Surau.co. Habib ‘Abdullah bin Husayn bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim al-‘Alawi menonjol sebagai salah satu ulama besar Hadramaut yang memberikan pengaruh mendalam terhadap tradisi keilmuan Islam Nusantara. Lahir di Tarim pada 1191 H/1777 M dan wafat pada 1272 H/1855 M, beliau mewakili generasi ulama Ba’alawi yang memperkaya khazanah Islam melalui karya-karya praktis dan pengajaran yang sistematis.
Kontribusi beliau tidak hanya terbatas pada wilayah asalnya, tetapi juga meresap ke pesantren-pesantren di Indonesia melalui Kitab Sullam at-Taufiq, yang menjadi kurikulum wajib di berbagai lembaga pendidikan Islam. Artikel ini mengupas biografi beliau dan pengaruhnya yang abadi, menjadikan beliau sebagai jembatan keilmuan Hadramaut-Nusantara yang relevan bagi pembaca.
Pengaruh Habib ‘Abdullah al-‘Alawi terhadap Islam Nusantara terlihat dari penyebaran kitab-kitabnya yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan Jawa, serta diajarkan secara luas di pesantren. Hal ini memperkuat corak Ahlussunnah wal Jamaah madzhab Syafi’i di Indonesia, sekaligus menjaga sanad keilmuan yang bersambung hingga kini. Dengan demikian, beliau turut membentuk fondasi pendidikan Islam yang kokoh di tanah air.
Latar Belakang Keluarga dan Masa Kecil Habib ‘Abdullah al-‘Alawi
Habib ‘Abdullah bin Husayn bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim al-‘Alawi lahir di Tarim, Hadramaut, Yaman, pada 1191 H/1777 M, dari keluarga Ba’alawi yang mulia. Ayah beliau, Habib Husayn bin Thahir, dan kakeknya merupakan ulama terkemuka yang menanamkan nilai-nilai ilmu dan zuhud sejak dini. Keluarga ini termasuk keturunan Imam Ahmad al-Muhajir, yang hijrah dari Basra ke Hadramaut pada abad ke-4 H, membawa tradisi keilmuan Syafi’i dan tasawuf Sunni.
Sejak kecil, Habib ‘Abdullah al-‘Alawi menunjukkan kecintaan luar biasa terhadap ilmu. Beliau menghafal Al-Qur’an di bawah bimbingan keluarga dan saudara-saudaranya, termasuk Habib Tahir bin Husayn, yang menjadi guru utamanya. Pendidikan awal ini membekali beliau dengan pondasi akidah yang kokoh, sebagaimana Allah ﷻ firmankan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim: 6)
Ayat ini menjadi pedoman keluarga Ba’alawi dalam mendidik generasi muda, sehingga Habib ‘Abdullah al-‘Alawi tumbuh menjadi ulama yang wara’ dan berilmu luas.
Pendidikan dan Guru-Guru Utama Habib ‘Abdullah al-‘Alawi
Habib ‘Abdullah al-‘Alawi menempuh pendidikan formal di Tarim dan sekitarnya, belajar dari ulama terkemuka seperti Habib Tahir bin Husayn, Imam ‘Abd ar-Rahman Sahib al-Butayhah, Habib Hamid bin ‘Umar Hamid, dan Habib ‘Abdullah bin Abu Bakr Mawla ‘Aidid. Beliau juga menerima ijazah tasawuf dari Habib ‘Umar bin Saqqaf al-Saqqaf, yang membuka hatinya pada ilmu hati.
Pendidikan beliau mencakup fiqh Syafi’i, nahwu, akidah Asy’ariyyah, dan tasawuf. Setelah wafatnya Habib Tahir pada 1241 H, beliau mulai mengajar secara terbuka, memimpin majelis ilmu di masjid-masjid Tarim.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ
“Barangsiapa menempuh jalan mencari ilmu, maka Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Hadits ini menggambarkan semangat belajar Habib ‘Abdullah al-‘Alawi, yang tidak hanya menuntut ilmu tetapi juga menyebarkannya. Beliau menghafal banyak kitab klasik dan mengajar ribuan murid, termasuk yang kemudian menyebar ke Nusantara, memperpanjang sanad keilmuan Hadramaut.
Karya Utama: Kitab Sullam at-Taufiq dan Isi Pokoknya
Habib ‘Abdullah al-‘Alawi menyelesaikan Sullam at-Taufiq ila Mahabbatillah ‘ala at-Tahqiq pada 1241 H/1826 M, sebuah mukhtasar fiqh Syafi’i yang mencakup akidah, ibadah, muamalah, dan tazkiyatun nafsi. Kitab ini ringkas, sistematis, dan praktis, cocok untuk pemula hingga ahli.
Dalam Sullam at-Taufiq, beliau menjelaskan thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, serta bab Bayanul Ma’ashi tentang dosa besar. Kutipan dari kitabnya menyatakan:
“وَالْكَسْبُ إِمَّا حَلَالٌ وَإِمَّا حَرَامٌ فَالْحَلَالُ مَا حَصَلَ بِسَبَبٍ شَرْعِيٍّ وَالْحَرَامُ مَا حَصَلَ بِسَبَبٍ غَيْرِ شَرْعِيٍّ”
“Pendapatan itu ada yang halal dan ada yang haram. Halal adalah yang diperoleh melalui sebab syar’i, haram adalah yang diperoleh melalui sebab tidak syar’i.”
Penjelasan ini memperkuat pemahaman fiqh muamalah di kalangan santri Nusantara. Kitab ini mendapat syarah dari ulama seperti Syekh Nawawi al-Bantani dalam Mirqatus Su’ud.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum ad-Din menyatakan:
“الْعِلْمُ بِلاَ عَمَلٍ كَالشَّجَرَةِ بِلاَ ثَمَرٍ”
“Ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah.”
Pandangan ini selaras dengan pendekatan Habib ‘Abdullah al-‘Alawi yang menggabungkan ilmu dan amal.
Penyebaran Karya Habib ‘Abdullah al-‘Alawi ke Nusantara
Kitab Sullam at-Taufiq tiba di Nusantara melalui jaringan ulama Hadrami seperti Habib Ali al-Habsyi dan Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi. Sejak awal abad ke-20, kitab ini menjadi kurikulum utama di pesantren Jawa, seperti Tebuireng dan Bahrul Ulum Jombang.
Terjemahan ke bahasa Indonesia dan Jawa oleh ulama seperti Choirul Anwar HR memperluas aksesnya. Di Pesantren Sidogiri dan Darul Ulum, santri menghafal dan mengkaji kitab ini. Pengaruhnya terlihat dari popularitas “Sullam-Safinah” (bersama Safinatul Najah), yang membentuk pemahaman fiqh santri pemula.
Habib Umar bin Hafiz menyebutnya “karangan paling bermutu yang menumbuhkan cinta kepada Allah melalui taufiq-Nya”. Di Indonesia, ribuan santri mempelajarinya setiap tahun, memperkuat tradisi salaf.
Pengaruh terhadap Pesantren dan Ulama Nusantara
Kontribusi Habib ‘Abdullah al-‘Alawi terwujud melalui murid-muridnya yang bermigrasi ke Nusantara, membangun pesantren dan madrasah. Ulama seperti Syekh Nawawi al-Bantani menyusun syarah Mirqatus Su’ud, yang diajarkan di Tebuireng.
Di Alkhairaat Palu, Habib Sayyid Idrus bin Salim al-Jufri mengintegrasikan ajaran beliau ke kurikulum modern. Pengaruh ini membentuk corak moderat Islam Nusantara, menolak ekstremisme. Rasulullah ﷺ bersabda:
خَلَّفْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ تَمْسَكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي أَبَدًا ثَقَالَيْنِ كِتَابَ اللَّهِ وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي
“Aku tinggalkan dua perkara berat: Kitab Allah dan keluargaku, jika berpegang teguh padanya kalian tidak akan sesat.” (HR. Tirmidzi)
Sebagai ahlul bait, Habib ‘Abdullah al-‘Alawi melanjutkan misi ini melalui karyanya.
Pengaruhnya juga terlihat di Jamiat Kheir dan Al-Irsyad, yang mengadopsi pendekatan fiqh praktis beliau.
Warisan Abadi dan Relevansi Kontemporer
Warisan Habib ‘Abdullah al-‘Alawi tetap hidup melalui cetakan baru Sullam at-Taufiq dan pengajian online. Di era digital, kitab ini diakses melalui aplikasi dan situs pesantren, menjangkau generasi muda.
Beliau menginspirasi habaib kontemporer seperti Habib Luthfi bin Yahya dan Habib Umar bin Hafiz. Menyebarkan ajarannya di Indonesia. Kontribusi ini memperkaya tradisi keilmuan Islam Nusantara, menjadikan fiqh Syafi’i dan tasawuf Sunni sebagai ciri khas. Habib ‘Abdullah al-‘Alawi mewujudkan peran ini dengan sempurna.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
