Khazanah
Beranda » Berita » Ajining Diri Saka Lathi: Menjaga Martabat di Tengah Kebisingan Digital

Ajining Diri Saka Lathi: Menjaga Martabat di Tengah Kebisingan Digital

SURAU.CO. Masyarakat Jawa mewarisi kekayaan budaya yang sangat luhur. Salah satu nasihat abadi yang terus hidup berbunyi: “Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana.” Pepatah Jawa ini mengandung makna mendalam tentang harga diri. Martabat seseorang bergantung pada lisannya, sedangkan kehormatan fisik terpancar dari pakaiannya. Leluhur kita menjunjung tinggi tata krama dalam berkomunikasi.

Menariknya, relevansi pesan ini justru semakin kuat di masa kini. Kita hidup di era digital yang serba cepat. Dunia maya membanjiri kita dengan jutaan kata-kata tersiar setiap hari. Nasihat kuno ini hadir sebagai pengingat penting bagi kita semua.

Cerminan Watak Melalui Tutur Kata

Bagi masyarakat Jawa, lathi memiliki makna yang luas. Kata ini tidak hanya berarti bibir atau mulut semata. Lathi menyimbolkan ekspresi pikiran dan kedalaman karakter seseorang.

Cara seseorang berbicara menunjukkan kualitas watak aslinya. Kita bisa melihat apakah ia sosok yang menenangkan atau justru provokatif. Orang bijak pasti memilih kata dengan pertimbangan yang matang. Sebaliknya, orang yang belum dewasa cenderung berbicara lantang tanpa kendali.

Kehalusan bicara mencerminkan sikap tepa selira. Sikap ini merupakan kemampuan menjaga perasaan orang lain. Ucapan kasar menandakan kondisi batin yang belum utuh. Hal ini berlaku meski seseorang memiliki jabatan tinggi. Kehormatan tidak terletak pada banyaknya kata. Seseorang meraih kehormatan melalui ketepatan dalam memilih kata. Orang Jawa menyebut kemampuan menahan diri ini sebagai dewasa ing tyas atau kematangan batin.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Jejak Digital sebagai Lathi Masa Kini

Dahulu, kata-kata hanya terdengar oleh lingkungan sekitar. Kini, media sosial mengubah segalanya secara drastis. Lisan telah bertransformasi menjadi status publik. Siapa saja bisa membaca tulisan kita kapan saja. Setiap komentar dan unggahan bukan lagi sekadar percakapan pribadi. Semuanya menjadi rekam jejak yang bertahan selamanya. Satu kalimat kasar saat emosi bisa meruntuhkan harga diri seketika.

Kita sering melihat contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari:

  • Tokoh publik jatuh karena melontarkan komentar sarkas.
  • Perusahaan menolak pelamar kerja akibat jejak ujaran kebencian.
  • Persahabatan hancur karena salah paham di grup percakapan.

Fenomena ini menegaskan satu hal penting bahwa kata-kata dari jempol memiliki konsekuensi moral yang berat. Konsep filosofi ajining diri saka lathi bukanlah sekadar nasihat usang. Kearifan ini menjadi benteng pelindung kita di dunia yang semakin terbuka.

Membangun Wibawa dengan Menjaga Lisan

Ucapan berfungsi sebagai jendela hati bagi orang Jawa. Kata-kata baik akan membangun kewibawaan seseorang. Sebaliknya, kata-kata buruk akan menghapus segala kebaikan. Pepatah “Becik ketitik, ala ketara” memperkuat pandangan ini. Kebaikan dan keburukan seseorang pasti akan tampak melalui lisannya. Sementara itu penerapan filosofi ini terlihat jelas dalam berbagai aspek kehidupan:

Dunia Profesional
Rekan kerja akan lebih menghormati pegawai yang sopan. Kritik dengan bahasa santun jauh lebih efektif daripada amarah. Kecerdasan intelektual harus beriringan dengan kecerdasan emosional.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Lingkungan Keluarga
Luka batin terdalam seringkali berasal dari ucapan orang terdekat. Kita harus menimbang setiap kata sebelum berucap. Kalimat sederhana seperti “Aku mengerti kamu” bisa meredakan ketegangan rumah tangga.

Ranah Pendidikan
Guru mengajarkan adab berbicara sebagai fondasi utama. Pendidik tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan. Mereka juga menanamkan kecermatan dalam bertutur kata kepada murid.

Interaksi Media Sosial
Komentar bijak dapat mengangkat derajat seseorang. Sementara itu, ujaran kebencian (hatespeech)hanya akan merusak reputasi diri sendiri.

Keselarasan dengan Nilai Islam

Kearifan lokal Jawa ini berjalan beriringan dengan ajaran Islam. Agama Islam sangat menekankan kehati-hatian dalam berbicara. Lisan bisa menjadi ladang amal sekaligus sumber dosa. Rasulullah Muhamad Saw bersabda:

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata baik atau diam.”

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Hadis ini sangat identik dengan filosofi Jawa tersebut. Orang beradab akan memilih diam daripada menyakiti hati orang lain. Banyak manusia tergelincir ke neraka akibat ketajaman lisannya. Orang Jawa memiliki istilah waton muni untuk orang yang asal bicara. Dan Islam melarang perilaku tersebut karena berpotensi menyebarkan fitnah.

Kita juga harus menghindari ghibah atau membicarakan keburukan orang lain. Ucapan yang baik adalah bentuk doa. Konsep sabda dadi dalam budaya Jawa mengajarkan hal serupa. Kata-kata memiliki energi yang bisa menjadi kenyataan. Oleh karena itu, kita wajib menjaga kejernihan hati dan lisan.

Bijak Memilih Kata demi Martabat

Pepatah “Ajining diri saka lathi” merupakan fondasi etika yang tak lekang oleh waktu. Nilai ini menjadi panduan moral di tengah kebisingan zaman modern. Dunia menuntut kita untuk selalu merespons dengan cepat. Namun, kita harus memastikan setiap kata lahir dari kesadaran penuh.

Menjaga lisan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan kita. Kita bisa menjaga hubungan baik dengan sesama. Kita juga membuka peluang kesuksesan yang lebih lebar. Lebih dari itu, menjaga lisan berarti menjaga kesehatan mental dan kualitas iman.

Mari kita mulai memilih kata dengan lebih bijak. Tindakan ini tidak hanya menyelamatkan diri kita sendiri tetapi juga turut menjaga kehormatan keluarga dan lingkungan sekitar. Pada akhirnya, kualitas diri kita tercermin dari apa yang kita ucapkan.(kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement