Khazanah
Beranda » Berita » Dari Takdir ke Tazkiyatun Nafs hingga Ma’rifah: Jalan Kesadaran menurut Al-Hikam

Dari Takdir ke Tazkiyatun Nafs hingga Ma’rifah: Jalan Kesadaran menurut Al-Hikam

Ilustrasi hamba yang menyucikan diri dengan berdzikir.
Ilustrasi hamba yang menyucikan diri dengan berdzikir.

SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam mendidik kita agar memandang takdir dengan bashīrah (mata hati):

“Barang siapa menyangka bahwa kelembutan Allah Swt. terlepas dari qadar-Nya, maka itu adalah tanda kesempitan pandangannya.”

Marilah kita jangan menyangka bahwa takdir buruk yang menimpa kita dan orang-orang di sekitar kita terlepas dari kelembutan-Nya. Anggapan itu sama sekali tidak benar. Setiap ketentuan Allah Swt. terhadap hamba-Nya mengandung nilai-nilai kelembutan yang menunjukkan sifat Allah Swt. Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang (al-Laṭīf).

Jikalau Allah Swt. ingin menghancurkan kita, maka Dia mampu menurunkan musibah atau siksaan yang lebih besar daripada yang kita rasakan. Akan tetapi, Dia tidak melakukannya. Allah Swt. mengetahui bahwa kita lemah. Allah Swt. tidak akan menguji melebihi batas kemampuan kita. Jikalau kita berkeluh kesah, maka itu hanyalah karena kedangkalan iman kita dan kesempitan pandangan kita.

Syekh Ibnu ‘Athaillah mengajak kita untuk berpikir panjang. Beliau pula mengajak kita untuk dapat mencari hikmah di balik musibah yang menimpa kita. Oleh karena itu beliau mengajak agar  kita ingat bahwa di balik setiap kesulitan pasti ada dua kemudahan yang menanti kita. Marilah kita bersabar, maka kita akan beruntung.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Perkara yang Sesungguhnya Perlu Kita Khawatirkan

Hikmah kedua mengalihkan fokus kekhawatiran kita dari hal eksternal ke internal:

“Bukan ketidakjelasan jalan yang pantas kita khawatirkan. Akan tetapi, yang perlu kita khawatirkan adalah apabila hawa nafsu menguasai diri kita.”

Sebagai seorang makhluk yang Allah karuniai akal, kita tentu bisa membedakan antara jalan kebaikan dan keburukan. Masalah ini sama sekali tidak perlu kita khawatirkan dan kita risaukan. Dengan sendirinya, kita bisa mengenal jalan kebaikan dengan segenap tanda-tanda dan ajarannya. Sebaliknya, kita pun mampu mengenal jalan keburukan dengan sendirinya, karena tanda-tandanya sudah ada.

Hanya saja, terkadang jiwa kita terkuasai oleh hawa nafsu. Sehingga, kita menapaki jalan keburukan dan menjauhi jalan kebenaran. Hati kecil kita tidak akan pernah berbohong. Fitrah hati kecil selalu mengikuti kebenaran.

Misalnya, kita adalah seorang pejabat negara. Ketika kita menghadapi setumpuk uang korupsi, dan pada waktu bersamaan kita sedang membutuhkan dana yang banyak untuk pengobatan keluarga kita, maka apakah yang akan kita lakukan? Hati kecil kita akan menunjukkan jalan kebenaran bahwa korupsi itu haram dan tidak boleh kita lakukan. Sebaliknya, hawa nafsu kita justru menggoda kita untuk mengambilnya. Di sinilah peran keimanan akan diuji, apakah keimanan kita mampu melawannya atau tidak?

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Keagungan Rububiyah yang Tersembunyi dalam Sifat Manusiawi

Hikmah ketiga menjelaskan mengapa Allah Swt. membiarkan wali-Nya tampak biasa:

“Maha Suci Dzat yang menutupi rahasia keistimewaan (wali-Nya) dengan sifat-sifat manusiawinya, kemudian memunculkan keagungan rububiyah-Nya dengan menampakkan ubudiyah para hamba-Nya.”

Marilah kita perhatikan di sekeliling kita. Tidakkah kita melihat sekelompok manusia yang Dikhususkan oleh Allah Swt. untuk menerima berbagai karunia dan nikmat-Nya? Bagaimana pula sebagian lainnya harus rela menerima berbagai musibah dan ujian-Nya? Semua itu tidak lain hanyalah efek dari ketaatan masing-masing pribadi, dan keingkaran kepada Dzat Yang Maha Kuasa.

Dalam ruang lingkup tertentu, Allah Swt. memberikan kebahagiaan jiwa dan ketenangan hati kepada orang-orang yang beriman, walaupun harta mereka minim bahkan miskin. Namun, tidak jarang juga kita menemukan orang yang kaya lagi saleh. Sebaliknya, Dia memberikan kesempitan jiwa dan pikiran kepada orang-orang yang ingkar kepada-Nya, walaupun harta mereka melimpah ruah. Namun, ada juga di antara mereka yang harus menjalani hidup dalam keadaan menderita dan papa. Itulah hak Rububiyah-Nya yang tidak boleh diintervensi oleh siapa pun.

Akan tetapi, Allah Swt. menutupi semua itu dengan sifat-sifat manusiawi yang ada pada diri mereka. Cobalah kita perhatikan, apakah perbedaan antara Nabi Musa As. dengan Firaun? Bukankah keduanya sama-sama manusia? Ya, jikalau kita melihat bentuk luarnya, keduanya sama dan tidak ada perbedaan sama sekali. Akan tetapi, jikalau kita melihat sesuatu yang ada di dalamnya, maka kita akan mendapatkan perbedaan yang besar. Satunya beriman dan menjalankan semua perintah-Nya, dan satunya lagi kafir dan mengingkari semua perintah-Nya.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Allah adalah Dzat Yang Maha Agung dan Maha Mulia. Kita bisa mengenali-Nya dengan banyaknya makhluk yang menyembah-Nya. Setiap ibadah yang dilakukan oleh makhluk kepada-Nya, baik hembusan angin, kicauan burung, deru ombak, dan lain sebagainya, semua itu menunjukkan kemahabesaran-Nya.(St.Diyar)

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement