SURAU.CO – Dalam kekayaan budaya Kepulauan Buton, terdapat sebuah tradisi luhur yang tidak hanya mengandung nilai adat, tetapi juga berakar kuat pada ajaran moral dan spiritual masyarakatnya. Tradisi tersebut bernama Pakandeana Ana-ana Maelu. Sebuah kegiatan adat masyarakat Baubau dan sekitarnya yang secara khusus bertujuan untuk memuliakan, membahagiakan, serta memberikan santunan kepada anak-anak yatim piatu. Tradisi ini bukan sekadar acara seremonial, melainkan bentuk nyata dari perhatian, kasih sayang, dan tanggung jawab sosial yang telah menjadi warisan turun-temurun oleh leluhur masyarakat Buton.
Tradisi ini menjadi salah satu pilar penting dalam kehidupan sosial masyarakat Buton karena mengandung pesan kemanusiaan yang sangat dalam. Dalam budaya Wolio—bahasa dan adat utama masyarakat Buton—“Pakandeana” berarti pemberian makan atau jamuan, sementara “Ana-ana Maelu” berarti anak-anak yatim piatu. Jika digabungkan, Pakandeana Ana-ana Maelu bermakna jamuan penghormatan dan santunan untuk anak yatim piatu. Namun, makna tradisi ini jauh melampaui terjemahan harfiahnya; ia adalah simbol kepedulian, kesalehan sosial, serta bentuk pengamalan nilai-nilai Islam yang menjadi napas utama masyarakat Buton.
Akar Historis dan Filosofi Tradisi
Tradisi Pakandeana Ana-ana Maelu telah hadir sejak masa Kesultanan Buton, ketika nilai-nilai Islam mulai berakulturasi dengan adat lokal. Para sultan, ulama, dan tokoh adat pada masa itu memandang bahwa anak yatim merupakan golongan yang harus dijaga kehormatannya dan diberi perhatian khusus. Sikap ini selaras dengan banyak ajaran dalam Islam yang menekankan pentingnya menyantuni anak yatim sebagai bentuk ibadah dan jalan menuju keberkahan hidup.
Dari sini, lahirlah kebiasaan masyarakat untuk menyelenggarakan jamuan makanan khusus bagi anak-anak yatim, yang kemudian berkembang menjadi tradisi adat yang terstruktur. Filosofi yang mendasarinya adalah:
1. Penghormatan kepada Anak Yatim Piatu
Dalam pandangan masyarakat Buton, anak yatim piatu bukan hanya mereka yang harus mendapat belas kasihan, tetapi tamunya Allah yang membawa keberkahan bagi rumah atau pihak yang memuliakannya. Dengan memberi makan mereka, masyarakat percaya ada pintu-pintu rezeki yang terbuka dan keberkahan yang turun ke rumah atau kampung.
2. Menjaga Keseimbangan Sosial
Filosofi “Sara Pataanguna” (Empat Pilar Adat) dalam budaya Buton mengajarkan bahwa semua lapisan masyarakat harus merasakan kesejahteraan. Termasuk mereka yang tidak memiliki orang tua. Tradisi ini mengurangi kesenjangan sosial dan memperkuat solidaritas.
3. Mengajarkan Generasi Muda Tentang Kepedulian
Anak-anak dan remaja ikut terlibat dalam kegiatan ini agar nilai empati, saling berbagi, dan tanggung jawab terhadap sesama tumbuh sejak dini. Dalam tradisi Buton, pendidikan moral melalui teladan adalah cara terbaik membentuk karakter generasi penerus.
Proses Pelaksanaan Tradisi
Pakandeana Ana-ana Maelu biasanya dilaksanakan pada acara tertentu seperti:
- Peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ
- Menjelang bulan Ramadan
- Upacara adat kampung
- Nadzar keluarga yang ingin berbagi rezeki
- Acara syukuran besar atau kadandio
Masing-masing daerah dalam jazirah Buton Raya mungkin memiliki variasi kecil, namun alur pelaksanaannya secara umum serupa.
- Pengumpulan Anak-anak Yatim. Panitia adat dan tokoh masyarakat mengumpulkan anak-anak yatim dari berbagai wilayah sekitar. Mereka terundang secara resmi dan sebagai tamu kehormatan.
- Penyambutan dengan Adat Wolio. Setibanya mereka dpada tempat acara, ada penyambutan adat dengan penuh kehangatan. Terkadang ada pembacaan doa, lantunan barzanji, atau zikr sebagai pembuka acara.
- Jamuan Makan Bersama. Inilah inti dari tradisi Pakandeana Ana-ana Maelu. Hidangan khas Buton seperti kasoami, ikan parende, lapa-lapa, kambuse, dan aneka masakan tradisional tersajikan. Anak-anak yatim mendapatkan tempat duduk terhormat, dan masyarakat—terutama para orang tua—melayani mereka dengan ramah, penuh cinta, dan hormat. Rasa bahagia yang terpancar dari anak-anak yatim ini merupakan salah satu tujuan utama pelaksanaan tradisi.
- Pemberian Santunan. Selain jamuan makan, anak-anak yatim juga mendapat: Pakaian baru, Alat sekolah, Uang santunan, Hadiah motivasi. Pemberian ini secara tulus sebagai bentuk amal jariyah.
- Doa untuk Kedua Orang Tua. Biasanya, penutup acara dengan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh agama. Doa dipanjatkan agar anak-anak yatim diberikan kekuatan, kebahagiaan, dan masa depan yang cerah, serta untuk mendoakan orang tua mereka yang telah wafat.
Nilai Luhur Dari Balik Tradisi
Tradisi Pakandeana Ana-ana Maelu memiliki nilai-nilai luhur yang terus terwariskan turun temurun :
- Kesalehan Sosial. Tradisi ini mengajarkan bahwa ibadah tidak hanya berkaitan dengan hubungan kepada Allah, tetapi juga hubungan dengan sesama manusia. Menyantuni anak yatim adalah ibadah sosial yang sangat utama.
- Gotong Royong dan Kebersamaan. Setiap warga kampung terlibat: ada yang menyumbang makanan, tenaga, perlengkapan, atau dana. Tradisi menjadi sarana mempererat hubungan antarwarga.
- Menghormati Tamu. Dalam adat Buton, tamu adalah titipan Allah, dan pqandangan bahwa anak yatim sebagai tamu istimewa. Karena itu memperlakukan mereka dengan penuh kehangatan dan kehormatan.
- Penguatan Identitas Budaya. Melaksanakan tradisi ini berarti menjaga warisan leluhur agar tetap hidup dan relevan pada zaman modern.
Relevansi Pada Era Modern
Meski zaman telah berubah, tradisi Pakandeana Ana-ana Maelu tetap memiliki makna yang kuat. Dalam berbagai tantangan sosial seperti peningkatan angka anak yatim, kemiskinan, dan kerentanan sosial, tradisi ini menjadi sarana untuk memperkuat solidaritas dan memberikan harapan.
Bahkan generasi muda di Baubau kini banyak yang menginisiasi kegiatan ini melalui komunitas sosial, lembaga mahasiswa, dan organisasi keagamaan. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi ini tidak hanya milik masyarakat tua, tetapi juga oleh pemuda-pemudi Buton.
Dengan demikian, Pakandeana Ana-ana Maelu bukan hanya warisan budaya, tetapi juga solusi moral terhadap persoalan sosial masa kini.
Penutup
Tradisi Pakandeana Ana-ana Maelu di Bau-Bau mencerminkan betapa tingginya nilai kemanusiaan dalam budaya Buton. Melalui jamuan makan, santunan, dan doa bersama, masyarakat menunjukkan kepedulian dan kecintaan terhadap anak yatim—golongan yang sangat mulia dalam ajaran agama dan adat.
Tradisi ini mengajarkan bahwa memuliakan anak yatim adalah bentuk ibadah, wujud kesalehan sosial, dan pintu keberkahan. Selama tradisi ini tetap terjaga dan lestari, masyarakat Baubau akan terus terkenal sebagai komunitas yang beradab, berbudaya, serta menjunjung tinggi nilai kasih sayang dan solidaritas.
Semoga tradisi mulia ini senantiasa hidup dan menjadi warisan kepada generasi-generasi berikutnya sebagai bagian dari identitas dan kemuliaan budaya Buton.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
