Khazanah
Beranda » Berita » Kurban dalam Kitab Riyādhul Badi‘ah

Kurban dalam Kitab Riyādhul Badi‘ah

seorang muslim menyembelih kurban sesuai dengan ketentuan fiqih
Ilustrasi realistik seorang muslim melaksanakan penyembelihan kurban dalam suasana hangat, dan sesuai dengan panduan fikih

Surau.co. Kurban dalam fikih syafi‘i menjadi ibadah yang menghadirkan kedekatan dengan Allah melalui penyembelihan hewan tertentu pada hari-hari spesifik. Pembahasan “kurban dalam Riyādhul Badi‘ah” memuat sejumlah kaidah penting yang mengatur syarat hewan, waktu, hukum pelaksanaan, serta adab-adabnya. Fikih kurban tidak hanya berbicara tentang penyembelihan, tetapi juga ketelitian hukum yang menjaga sahnya ibadah. Kurban memiliki posisi terhormat dalam syariat Allah menegaskan perintah kurban dalam Al-Qur’an.

Firman-Nya:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2)

Ayat ini menjadi dasar utama yang digunakan para ulama ketika membahas kewajiban atau kesunnahan kurban. Para ulama juga memandang hadits Nabi sebagai pijakan pokok. Rasulullah bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Siapa yang memiliki kelapangan rezeki tetapi tidak berkurban, jangan mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Hadits ini menunjukkan dorongan kuat agar seorang muslim tidak meninggalkan ibadah kurban jika mampu. Dengan dasar-dasar tersebut, Riyādhul Badi‘ah menyusun penjelasan runtut mengenai hukum, syarat hewan, hingga tata cara pelaksanaan kurban.

Hukum Kurban Menurut Riyādhul Badi‘ah

Penjelasan fikih dalam Riyādhul Badi‘ah menunjukkan bahwa kurban termasuk ibadah sunnah muakkadah bagi muslim yang mampu. Prinsip ini mengikuti pandangan mayoritas ulama dalam mazhab Syafi‘i. Dalam kitab tersebut terdapat ungkapan:

وَالْأُضْحِيَةُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهَا سَبِيلًا
“Kurban merupakan sunnah muakkadah bagi orang yang mampu melaksanakannya.”

Redaksi tersebut menegaskan bahwa kemampuan finansial menjadi syarat dasar. Seseorang yang tidak memiliki kelapangan tidak terbebani untuk berkurban. Para ulama Syafi‘iyyah menetapkan ukuran mampu sebagai orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan pokoknya pada hari raya dan hari-hari tasyriq. Penjelasan ini meneguhkan bahwa kurban bukan kewajiban bagi setiap muslim tanpa melihat keadaan ekonomi.

Imam An-Nawawi dalam Al-Majmū‘ juga menjelaskan:

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

وَهِيَ مِنْ أَكَّدِ السُّنَنِ لَا يَجِبُ إِلَّا بِالنَّذْرِ
“Kurban termasuk sunnah yang sangat ditekankan dan tidak menjadi wajib kecuali karena nazar.”

Keterangan tersebut memberikan penguatan bahwa kurban akan berubah status menjadi wajib ketika seseorang bernazar. Dengan demikian, hukum asal—yakni sunnah muakkadah—tetap terjaga, sementara kewajiban baru muncul ketika seseorang mengucapkan nazar dengan lafaz yang sah.

Syarat Hewan Kurban Menurut Kaidah Fikih

Kitab Riyādhul Badi‘ah memberikan perhatian besar terhadap syarat sah hewan kurban. Syarat-syarat tersebut bersumber dari dalil hadis serta qaidah fikih dalam mazhab Syafi‘i. Penjelasan penting dalam kitab tersebut berbunyi:

وَلَا تُجْزِئُ الْأَضْحِيَةُ إِلَّا مِنَ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ
“Kurban tidak sah kecuali dengan unta, sapi, atau kambing.”

Penyebutan tiga jenis hewan ini mengikuti ketentuan syariat yang telah mapan. Hewan selainnya, seperti ayam, kelinci, atau burung, tidak dapat menggantikan ketiga jenis tersebut, meskipun jumlahnya banyak. Selain jenis hewan, usia minimal juga menjadi syarat pokok. Riyādhul Badi‘ah menegaskan:

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

وَلَا يُجْزِئُ دُونَ الثَّنِيِّ إِلَّا فِي الضَّأْنِ فَيُجْزِئُ الْجَذَعُ
“Tidak sah berkurban dengan hewan yang belum mencapai usia tsaniyy, kecuali kambing domba; domba sah dengan usia jadza‘ (sekitar enam bulan).”

Dalam mazhab Syafi‘i, batas usia tersebut ditetapkan sebagai berikut:

  • Unta: 5 tahun
  • Sapi: 2 tahun
  • Kambing kacang: 1 tahun
  • Domba: 6 bulan

Ulama memandang batasan usia sebagai salah satu bentuk penyempurna nilai daging dan kualitas hewan. Dengan demikian, setiap muslim yang hendak berkurban perlu memastikan hewan yang dipilih memenuhi standar ini.

Selain usia, kondisi fisik hewan juga menjadi syarat penting. Hadits Nabi menyebutkan empat cacat yang tidak sah untuk kurban:

لَا تُضَحُّوا بِالْعَوْرَاءِ الْبَيِّنِ عَوَرُهَا، وَلَا بِالْمَرِيضَةِ الْبَيِّنِ مَرَضُهَا، وَلَا بِالْعَرْجَاءِ الْبَيِّنِ ظَلَعُهَا، وَلَا بِالْعَجْفَاءِ الَّتِي لَا تُنْقِي
“Jangan berkurban dengan hewan yang jelas buta sebelah, jelas sakit, jelas pincang, dan hewan sangat kurus hingga tidak memiliki sumsum.” (HR. Malik)

Kaidah ini menjadi pegangan utama dalam menentukan kesempurnaan fisik hewan. Riyādhul Badi‘ah mengadopsi kaidah tersebut secara utuh.

Waktu Penyembelihan Kurban: Kaidah dan Penerapannya

Waktu menjadi aspek penting dalam pelaksanaan kurban. Penyembelihan sebelum waktunya menyebabkan kurban tidak sah. Syaikh Muhammad Hasbullah Asy-Syafi‘i menjelaskan:

وَوَقْتُ الذَّبْحِ مِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِيدِ إِلَى غُرُوبِ شَمْسِ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ
“Waktu penyembelihan dimulai setelah shalat Id hingga terbenam matahari hari terakhir tasyrik.”

Batas ini memperlihatkan betapa fikih memperhatikan ketepatan waktu sebagai syarat mutlak. Dengan kaidah ini, penyembelihan pada malam hari raya Iduladha sebelum shalat tidak dihitung sebagai kurban, tetapi sebagai sedekah biasa. Para ulama menganjurkan agar penyembelihan dilakukan pada hari pertama karena mengikuti kebiasaan Rasulullah.

Imam Asy-Syafi‘i dalam Al-Umm menjelaskan:

أُحِبُّ تَعْجِيلَ الذَّبْحِ بَعْدَ الصَّلَاةِ
“Aku menyukai percepatan penyembelihan setelah shalat Id.”

Pandangan tersebut didasarkan pada praktik Nabi yang menyembelih pada kesempatan awal. Namun demikian, seluruh hari tasyrik tetap sah digunakan sebagai waktu penyembelihan. Ketentuan ini memberikan kemudahan bagi masyarakat yang menghadapi antrian atau keterbatasan lokasi penyembelihan.

Pembagian Daging Kurban: Hak Mustahik dan Keluarga

Pembagian daging kurban menjadi bagian penting dalam fikih. Riyādhul Badi‘ah menjelaskan bahwa orang yang berkurban dianjurkan memakan sebagian, menghadiahkan sebagian, dan mensedekahkan bagian terbanyak kepada fakir miskin. Dalam kitab tersebut terdapat penjelasan:

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَأْكُلَ الثُّلُثَ وَيُهْدِيَ الثُّلُثَ وَيَتَصَدَّقَ بِالثُّلُثِ
“Disunnahkan memakan sepertiga, menghadiahkan sepertiga, dan mensedekahkan sepertiga.”

Pembagian menjadi tiga bagian bukan kewajiban mutlak, tetapi anjuran agar ibadah kurban memberikan manfaat seluas mungkin. Sedekah kepada fakir miskin menjadi tujuan utama, sehingga sebagian ulama membolehkan memberikan seluruhnya sebagai sedekah. Namun, memakan sebagian daging tetap menjadi sunnah sebagai bentuk mengambil berkah dari ibadah tersebut.

Dalam konteks sosial, kaidah pembagian ini menghidupkan nilai gotong royong dan solidaritas antarwarga. Pembagian daging kurban secara merata membantu meringankan beban kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah, terutama pada momen Iduladha.

Kurban Wajib karena Nazar: Hukum dan Konsekuensinya

Nazar mengubah status kurban dari sunnah muakkadah menjadi wajib. Ketika seseorang mengucapkan nazar, ia mewajibkan dirinya melakukan kurban tertentu pada waktu tertentu. Riyādhul Badi‘ah menjelaskan:

وَإِذَا نَذَرَ الْأُضْحِيَةَ وُجِبَ عَلَيْهِ الْوَفَاءُ بِهَا
“Ketika seseorang bernazar untuk berkurban, wajib baginya untuk menunaikannya.”

Pandangan ini mengikuti kaidah umum dalam nazar: setiap amal ibadah yang asalnya sunnah dapat berubah menjadi wajib dengan nazar. Hal ini sesuai sabda Nabi:

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ
“Siapa yang bernazar menaati Allah, hendaklah ia menaati-Nya.” (HR. Bukhari)

Dengan kaidah tersebut, kurban nazar tidak dapat diganti atau ditunda tanpa alasan syar‘i. Hewan yang telah dinazarkan juga tidak boleh dijual atau diganti setelah ditentukan, kecuali dalam kondisi darurat.

Para ulama Syafi‘iyyah juga menegaskan bahwa daging kurban nazar tidak boleh dimakan oleh orang yang bernazar. Dalam Al-Majmū‘, Imam An-Nawawi menyampaikan:

وَلَا يَأْكُلُ مِنْهَا النَّاذِرُ شَيْئًا
“Orang yang bernazar tidak boleh memakan sedikit pun dari kurban nazar.”

Kaidah ini membedakan kurban nazar dari kurban sunnah yang boleh dimakan oleh pelakunya.

Adab Melaksanakan Kurban: Ketelitian dan Kesungguhan

Selain syarat dan hukum, Riyādhul Badi‘ah juga memuat adab-adab pelaksanaan kurban. Di antaranya adalah memilih hewan yang terbaik dari sisi kesehatan, ukuran, dan keindahan. Hal ini mengikuti firman Allah:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
“Kalian tidak akan mencapai kebaikan sebelum menginfakkan apa yang kalian cintai.” (QS. Ali ‘Imran: 92)

Dengan demikian, memilih hewan kurban secara asal-asalan tidak mencerminkan kesungguhan ibadah. Ulama Syafi‘iyyah menganjurkan memilih hewan yang gemuk dan tidak cacat, serta memperhatikan cara penyembelihan sesuai tuntunan Nabi.

Sunnah lainnya adalah menghadapkan hewan ke arah kiblat, membaca basmalah, bertakbir, serta berdoa:

اللَّهُمَّ هَذَا مِنْكَ وَلَكَ
“Ya Allah, hewan ini dari-Mu dan untuk-Mu.”

Adab-adab tersebut menambah kekhusyukan dan kualitas ibadah kurban.

Penutup

Kurban menurut Riyādhul Badi‘ah bukan sekadar penyembelihan, tetapi ketaatan yang lahir dari pemahaman fikih yang tertib dan bersanad. Setiap syarat, batas usia hewan, waktu penyembelihan, hingga ketentuan nazar menunjukkan bahwa syariat mengatur ibadah ini dengan sangat teliti. Di dalam teladan Nabi dan jejak para ulama, setiap muslim dapat belajar bagaimana kurban menjadi wujud syukur dan pengabdian.

Dalam setiap tetes darah kurban, terdapat doa yang melangit dan harapan yang meluas. Semoga kurban yang kita laksanakan menjadi saksi ketaatan dan menjadi cahaya yang terus menguatkan langkah menuju ridha Allah.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement