Khazanah
Beranda » Berita » Jangan Menuntut Tuhan, Tuntutlah Dirimu: Adab Doa Menurut Al-Hikam

Jangan Menuntut Tuhan, Tuntutlah Dirimu: Adab Doa Menurut Al-Hikam

Ilustrasi hamba yang bermunajat dan larut dalam doa.
Ilustrasi hamba yang bermunajat dan larut dalam doa.

SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam memberikan nasihat keras mengenai adab berdoa:

“Janganlah menuntut kepada Tuhan kita karena doa kita terlambat dikabulkan. Akan tetapi, tuntutlah diri kita karena terlambat menjalankan kewajiban kita.”

Jikalau kita telah berdoa, tetapi belum mendapatkan hasilnya, maka marilah kita jangan mengomel dan menuntut kepada Allah Swt. Sebab, perbuatan ini termasuk tindakan yang kurang ajar kepada-Nya. Seolah-olah kita meragukan kebenaran janji-Nya dan keshahihan firman-Nya. Bukankah Allah Swt. telah berfirman bahwa siapa pun yang berdoa, maka Dia akan mengabulkannya? Marilah kita yakinkan hati kita terhadap janji tersebut, dan jangan pernah kita meragukan kebenaran-Nya.

Jikalau kita ingin menyalahkan, maka marilah kita salahkan diri kita sendiri terlebih dahulu. Sudahkah diri kita menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya? Jika belum atau kita masih lalai terhadap semua itu, maka marilah kita cercah diri kita sekarang juga. Marilah kita bertaubat segera sebelum pintu taubat tertutup. Doa yang tidak makbul terjadi karena akibat dari perbuatan kita sendiri.

Nikmat Paling Besar: Ketaatan Lahiriah dan Ketundukan Batiniah

Hikmah kedua menjelaskan definisi kekayaan spiritual yang sesungguhnya:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

“Ketika Allah Swt. menjadikan kita seorang yang menjalankan perintah-Nya secara lahiriah, dan memberikan rezeki kepada kita berupa ketundukan kepada kekuasaan-Nya secara batiniah, maka Dia telah memberikan nikmat yang besar kepada kita.”

Pertanda bahwa kita telah mendapatkan nikmat yang besar adalah bila Dia memperkenankan kita untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Serta, kita menjalani hidup sebagaimana Dia inginkan dan Dia ridhai. Kemudian, kita menerima semua ketentuan-Nya sepenuh hati tanpa ada celaan dan kritikan.

Tidak sedikit tetangga kita yang Dikaruniai harta melimpah, rumah bertingkat, dan mobil mengkilat, namun mereka sama sekali tidak mendapatkan rasa cinta kepada Allah Swt. dalam hati mereka. Hati mereka tidak tergerak untuk menjalankan perintah-Nya. Maka, kita tentu saja lebih kaya daripada mereka, walaupun secara lahiriah kita tampak lebih miskin.

Kekayaan yang hakiki berada di hati, bukan di tangan. Berapa banyak orang yang memegang setumpuk uang, namun mereka tidak bisa menggunakannya karena kesehatan mereka menurun drastis. Berapa banyak orang yang hidup sederhana bahkan pas-pasan, namun hati mereka tenang dan kehidupan mereka bahagia karena mereka selalu bersama-Nya menjalani hari dengan ketaatan.

Kebebasan yang Terbatas: Ancaman Syirik di Balik Kebahagiaan

Hikmah ketiga menyingkap ilusi kebebasan dan bahaya yang menyertai kenikmatan:

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

“Tidak setiap orang yang memperoleh kekhususan dapat bebas dengan sempurna.”

Marilah kita ingat, tidak semua orang yang mendapatkan kebahagiaan dapat terbebas dari jerat-jerat kesyirikan. Tidak seorang pun manusia di dunia ini yang sempurna. Bahkan, Rasulullah Saw. juga pernah melakukan kesalahan, tetapi Beliau mendapatkan teguran secara langsung dari Allah Swt.

Cobalah kita perhatikan orang-orang yang ada di sekeliling kita. Terkadang, kita mendapati seseorang yang Dikaruniai kebahagiaan, kemudian Allah Swt. mengujinya dengan harta dan sejenisnya sehingga keimanannya rusak dan ia berpaling menyembah kepada selain-Nya. Setelah itu, ia menyadari kesalahannya dan kembali kepada-Nya.

Ada juga sebagian manusia yang Dikaruniai kebahagiaan oleh Allah Swt., kemudian hidupnya diselimuti oleh perbuatan maksiat, dosa, dan perbuatan-perbuatan keji lainnya, sehingga hidupnya dipenuhi dengan kesengsaraan. Intinya: tidak ada kebahagiaan yang tidak disusupi oleh penderitaan. Demikian juga sebaliknya, tidak ada kesengsaraan yang tidak diikuti dengan kebahagiaan.(St.Diyar)

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement