SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam memberikan pemahaman mendalam tentang nilai intrinsik ketaatan:
“Cukuplah balasan dari Allah Swt. terhadap ketaatan kita dengan ridha-Nya ketika kita senantiasa menjadi pelaku ketaatan.”
Ketika kita bisa merasakan nikmat ketaatan dan ibadah kepada-Nya, maka itu adalah nikmat paling besar yang telah Dia anugerahkan kepada kita. Betapa banyak orang yang bermimpi dan berharap menjadi orang yang taat, namun mereka tidak kunjung mendapatkan taufiq (pertolongan) itu.
Syekh mengingatkan bahwa kita tidak perlu terlalu jauh menerawang. Cukuplah kita melihat kesempatan yang Dia berikan kepada kita dalam menjalankan ketaatan dan menjadi hamba-Nya yang mulia. Bukankah kita berasal dari tanah yang rendah, air mani yang hina, dan unsur-unsur lainnya yang tidak layak kita banggakan? Ketika Dia memberi kita kesempatan untuk mendapatkan kenikmatan agung dalam menyembah-Nya, maka kita wajib bersyukur. Ridha-Nya atas ketaatan kita adalah balasan kontan yang melampaui semua ganjaran materi.
Nikmat Hakiki: Cahaya Ketaatan dan Kelapangan Jiwa
Selanjutnya, Syekh memperluas definisi balasan ketaatan:
“Cukuplah balasan bagi orang-orang yang beramal adalah sesuatu yang menjadi pembuka hati mereka dalam menaati Allah Swt., dan sesuatu yang dilimpahkan kepada mereka dalam bentuk kenikmatan ibadah kepada-Nya.”
Sebagai hamba Allah Swt., kita tentu berkewajiban menaati-Nya, menjalankan seluruh perintah-Nya, dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Ketika kita mengharapkan balasan dari-Nya di akhirat kelak, itu merupakan hal yang wajar. Namun, untuk di dunia ini, cukuplah kita mendapatkan cahaya-Nya yang terpatri di dalam hati dan kelapangan jiwa yang tertancap di dalam dada.
Ketika Allah Swt. memberikan cahaya kepada kita, maka kita akan selalu merasa tenteram dan damai bersama-Nya. Hidup dalam keadaan kaya maupun miskin, bagi kita sama saja. Kita akan mendapatkan kebahagiaan dari jalan bahagia maupun derita. Kita bisa melihat hikmah dan rahasia yang ada di balik sebuah peristiwa.
Tidak ada yang lebih nikmat bagi seorang hamba di dunia ini melebihi kedekatan dengan Allah Swt. Jikalau semua kemewahan di dunia ini kita sandingkan dengan kenikmatan dalam beribadah, maka ia tidak akan memiliki nilai sama sekali.
Prinsip Tauhid: Beribadah Bukan Karena Pamrih
Hikmah ketiga menuntut keikhlasan yang murni dalam ibadah:
“Barang siapa yang menyembah Allah Swt. karena mengharapkan sesuatu atau untuk menolak siksaan dengan ketaatan, maka ia belum menunaikan hak sifat-sifat-Nya.”
Jikalau kita menyembah Allah Swt. untuk mendapatkan sesuatu dari-Nya, atau mengharapkan ganjaran-Nya, atau untuk menghindari siksaan yang Dia janjikan, berarti kita belum menunaikan hak-hak yang terdapat dalam sifat-Nya. Kita harus tahu bahwa menyembah Allah Swt. bukan untuk mendapatkan nikmat-Nya atau menghindari azab-Nya, akan tetapi semata-mata karena kebesaran-Nya dan keagungan sifat-sifat-Nya (Jalāl).
Bukankah Dia adalah Dzat Yang Maha Kuasa, yang mampu melakukan apa pun kepada para hamba-Nya? Walaupun kita tidak menunaikan amal kebaikan dan tidak mengerjakan ibadah untuk menyembah-Nya, maka Dia akan tetap memberikan rezeki-Nya kepada kita. Sebaliknya, walaupun kita menyembah-Nya sepanjang hayat dan dalam setiap desah napas, namun Dia menghendaki kita mendapatkan siksaan-Nya atau terhalang dari rezeki-Nya, maka kita tetap tidak akan mendapatkannya.
Oleh karena itu, marilah kita beribadah kepada-Nya dengan keikhlasan hati yang murni. Marilah kita jangan beribadah semata-mata mengharapkan balasan-Nya. Kita adalah hamba-Nya. Jikalau kita menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, kita akan mendapatkan hak kita dengan sendirinya, yakni Ridha dan kedekatan dengan-Nya.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
