SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam menjelaskan urutan logika rahmat Ilahi:
“Allah Swt. memberikan karunia kepada kita berupa nikmat penciptaan terlebih dahulu, baru kemudian melimpahkan rezeki.”
Allah Swt. mengaruniakan nikmat penciptaan terlebih dahulu kepada kita. Dia menciptakan kita dari tanah, dan menetapkan asal penciptaan kita dari air mani yang hina. Kita adalah bukti kekuasaan-Nya, dan tidak ada seorang pun yang mampu menandingi-Nya.
Setelah Dia menciptakan kita, maka Dia berikan berbagai nikmat, baik makanan, minuman, kesehatan, harta, dan lain sebagainya. Dengan semua itu, kita bisa menjalani hidup normal, layaknya manusia lainnya. Bahkan, terkadang Dia memberikan kelebihan yang mampu mengangkat status sosial kita di tengah-tengah masyarakat.
Marilah kita bersyukur kepada Allah Swt., dan jangan pernah kita menyia-nyiakan karunia-Nya. Allah Swt. menciptakan kita untuk menghamba dan mengabdi kepada-Nya. Marilah kita jalankan semua perintah-Nya, dan kita jauhi semua larangan-Nya.
Watak Asli Manusia: Kefakiran yang Abadi
Hikmah kedua menyingkap watak sejati manusia, terlepas dari kekayaan duniawi:
“Rasa butuh adalah watak asli kita. Munculnya sebab-sebab (ujian) adalah pengingat terhadap sesuatu yang tersembunyi di dalam diri kita. Kebutuhan diri tidak bisa dihilangkan oleh perkara-perkara yang berasal dari luar.”
Kita adalah hamba Allah Swt. Yang Maha Kaya dan Maha Memiliki segala sesuatu. Rasa butuh (fakr) adalah watak asli yang ada dalam diri kita. Berapa pun banyaknya harta yang kita miliki saat ini, namun itu belum mengeluarkan kita dari status fakir di hadapan-Nya. Mungkin saja, di hadapan khalayak ramai, kita digolongkan orang kaya, namun di hadapan-Nya kita tetaplah fakir dan membutuhkan bantuan-Nya.
Misalnya, ketika kita menderita sakit, namun kita tidak kunjung sembuh, padahal kita sudah mendatangi seluruh dokter terbaik yang ada di jagat semesta ini, maka apakah yang akan kita lakukan? Bukankah kita akan kembali kepada-Nya dan bersimpuh memohon kasih sayang-Nya?
Kita tetaplah fakir. Dan, status itu tidak akan berubah sampai kapan pun. Hanya Allah-lah Dzat Yang Maha Kaya, yang kekayaan-Nya tidak bisa kita bandingkan dengan siapa pun, karena tidak ada serikat dalam kekuasaan-Nya.
Sakit yang kita alami adalah sebab-sebab eksternal yang mengingatkan bahwa kita tidak layak menyombongkan apa pun yang kita miliki. Semua yang kita punya hanyalah barang semu dan titipan yang akan Dia ambil kembali. Jikalau semua yang kita miliki terbakar dan hangus, apa yang akan kita lakukan? Kita hanya bisa menangis dan bersedih, dan itu sama sekali tidak akan mengembalikan barang kita yang telah hilang. Walaupun sekarang kita memiliki miliaran uang di bank, namun itu tidak akan pernah mengubah status kita di hadapan-Nya sebagai hamba yang fakir. Selamanya!
Sebaik-baik Waktu: Kesadaran akan Kefakiran dan Kehinaan
Hikmah ketiga menjelaskan momen puncak spiritual seorang hamba:
“Sebaik-baik waktu adalah ketika kita menyadari kefakiran dan mengakui kehinaan kita.”
Iman memang selalu mengalami fluktuasi. Kadang naik, dan kadang turun. Sebaik-baik waktu yang kita miliki adalah ketika kita merasakan kefakiran kita kepada Allah Swt. dan merasa hina di hadapan-Nya. Ketika kita mendapatkan rezeki yang banyak dan kebahagiaan yang besar, biasanya kita sering lupa kepada-Nya karena kita larut dalam buaian harta. Sebenarnya, ketika kita lalai mengingat-Nya, maka itu adalah waktu terburuk yang pernah kita miliki. Marilah kita jangan terlalu bergembira ketika mendapatkan suatu kenikmatan, dan marilah kita jangan pula terlalu bersedih ketika kita tertimpa suatu bencana. Marilah kita bersikap biasa-biasa saja, tidak usah berlebih-lebihan.
Allah Swt. menguji kita bukanlah untuk menghinakan kita atau menjatuhkan kita ke dalam jurang kehancuran. Allah Swt. melakukan itu untuk menguji keaslian keimanan kita; apakah iman kita kuat atau tidak? Apakah kita mudah dihancurkan atau tidak? Allah Swt. tidak akan menguji kita tanpa ada tujuan, hikmah, dan rahasia di baliknya. Cukuplah kita meyakininya, maka kita tidak akan bersedih, bahkan ujian menjadi momen yang tepat untuk introspeksi diri. Kita hanyalah hamba yang fakir dan hina di hadapan-Nya. Dia-lah Dzat Yang Maha Kuasa dan mampu melakukan apa pun yang Allah inginkan.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
