SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam membandingkan cara pandang dua jenis manusia dalam memulai hari:
“Orang yang lalai akan mengawali harinya dengan sibuk menentukan sesuatu yang akan dilakukan. Sedangkan orang yang berakal memulai harinya dengan sibuk menunggu ketetapan Allah Swt. yang akan terjadi.”
Orang yang lalai menjalankan perintah Allah Swt. dan selalu mendekati larangan-Nya akan memulai harinya dengan menunggu rencana dan hasil yang akan ia dapatkan. Ia bergantung pada diri sendiri dan merasa bisa menghasilkan lebih banyak rezeki tanpa intervensi siapa pun. Semua ini menunjukkan adanya kesalahan mendasar dalam berpikir.
Bukan itu yang harus kita lakukan. Akan tetapi, marilah kita jalankan semua perintah-Nya dan kita jauhi segala larangan-Nya. Rezeki itu berada di tangan-Nya. Marilah kita berusaha, niscaya kita akan mendapatkan bagian kita. Jangan pernah kita melalaikan ibadah kepada-Nya.
Orang yang berakal selalu meyakini bahwa Allah Swt. sudah menetapkan segala sesuatu baginya, baik rezeki, jodoh, kematian, dan lain sebagainya. Ia akan mendapatkan rezeki pada hari ini dengan nominal yang sama seperti yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. di Lauḥ Maḥfūẓ.
Marilah kita jangan takut dan lalai menjalankan kewajiban yang telah Dia tetapkan. Sebab, Allah Swt. senantiasa akan melimpahkan karunia-Nya kepada kita. Kita akan mendapatkan dunia dan akhirat sekaligus bila tujuan kita dalam beribadah adalah untuk menggapai ridha-Nya. Sebaliknya, kita hanya akan mendapatkan dunia bila kita menyandarkan segala sesuatu kepada dunia semata.
Melihat Allah dalam Segala Sesuatu: Kunci Ketenangan Sejati
Hikmah kedua menjelaskan fokus utama para ahli ibadah dan zuhud, serta rahasia ketenangan batin mereka:
“Para ahli ibadah dan orang-orang yang zuhud hanya merasa risau hati mereka bila terhalang dari melihat Allah Swt. dalam segala sesuatu. Sebaliknya, tidak ada sesuatu pun yang dapat merisaukan hati mereka bila mereka mampu menyaksikan-Nya.”
Ahli ibadah adalah orang-orang yang mengabdikan diri mereka sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah Swt. Setiap momen senantiasa mereka isi dengan ketaatan dan ibadah. Sedangkan orang-orang yang zuhud meninggalkan ketergantungan pada dunia untuk mendapatkan keridhaan dan cinta-Nya. Di antara mereka, tidak sedikit yang berasal dari kalangan orang kaya, hanya saja harta mereka berada di tangan, tidak sampai menyentuh hati mereka. Sehingga, mereka bebas dan tidak dikendalikan oleh hawa nafsu.
Kedua kelompok ini adalah orang-orang yang dekat kepada Allah Swt. Hati mereka tidak pernah merasa risau, kecuali bila mereka belum atau terhalang dari menyaksikan sifat-sifat-Nya dalam segala sesuatu.
Saat mereka ditimpa musibah, mereka menyadari dan memahami bahwa Allah Swt. adalah Dzat yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang tidak akan menguji hamba-Nya di atas kemampuannya. Mereka tidak merasa risau atau khawatir karena kehilangan harta, sebab mereka menyadari bahwa Allah Swt. adalah Dzat Yang Maha Kaya. Harta yang hilang bisa Dia ganti dalam sekejap mata.
Hati yang Mampu Menyaksikan Kebesaran Allah
Menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah, hati mereka tidak pernah sedih karena mereka telah mampu menyaksikan kebesaran Allah Swt. dalam segala sesuatu yang ada di dunia ini. Hati mereka selalu penuh oleh ketenteraman dan kebahagiaan. Mereka sadar bahwa semua ketentuan Allah Swt. adalah yang terbaik bagi mereka.
Maka, marilah kita beribadah dengan ihsan. Bahkan, dalam segala sesuatu pun, kita harus bersikap ihsan. Bersikap ihsan dalam setiap sesuatu berarti kita menyadari bahwa Allah Swt. senantiasa melihat dan mengawasi gerak-gerik hamba-Nya. Allah Swt. itu ada dan gaib, namun lebih dekat dari urat nadi kita.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
