Khazanah
Beranda » Berita » Shalat Jama’ bagi Musafir dalam Kitab Riyādhul Badi‘ah

Shalat Jama’ bagi Musafir dalam Kitab Riyādhul Badi‘ah

Ilustrasi musafir melaksanakan shalat jama’ di tengah perjalanan dengan latar langit cerah
Ilustrasi realistik menampilkan seorang musafir sedang berhenti di padang luas untuk melaksanakan shalat. Langit cerah kebiruan, cahaya sore jatuh lembut, dan tas ransel diletakkan di sampingnya.

Surau.co. Shalat jama’ bagi musafir menjadi salah satu keringanan syariat yang mendapat porsi pembahasan penting dalam fikih. Keringanan tersebut tidak hanya mempermudah perjalanan, tetapi juga menjaga konsistensi ibadah dengan cara yang sesuai kaidah. Kitab Riyādhul Badi‘ah karya Syaikh Muhammad Hasbullah Asy-Syāfi‘i menghadirkan penjelasan rinci mengenai aturan jama’ dan qashar bagi musafir menurut mazhab Syafi‘i.

Dasar Syariat Shalat Jama’ bagi Musafir

Pembahasan shalat jama’ bagi musafir bersandar pada ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi. Syariat memberikan keringanan berdasarkan pertimbangan kesulitan perjalanan. Firman Allah:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ
“Apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidak ada dosa atas kalian untuk mengqashar shalat.” (QS. An-Nisā’: 101)

Walaupun ayat ini menyinggung qashar, para ulama menyimpulkan bahwa keringanan jama’ termasuk dalam kategori rukhsah safar. Hadis sahih juga menjelaskan praktik jama’ Rasulullah ﷺ, antara lain:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ جَمَعَ بَيْنَهُمَا
“Rasulullah ﷺ ketika bepergian sebelum tergelincir matahari, mengakhirkan Zuhur ke waktu Asar, kemudian menjamak keduanya.” (HR. Muslim)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Hadis tersebut menjadi dalil jama’ ta’khir. Keringanan ini disusun berdasarkan kaidah fikih:

الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ
“Kesulitan mendatangkan kemudahan.”

Kaidah ini sangat relevan, karena perjalanan pada masa lalu maupun kini menghadirkan kondisi yang menuntut fleksibilitas ibadah tanpa mengurangi substansi ketaatan.

Konsep Shalat Jama’ dalam Riyādhul Badi‘ah

Syaikh Muhammad Hasbullah Asy-Syāfi‘i menjelaskan secara rinci aturan jama’ dalam bab safar. Beliau menyampaikan ketentuan pokok sebagai berikut:

وَيَجُوزُ جَمْعُ الظُّهْرِ مَعَ الْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ مَعَ الْعِشَاءِ لِلسَّفَرِ الَّذِي تُقْصَرُ فِيهِ الصَّلَاةُ
“Boleh menjamak Zuhur dengan Asar, serta Magrib dengan Isya, dalam perjalanan yang membolehkan qashar shalat.”
(Riyādhul Badi‘ah)

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa jama’ dikaitkan dengan safar yang memenuhi syarat qashar. Artinya, jarak perjalanan menjadi parameter utama. Mazhab Syafi‘i menetapkan jarak minimal:

مَسَافَةُ الْقَصْرِ هِيَ أَرْبَعَةُ بُرُدٍ 
“Jarak qashar adalah empat burd.”

Jika di konfersikan batas minimal jaraknya sekitar delapan puluh kilometer.Dengan demikian, musafir yang menempuh perjalanan kurang dari jarak tersebut tidak diperbolehkan menjamak shalat berdasarkan mazhab Syafi‘i. Hubungan erat antara jama’ dan qashar menunjukkan penerapan kaidah fikih:

التَّابِعُ تَابِعٌ
“Hukum yang mengikuti mengikuti hukum asalnya.”

Jama’ mengikuti ketentuan qashar; selama seseorang memenuhi syarat qashar, jama’ juga berlaku.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Macam-macam Shalat Jama’ bagi Musafir

  1. Jama’ Taqdim

Jama’ taqdim merupakan penggabungan dua shalat pada waktu shalat pertama. Syaikh Hasbullah menjelaskan:

وَالْأَوْلَى أَنْ يَنْوِيَ الْجَمْعَ عِنْدَ افْتِتَاحِ الصَّلَاةِ الْأُولَى مَعَ الْمُوَالَاةِ بَيْنَهُمَا
“Yang lebih utama, musafir berniat jama’ saat membuka shalat pertama serta menjaga kesinambungan antara keduanya.”

Musafir perlu melaksanakan dua hal:

  1. Niat jama’ pada shalat pertama.
  2. Melakukan kedua shalat tanpa jeda panjang.

Ketentuan ini menunjukkan penerapan kaidah:

النِّيَّةُ شَرْطٌ فِي العِبَادَاتِ
“Niat adalah syarat dalam ibadah.”

Dengan niat yang jelas, musafir melaksanakan jama’ taqdim sesuai ketentuan fikih.

  1. Jama’ Ta’khir

Jama’ ta’khir dilakukan dengan menggabungkan dua shalat pada waktu shalat kedua. Ketentuan ini lebih longgar. Syaikh Hasbullah menjelaskan:

وَإِنْ جَمَعَ تَأْخِيرًا جَازَ وَلَا يَشْتَرِطُ الْمُوَالَاةُ
“Jika menjamak ta’khir, hukumnya sah dan tidak disyaratkan kesinambungan antara keduanya.”

Musafir cukup berniat jama’ sebelum berakhirnya waktu shalat kedua. Kelapangan aturan jama’ ta’khir menegaskan kaidah:

الرُّخْصَةُ تَابِعَةٌ لِسَبَبِهَا
“Rukhsah mengikuti sebab yang melatarbelakanginya.”

Sebabnya adalah safar yang membawa kesulitan, sehingga syariat memberikan kemudahan lebih fleksibel.

Syarat Musafir agar Boleh Menjama’ Shalat

Penjelasan Riyādhul Badi‘ah sejalan dengan ulama Syafi‘iyah lainnya. Secara umum, syarat musafir yang boleh menjamak shalat meliputi:

  1. Perjalanan Mencapai Jarak Minimal Safar

Seperti telah dijelaskan, jarak minimal adalah empat burd (±80 km). Pendapat ini didukung oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Majmū‘:

مَسَافَةُ الْقَصْرِ أَرْبَعَةُ بُرُدٍ لَا نِزَاعَ فِي الْمَذْهَبِ
“Jarak qashar adalah empat burd dan tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab (Syafi‘i).”

Jarak ini menjadi ukuran objektif sehingga musafir tidak menetapkan sekehendaknya. Kaidah fikihnya:

الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
“Keyakinan tidak hilang karena keraguan.”

Syariat menetapkan jarak yang pasti, bukan berdasarkan perkiraan subjektif.

  1. Niat Safar yang Mubah

Musafir yang boleh menjamak shalat adalah musafir yang melakukan perjalanan mubah, bukan perjalanan maksiat. Syaikh Hasbullah menyebutkan ketegasan itu:

لَا تُبَاحُ الرُّخْصَةُ لِسَفَرِ الْمَعْصِيَةِ
“Rukhsah tidak diberikan untuk perjalanan maksiat.”

Prinsip ini berasal dari kaidah besar:

الرُّخْصَةُ لَا تُنَاطُ بِالْمَعَاصِي
“Rukhsah tidak dikaitkan dengan kemaksiatan.”

Kaidah tersebut menjaga nilai syariat agar keringanan tidak disalahgunakan.

  1. Tidak Berniat Menetap Lebih dari Empat Hari

Mazhab Syafi‘i menetapkan bahwa musafir kehilangan status safarnya jika berniat menetap empat hari atau lebih (selain hari masuk dan keluar). Imam Asy-Syirazi dalam Al-Muhadzdzab menjelaskan:

إِذَا نَوَى الْمُسَافِرُ الْإِقَامَةَ أَرْبَعَةَ أَيَّامٍ فَهُوَ مُقِيمٌ
“Jika musafir berniat menetap empat hari, maka statusnya berubah menjadi mukim.”

Perubahan status ini memengaruhi hukum jama’. Ketentuan waktu menetap berkaitan dengan kaidah:

الأَحْكَامُ تَتَغَيَّرُ بِتَغَيُّرِ الأَزْمَانِ وَالأَحْوَالِ
“Hukum dapat berubah sesuai perubahan keadaan.”

Selama status musafir berubah, rukhsah pun berubah.

Keterkaitan Jama’ dan Qashar Menurut Mazhab Syafi‘i

Meskipun jama’ dan qashar sama-sama merupakan rukhsah safar, keduanya memiliki karakter berbeda. Syaikh Hasbullah dalam Riyādhul Badi‘ah menegaskan bahwa qashar lebih kuat kedudukannya dibanding jama’. Hal ini sejalan dengan pendapat Imam An-Nawawi dan ulama Syafi‘iyah lain.

Qashar merupakan hak musafir yang sangat dianjurkan. Sedangkan jama’ merupakan keringanan tambahan ketika kesulitan meningkat, seperti mobilitas tinggi dan sulit berhenti. Kaidah fikih:

إِذَا ضَاقَ الأَمْرُ اتَّسَعَ
“Ketika suatu perkara menyempit, syariat melapangkannya.”

Syariat memberikan ruang fleksibel agar musafir tidak berat melaksanakan kewajiban.

Situasi yang Memungkinkan Jama’ bagi Musafir Modern

Pembahasan shalat jama’ bagi musafir juga relevan untuk era transportasi modern. Perjalanan dengan mobil, kereta, pesawat, atau kapal tetap dihukumi safar jika memenuhi syarat jarak dan niat. Dalam konteks ini, beberapa situasi dapat menggunakan jama’:

  1. Ketika jadwal transportasi tidak memungkinkan shalat tepat waktu

Musafir yang berada dalam perjalanan panjang, misalnya pesawat yang terbang menembus dua waktu shalat, dapat menggunakan jama’ ta’khir. Kemudahan ini sejalan dengan kaidah:

الحَرَجُ مَرْفُوعٌ
“Kesulitan yang memberatkan dihilangkan oleh syariat.”

  1. Ketika musafir sulit menemukan tempat shalat yang layak

Terminal, stasiun, atau pinggir jalan kadang tidak menyediakan ruang ibadah layak. Jama’ menjadi solusi syar‘i agar shalat tetap terlaksana dengan tertib dan tenang.

Ketentuan jama’ dalam era modern tetap mengikuti batasan fikih klasik. Penyesuaian tidak mengubah substansi, tetapi memperluas pemahaman pada konteks kekinian.

Adab Musafir dalam Melaksanakan Jama’

Selain aspek hukum, ulama memberikan anjuran adab agar musafir tetap menjaga kekhusyukan. Beberapa anjuran tersebut:

  1. Melaksanakan jama’ dengan tertib dan niat benar.
  2. Mengutamakan jama’ taqdim jika perjalanan dimulai sebelum waktu shalat berikutnya.
  3. Berusaha tidak menjamak tanpa kebutuhan, sebagai bentuk penghormatan pada syariat.
  4. Memperbanyak doa selama safar, mengikuti sabda Nabi:

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ… وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ
“Tiga doa yang pasti dikabulkan… dan doa musafir.” (HR. Abu Dawud)

Adab tersebut memberi warna spiritual dalam perjalanan, sehingga musafir tidak sekadar berpindah tempat, tetapi juga berpindah menuju kedekatan dengan Allah.

Penutup

Perjalanan selalu membawa manusia pada batas antara kesibukan dunia dan panggilan langit. Dalam ruang itulah, rukhsah safar hadir sebagai bukti kasih Tuhan yang tidak pernah meninggalkan hamba-Nya di jalan.

Jama’ bagi musafir mengajarkan bahwa syariat tidak memberatkan, melainkan mendampingi dengan lembut, menjaga ritme ibadah agar tetap terjaga di setiap langkah. Semoga setiap perjalanan menjadi tempat bertemu rahmat, dan setiap rukhsah menjadi bukti syukur dalam hati yang terus terarah menuju-Nya.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement