menentukan waktu-waktu dalam beribadah agar kita tidak terus-menerus larut dalam ibadah kepada-Nya. Misalnya, Dia memerintahkan kita mengerjakan shalat Subuh ketika fajar terbit. Artinya, setelah selesai mengerjakan shalat Subuh, Dia memerintahkan kita untuk mengais rezeki dan berusaha di bumi. Dia memerintahkan kita menunaikan shalat Zuhur pada waktu matahari sudah tergelincir. Artinya, Dia memerintahkan kita beristirahat sejenak dari aktivitas duniawi, setelah itu kita boleh melanjutkan aktivitas kita kembali. Begitulah seterusnya.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Pertanyaannya sekarang, kenapa suatu ibadah ditentukan waktunya? Kenapa waktunya tidak kita sesuaikan dengan keinginan pelakunya saja? Jawabannya mudah. Ketika kita melaksanakan shalat maka yang kita tuntut dari kita bukanlah sekadar mengerjakan, tetapi mendirikannya. Alangkah jauhnya perbedaan di antara keduanya.

Mendirikan shalat berarti mengerjakannya sesuai dengan rukun dan syaratnya, serta penuh dengan kekhusyukan. Selain itu, juga merefleksikan kandungan maknanya dalam realitas kehidupan yang nyata.

Sedangkan yang dimaksud mengerjakan shalat adalah semata-mata untuk melepaskan kewajiban. Akibatnya, makna dan fungsi shalat tidak akan membekas bagi pelakunya. Intinya, akselerasi ibadah bertujuan membuat kita rileks dalam menjalankannya.(St.Diyar)

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement