Khazanah
Beranda » Berita » Prinsip Rezeki Halal dalam Sullam at-Taufiq: Menguak Fondasi Hidup yang Berkah

Prinsip Rezeki Halal dalam Sullam at-Taufiq: Menguak Fondasi Hidup yang Berkah

Rezeki halal dan haram ditimbang dalam Islam, dengan bimbingan Kitab Sullam at-Taufiq untuk hidup yang berkah.
Ilustrasi ini melambangkan pentingnya menimbang dan memilih sumber rezeki, dengan rezeki halal yang memancarkan keberkahan dan kebaikan dalam hidup. Kitab Sullam at-Taufiq menjadi panduan dalam menuntun pilihan tersebut.

Surau.co. Setiap Muslim mendambakan kehidupan yang berkah dan penuh ketenangan. Salah satu kunci utama untuk meraihnya adalah dengan memastikan bahwa setiap nafkah yang masuk ke dalam keluarga bersumber dari rezeki halal. Konsep rezeki halal bukan sekadar tentang pendapatan, melainkan sebuah pondasi fundamental yang membentuk karakter, spiritualitas, dan keberkahan hidup seorang hamba.

Pembahasan ini akan membawa kita menyelami lebih dalam mengenai prinsip rezeki halal sebagaimana dijelaskan secara gamblang dalam Kitab Sullam at-Taufiq, khususnya pada bab Bayanul Ma’ashi, sebuah karya agung dari ulama besar Hadramaut, Habib ‘Abdullah bin Husayn bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim al-‘Alawi. Dengan menelusuri ajaran ini, kita akan memahami urgensi dan dampak rezeki halal dalam membentuk fondasi hidup yang berkah.

Rezeki halal merupakan cerminan ketaatan seorang hamba kepada perintah Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ. Hal ini bukan hanya sekadar kepatuhan, melainkan sebuah jalan untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat. Kitab Sullam at-Taufiq, yang dikenal sebagai pedoman ringkas namun komprehensif dalam ilmu fiqih dan tasawuf, menyajikan penjelasan yang sangat relevan dan aplikatif mengenai perkara ini. Dengan bahasa yang mudah dipahami namun tetap berlandaskan dalil-dalil syar’i, pembahasan ini bertujuan untuk membuka wawasan pembaca awam, mahasiswa, dan peneliti tentang betapa krusialnya menjaga kehalalan rezeki dalam setiap aspek kehidupan.

Mengenal Kitab Sullam at-Taufiq dan Bab Bayanul Ma’ashi

Sebelum menguak lebih jauh tentang rezeki halal, penting bagi kita untuk mengenal lebih dekat sumber utama pembahasan, yaitu Kitab Sullam at-Taufiq. Kitab ini merupakan karya monumental dari Habib ‘Abdullah bin Husayn bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim al-‘Alawi (w. 1272 H), seorang ulama besar dari Hadramaut yang terkenal akan keilmuan dan kezuhudannya. Kitab ini menjadi rujukan penting bagi kaum Muslimin, khususnya di Asia Tenggara, karena kemudahannya dalam menyajikan ilmu-ilmu dasar agama seperti tauhid, fiqih, dan tasawuf.

Dalam Kitab Sullam at-Taufiq, Habib ‘Abdullah al-‘Alawi menyusun bab-bab dengan sistematis, salah satunya adalah bab Bayanul Ma’ashi. Bab ini secara khusus membahas berbagai macam maksiat atau dosa, baik lahir maupun batin, yang wajib dijauhi oleh seorang Muslim. Di antara maksiat-maksiat yang dibahas secara mendalam adalah perolehan rezeki yang tidak halal. Penjelasan dalam bab ini memberikan panduan yang jelas dan tegas mengenai jenis-jenis rezeki haram, cara menghindarinya, serta dampak negatif yang ditimbulkannya.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Definisi dan Batasan Rezeki Halal Menurut Sullam at-Taufiq

Dalam Kitab Sullam at-Taufiq, Habib ‘Abdullah al-‘Alawi secara tegas menjelaskan bahwa rezeki halal adalah segala sesuatu yang diperoleh melalui cara-cara yang dibenarkan oleh syariat Islam, tanpa melanggar hukum-hukum Allah. Sebaliknya, rezeki haram adalah segala perolehan yang didapatkan melalui cara-cara yang diharamkan syariat. Batasan ini sangat penting agar seorang Muslim memiliki parameter yang jelas dalam mencari nafkah.

Habib ‘Abdullah al-‘Alawi, dalam Kitab Sullam at-Taufiq, menyebutkan:

“وَالْكَسْبُ إِمَّا حَلَالٌ وَإِمَّا حَرَامٌ. فَالْحَلَالُ مَا حَصَلَ بِسَبَبٍ شَرْعِيٍّ وَالْحَرَامُ مَا حَصَلَ بِسَبَبٍ غَيْرِ شَرْعِيٍّ.”

“Dan usaha (pendapatan) itu adakalanya halal dan adakalanya haram. Maka yang halal adalah apa yang didapatkan dengan sebab yang syar’i, dan yang haram adalah apa yang didapatkan dengan sebab yang tidak syar’i.”

Penjelasan ini menggarisbawahi bahwa kehalalan atau keharaman rezeki bukan hanya terletak pada bendanya, tetapi juga pada proses atau cara mendapatkannya. Seorang Muslim harus senantiasa menjaga integritas dalam setiap transaksi dan pekerjaan, memastikan bahwa tidak ada unsur kezaliman, penipuan, atau pelanggaran syariat di dalamnya.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Jenis-jenis Rezeki Haram dan Dampaknya

Bab Bayanul Ma’ashi dalam Sullam at-Taufiq memerinci berbagai kategori rezeki haram yang wajib dihindari. Di antara yang paling sering dibahas adalah riba, gharar (ketidakjelasan atau penipuan), suap, perjudian, serta harta curian atau hasil dari perbuatan zalim lainnya. Masing-masing memiliki ciri khas dan dampaknya tersendiri.

Riba, misalnya, secara jelas diharamkan dalam Al-Qur’an dan Hadits, karena mengandung unsur kezaliman dan eksploitasi. Allah ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 278)

Hadits Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Imam Muslim juga memperingatkan:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah ﷺ melaknat pemakan riba, pemberi riba, pencatatnya, dan dua saksinya.” Beliau bersabda, “Mereka sama saja (dalam dosanya).” (HR. Muslim)

Dampak dari rezeki haram tidak hanya terbatas pada dosa di akhirat, tetapi juga memengaruhi kehidupan di dunia. Rezeki haram dapat menghilangkan keberkahan, mengeraskan hati, dan menjadi penghalang doa tidak dikabulkan. Imam al-Ghazali, dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin, juga menjelaskan bahwa memakan makanan haram dapat mematikan hati dan menghalangi seseorang dari beribadah dengan khusyuk.

Prinsip Memperoleh Rezeki Halal: Ijtihad, Amanah, dan Ketaatan

Mencari rezeki halal bukanlah sekadar menghindari yang haram, tetapi juga melibatkan prinsip-prinsip aktif dalam memperolehnya. Habib ‘Abdullah al-‘Alawi menekankan pentingnya ijtihad (bekerja keras dan sungguh-sungguh), amanah (menjaga kepercayaan), dan ketaatan pada syariat dalam setiap upaya mencari nafkah. Seorang Muslim didorong untuk berusaha semaksimal mungkin, namun tetap dalam koridor hukum Islam.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:

 هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15)

Ayat ini mendorong umat manusia untuk aktif bergerak dan berusaha dalam mencari rezeki yang telah Allah sediakan. Namun, usaha tersebut harus diiringi dengan amanah, yaitu jujur dan tidak melakukan penipuan dalam setiap transaksi. Rasulullah ﷺ bersabda:

الْيَمِينُ الْفَاجِرَةُ تَدَعُ الدِّيَارَ بَلَاقِعَ

“Sumpah palsu yang kotor (dalam berdagang) menjadikan rumah-rumah menjadi hancur.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketaatan pada syariat, termasuk menjauhi riba, gharar, dan segala bentuk kezaliman, menjadi kunci utama untuk memastikan rezeki yang diperoleh adalah halal. Dengan begitu, rezeki tersebut tidak hanya mendatangkan manfaat duniawi, tetapi juga bernilai ibadah di sisi Allah ﷻ.

Keberkahan Rezeki Halal dan Konsekuensi Rezeki Haram

Rezeki halal membawa keberkahan yang luar biasa dalam kehidupan seorang Muslim. Keberkahan bukan hanya tentang jumlah, melainkan tentang manfaat yang didapatkan dari rezeki tersebut. Rezeki yang berkah membuat hati tenang, ibadah menjadi lebih khusyuk, dan amal kebaikan lebih mudah terlaksana. Keluarga yang dinafkahi dengan rezeki halal akan merasakan kedamaian dan keharmonisan.

Sebaliknya, rezeki haram mendatangkan konsekuensi negatif yang merugikan, baik di dunia maupun di akhirat. Selain dosa yang dicatat, rezeki haram dapat menghilangkan keberkahan, membuat hati gelisah, dan menjadi penyebab ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Para ulama, seperti Imam Ibnu Hajar al-Haitsami dalam kitab Az-Zawajir, banyak menjelaskan dampak buruk rezeki haram, termasuk doa yang tidak dikabulkan dan rusaknya amal ibadah.

Imam Syafi’i pernah berpesan:

 مَنْ أَكَلَ الْحَرَامَ، مَاتَ قَلْبُهُ

“Siapa yang memakan (dari) yang haram, maka mati hatinya.”

Pernyataan ini menunjukkan betapa seriusnya pengaruh rezeki haram terhadap spiritualitas seseorang. Hati yang mati sulit menerima kebenaran, enggan beribadah, dan cenderung berbuat maksiat. Oleh karena itu, menjaga kehalalan rezeki adalah upaya menjaga hati agar tetap hidup dan peka terhadap petunjuk Ilahi.

Solusi dan Pencegahan: Menjaga Diri dari Rezeki Haram

Menghindari rezeki haram memerlukan ilmu, kehati-hatian, dan ketakwaan yang tinggi. Kitab Sullam at-Taufiq memberikan panduan praktis untuk menjaga diri dari jerat rezeki haram. Pertama, pentingnya menuntut ilmu agama agar dapat membedakan mana yang halal dan mana yang haram. Ilmu adalah perisai yang membentengi dari kesalahan.

Kedua, menanamkan sifat taqwa (takut kepada Allah) dalam setiap langkah pencarian rezeki. Ketakwaan akan mendorong seseorang untuk selalu jujur, amanah, dan menjauhi segala bentuk kecurangan. Ketiga, melatih diri untuk tawakal (berserah diri kepada Allah) setelah berusaha maksimal.

Tawakal akan menghilangkan sifat tamak dan serakah, yang seringkali menjadi pemicu seseorang terjerumus pada rezeki haram. Habib ‘Abdullah al-‘Alawi menekankan pentingnya muhasabah (introspeksi diri) secara berkala, mengevaluasi kembali sumber-sumber pendapatan dan memastikan bahwa semuanya sesuai dengan syariat. Selain itu, menjauhi lingkungan yang kondusif untuk perolehan rezeki haram juga merupakan langkah pencegahan yang efektif.

Kunci Sukses Rezeki Halal: Konsistensi dan Istiqamah

Mencari dan menjaga rezeki halal adalah perjalanan seumur hidup yang membutuhkan konsistensi dan istiqamah. Bukan hanya di awal, tetapi terus-menerus hingga akhir hayat. Prinsip ini menjadi kunci sukses untuk meraih keberkahan yang hakiki dari Allah ﷻ.

Konsistensi dalam menjaga kehalalan rezeki akan membentuk pribadi yang kuat imannya, tenang jiwanya, dan teguh pendiriannya. Allah ﷻ mencintai hamba-Nya yang istiqamah dalam ketaatan. Rasulullah ﷺ bersabda:

 أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ 

Amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling terus-menerus (konsisten), meskipun sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Istiqamah dalam memastikan rezeki yang masuk adalah halal akan berdampak positif pada seluruh aspek kehidupan, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan spiritual, dan melahirkan generasi yang saleh dan bertakwa. Ini adalah investasi jangka panjang untuk kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat.

Penutup

Rezeki halal bukan sekadar label, melainkan sebuah manifestasi dari ketaatan total seorang hamba kepada penciptanya. Kitab Sullam at-Taufiq, dengan bab Bayanul Ma’ashi, secara lugas dan tegas telah menggarisbawahi urgensi dan prinsip-prinsip dalam memperoleh dan menjaga rezeki yang halal. Ini adalah fondasi hidup yang berkah dan kunci kebahagiaan sejati. Ketika seseorang berpegang teguh pada prinsip ini, ia tidak hanya mendapatkan nafkah yang bersih secara materi, tetapi juga menumbuhkan ketenangan jiwa, keberkahan dalam keluarga, dan kedekatan dengan Allah ﷻ.

Marilah kita senantiasa memohon petunjuk dan kekuatan dari Allah ﷻ agar dimampukan untuk hanya mencari dan mengonsumsi rezeki yang halal. Dengan demikian, setiap suapan makanan, setiap helaan napas, dan setiap langkah hidup kita akan senantiasa diberkahi, menjadikan hidup kita berarti dan berujung pada kebahagiaan abadi di sisi-Nya.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement