Khazanah
Beranda » Berita » Makna Zakat dalam Kitab Minhājul ‘Ārifīn: Pengorbanan dan Penyucian Rezeki

Makna Zakat dalam Kitab Minhājul ‘Ārifīn: Pengorbanan dan Penyucian Rezeki

Ilustrasi seorang dermawan membawa zakat untuk di bagikan
Ilustrasi menggambarkan zakat sebagai tindakan batiniah dan sosial: dari hati yang bersih memancar berkah bagi sesama

Surau.co. Zakat muncul bukan semata kewajiban fiskal; zakat berfungsi sebagai praktik spiritual yang membersihkan jiwa dan menata relasi sosial. Dalam Minhājul ‘Ārifīn, Imam Abū Ḥāmid Al-Ghazālī menerangkan makna zakat sebagai alat pendidikan batin karena mampu melatih seseorang untuk melepaskan keterikatan pada harta dan menumbuhkan kepekaan sosial.

Artikel ini mengulas makna zakat dari perspektif tasawuf dengan pendekatan naratif yang mengalir. Selain itu, saya menyertakan kutipan Al-Qur’an, hadis, dan pendapat ulama dalam teks Arab beserta terjemahannya agar pembaca memperoleh pijakan otoritatif.

Zakat sebagai Tazkiyah: Penyucian Hati melalui Praktik Nyata

Imam Abū Ḥāmid Al-Ghazālī menjelaskan bahwa tujuan utama zakat terletak pada penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), bukan sekadar perpindahan materi. Oleh karena itu, seorang mukmin melatih dirinya mengurangi ikatan batin terhadap harta sehingga hatinya kembali tertambat pada Tuhan. Ketika seseorang menunaikan zakat, ia sekaligus melakukan refleksi: apakah ia menguasai hartanya atau justru hartanya yang menguasai dirinya.

Al-Qur’an memberikan dasar tegas mengenai fungsi penyucian tersebut. Allah berfirman:

﴿ خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا ﴾
“Ambillah zakat dari harta mereka; dengan zakat itu engkau membersihkan dan menyucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Ayat ini menunjukkan bahwa zakat bekerja pada dua sisi sekaligus: pembersihan (tathir) dan penyucian (tazkiyah). Dalam bahasa tasawuf, tindakan lahiriah seperti mengeluarkan harta akan memicu perubahan batiniah karena dapat mengikis sifat cinta dunia dan mengarahkan orientasi hidup menuju ketakwaan.

Untuk memperkuat pemahaman batin ini, tradisi sufistik mengajarkan:

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
“Barangsiapa mengenal dirinya, niscaya ia mengenal Rabbnya.” — Ibn ‘Aṭā’illah al-Iskandarī, Al-Hikam

Kesadaran mengenai diri membuat seseorang memahami betapa kuatnya ketergantungan pada dunia. Kesadaran tersebut lalu mendorong lahirnya tindakan nyata seperti zakat yang memurnikan hati.

Zakat sebagai Latihan Pengorbanan: Melatih Melepaskan yang Dicintai

Imam Abū Ḥāmid Al-Ghazālī mengaitkan zakat dengan latihan pengorbanan. Ia menekankan bahwa zakat menuntut seseorang mengeluarkan sebagian dari apa yang paling dicintai—yakni harta—sebagai tanda ketaatan kepada Allah. Karena itu, pengorbanan dalam zakat tidak sekadar berbentuk pembagian materi; pengorbanan menguji kedalaman ketaatan dan sekaligus membebaskan hati dari cinta dunia yang berlebihan.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Dalam Minhājul ‘Ārifīn, Al-Ghazālī menegaskan bahwa seseorang tidak dapat mencapai keridhaan Ilahi tanpa mendahulukan cinta kepada Allah di atas segala kecintaan duniawi. Oleh sebab itu, zakat menjadi sarana mudah dan nyata untuk melatih hati agar mengutamakan kasih Tuhan melalui pengeluaran sebagian harta.

Nabi bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah tidak mengurangi harta.” — (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa pengeluaran harta dalam zakat tidak merugikan secara hakiki; justru tindakan tersebut membuka pintu keberkahan sekaligus memperdalam spiritualitas.

Dimensi Sosial-Tasawuf: Zakat Memperkuat Solidaritas Spiritual

Tasawuf tidak memandang zakat hanya sebagai ibadah individual karena sisi sosialnya sangat kuat. Ketika hati seseorang bersih melalui zakat, tindakan sosialnya keluar secara alami. Dengan demikian, zakat menghubungkan dimensi vertikal (hamba–Tuhan) dan horizontal (hamba–sesama) secara seimbang.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Imam Abū Ḥāmid Al-Ghazālī menegaskan bahwa spiritualitas sejati tidak boleh menjadikan seseorang apatis terhadap penderitaan sosial. Sebaliknya, jiwa yang bersih justru membangkitkan empati yang konkret. Karena itu, zakat mampu memutus rantai egoisme yang melemahkan masyarakat dan menumbuhkan relasi sosial yang adil—sebuah karakter masyarakat beradab dalam perspektif tasawuf.

Prinsip ini sejalan dengan tradisi sufistik yang menekankan mu‘āmalah sebagai ujian moral. Apabila zakat dipraktikkan secara konsisten, masyarakat akan mengalami redistribusi berkah dan solidaritas, sementara keterikatan pada harta berangsur menurun. Akibatnya, rasa saling memiliki kembali tumbuh dan menghidupkan jaringan sosial yang lebih sehat.

Implikasi Praktis: Menjadikan Zakat sebagai Latihan Harian

Memahami zakat sebagai tazkiyah sekaligus pengorbanan akan mengubah cara mempraktikkan kewajiban ini. Pertama, seseorang perlu mengarahkan niatnya bukan hanya pada kepatuhan formal, melainkan juga pada tujuan membersihkan hati. Kedua, ia dapat menjadikan proses perhitungan zakat sebagai momen evaluasi spiritual: apakah hatinya masih terikat kuat pada harta? Ketiga, ia perlu mendistribusikan zakat dengan cara yang menjaga martabat penerima, sesuai ajaran tasawuf mengenai kehormatan manusia.

Dalam lingkungan pesantren dan komunitas religius, para guru dapat mengintegrasikan zakat dengan pendidikan spiritual melalui pengajaran tentang maqām hati, latihan melepaskan, dan refleksi kolektif setelah penyaluran zakat. Imam Abū Ḥāmid Al-Ghazālī mengajarkan bahwa kebiasaan spiritual yang dijaga secara konsisten mampu membentuk karakter. Karena itu, apabila zakat dipraktikkan dengan penuh kesadaran, zakat akan menjadi medium transformasi batin.

Penutup

Zakat mengalir dari tangan yang rela melepaskan dan kemudian menyejukkan hati yang memberi maupun yang menerima. Ketika amal materi berubah menjadi latihan batin, rezeki tidak lagi menjadi ukuran duniawi; rezeki berubah menjadi saksi ketulusan dan sarana pembebasan jiwa. Imam Abū Ḥāmid Al-Ghazālī memandang zakat sebagai jembatan antara tawāzun (keseimbangan batin) dan solidaritas sosial—sebuah praktik yang mewujudkan nilai tasawuf dalam kehidupan nyata.

Marilah kita menjadikan zakat bukan sekadar kewajiban, melainkan meditasi praktis yang merapikan relasi dengan Sang Pemberi dan dengan sesama. Dengan demikian, rezeki tidak lagi sekadar harta yang dijaga, melainkan karunia yang disucikan melalui pengorbanan dan cinta yang kembali kepada Allah.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement