SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam memberikan kaidah yang mengejutkan tentang kualitas batin amal:
“Maksiat yang melahirkan kehinaan dan kefakiran (spiritual) lebih baik daripada ketaatan yang melahirkan rasa bangga dan sombong.”
Seseorang yang melakukan maksiat, kemudian ia menyesalinya, merasa pribadinya hina di hadapan Allah Swt., dan sangat membutuhkan pengampunan-Nya, memiliki kedudukan yang jauh lebih baik daripada seseorang yang mengerjakan ketaatan, namun hanya melahirkan rasa bangga dan kesombongan (‘ujub).
Jangan Cepat-Cepat Putus Asa
Syekh Ibnu ‘Athaillah menjelaskan bahwa jikalau kita adalah seorang pendosa, maka marilah kita jangan cepat-cepat putus asa. Marilah kita sesali semua yang telah kita kerjakan di masa lalu, dan segeralah kita kembali kepada-Nya. Jikalau air mata kita masih mengalir—sebagai tanda penyesalan—itu adalah tanda bahwa hati kita masih memiliki harapan untuk dapat hidup lagi, yang selama ini telah tertutupi oleh debu-debu kemaksiatan.
Sebaliknya, Syekh Ibnu ‘Athaillah berpendapat bahwa jikalau kita adalah seseorang yang rajin beribadah dan menjalankan berbagai ketaatan, maka marilah kita jangan berbangga diri. Itu adalah nikmat-Nya kepada kita yang bisa Dia ambil kapan saja Dia inginkan. Ketaatan kepada-Nya adalah sebuah kewajiban yang harus kita jalankan sebagai hamba, dan sama sekali tidak ada ruang untuk membanggakannya.
Syekh Ibnu ‘Athaillah menyampaikan bahwa hendaknya kita senantiasa merendahkan diri di hadapan-Nya, dan kita tunjukkan rasa kebutuhan kita kepada-Nya. Sebab, Dia adalah Dzat Yang Maha Kuasa dan mampu melakukan apa pun yang Dia inginkan. Kehinaan di hadapan-Nya, meskipun datang dari maksiat yang kita sesali, menjaga pintu rahmat-Nya tetap terbuka, sementara kesombongan, meskipun dari ketaatan, justru menutup pintu itu.
Dua Jenis Kenikmatan Utama yang Seluruh Makhluk Rasakan
Hikmah Syekh berikutnya menjelaskan cakupan luas rahmat Allah Swt.:
“Ada dua jenis kenikmatan yang harus dirasakan dan dialami oleh para makhluk: nikmat penciptaan dan nikmat pemenuhan kebutuhan.”
Ada dua jenis kenikmatan fundamental yang harus terasakan oleh seluruh manusia, baik Muslim maupun kafir, beriman maupun musyrik.
Pertama, Syekh Ibnu ‘Athaillah menjelaskan bahwa nikmat Penciptaan (Ni’mat al-Ijad). Merasakan nikmat penciptaan berarti kita mengakui kehebatan Allah Swt. Allah Swt. menciptakan makhluk menunjukkan eksistensi-Nya sebagai Khāliq (Pencipta). Sekecil apa pun makhluk yang kita lihat di alam semesta ini, ia adalah bukti keagungan-Nya. Allah Swt. telah menciptakan kita. dengan sebaik-baik bentuk (Aḥsan Taqwīm). Wajah kita Allah letakkan di depan, kemudian kepala kita Allah letakkan di atas, kaki kita Allah letakkan di bawah, dan lain sebagainya. Semua bagian Allah telah letakkan di posisi yang tepat, sehingga kita tampak gagah dan menarik. Menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah, seharusnya kita bersyukur dan hanya menggantungkan harapan kepada-Nya.
Nikmat Pemenuhan Kebutuhan
Kedua, Syekh Ibnu ‘Athaillah menyampaikan bahwa nikmat Pemenuhan Kebutuhan (Ni’mat al-Imdad). Setelah seluruh makhluk Dia ciptakan, maka semuanya Dia penuhi kebutuhannya. Baik kafir maupun Muslim, Dia penuhi kebutuhan makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Tidakkah kita menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana orang-orang kafir mendapatkan limpahan harta, padahal mereka mengingkari-Nya? Itu adalah karunia-Nya. Hukum Allah Swt. berlaku bagi siapa pun yang rajin berusaha, maka ia akan mendapatkan hasil yang lebih banyak. Menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah bahwa inilah bukti bahwa rahmat-Nya meliputi segala sesuatu.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
