Surau.co. Aqiqah menempati posisi penting dalam tradisi keagamaan keluarga muslim. Pembahasan mengenai aqiqah berkembang di berbagai kitab fikih, termasuk Riyādhul Badi‘ah karya Syaikh Muhammad Hasbullah Asy-Syāfi‘i. Kitab tersebut menjelaskan hukum, tata cara, dan landasan fikih aqiqah secara runtut, sehingga membantu pembaca memahami praktik ibadah ini dengan lebih terarah. Artikel akademik populer ini mengulas kaidah fikih aqiqah berdasarkan Riyādhul Badi‘ah secara ringan namun bersandar pada dalil serta pandangan ulama klasik. Artikel ini disajikan dalam bahasa Indonesia sepenuhnya agar ramah bagi pembaca awam, sekaligus dapat dimanfaatkan mahasiswa dan peneliti.
Makna Aqiqah dan Landasan Fikih dalam Riyādhul Badi‘ah
Pembahasan aqiqah tidak terlepas dari ketentuan syariat yang bersumber dari Al-Qur’an, hadis, dan kaidah fikih. Meskipun Al-Qur’an tidak menyinggung aqiqah secara eksplisit, hadis Nabi memberikan dasar yang kuat. Rasulullah ﷺ bersabda:
«كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ، وَيُسَمَّى فِيهِ، وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ»
“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya. Disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, diberi nama, dan dicukur rambutnya.” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini banyak dijadikan pijakan utama dalam fikih aqiqah. Syaikh Muhammad Hasbullah Asy-Syāfi‘i dalam Riyādhul Badi‘ah menjelaskan:
«وَالسُّنَّةُ أَنْ تُذْبَحَ الْعَقِيقَةُ يَوْمَ السَّابِعِ لِلْمَوْلُودِ، فَإِنْ تَعَذَّرَ فَفِي الْيَوْمِ الرَّابِعَ عَشَرَ»
“Disunahkan menyembelih aqiqah pada hari ketujuh dari kelahiran. Jika tidak memungkinkan, maka pada hari keempat belas.” (Riyādhul Badi‘ah)
Pengaturan waktu ini menunjukkan pentingnya ketertiban dalam ibadah sunnah. Para ulama mengaitkan ketentuan tersebut dengan kaidah fikih:
الأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا
“Segala perkara tergantung pada tujuannya.”
Aqiqah bertujuan sebagai bentuk syukur kepada Allah atas kelahiran anak, sekaligus mengharapkan keberkahan bagi masa depannya. Maka, penetapan hari ketujuh menunjukkan kesesuaian maksud dari ibadah tersebut: syukur yang segera dan teratur.
Hukum Aqiqah Menurut Kaidah Fikih dalam Riyādhul Badi‘ah
Syaikh Asy-Syāfi‘i menerangkan bahwa hukum aqiqah adalah sunnah muakkadah. Pernyataan tersebut sejalan dengan mayoritas ulama dari mazhab Syafi‘i, Hanafi, dan Hanbali. Beliau menuliskan:
«وَالْعَقِيقَةُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ لَا يَجِبُ تَرْكُهَا لِمَنْ قَدَرَ عَلَيْهَا»
“Aqiqah merupakan sunnah muakkadah. Tidak sepantasnya ditinggalkan oleh orang yang mampu melaksanakannya.”
Penekanan pada kemampuan menunjukkan penerapan kaidah fikih:
لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Dalam konteks aqiqah, kemampuan biaya menjadi pertimbangan. Para ulama menegaskan bahwa orang yang tidak mampu tidak terbebani dosa bila tidak melaksanakan aqiqah. Imam An-Nawawi menegaskan dalam Al-Majmū‘:
«إِذَا لَمْ يَجِدِ الْمُكَلَّفُ ثَمَنَ الْعَقِيقَةِ، سَقَطَتْ عَنْهُ، وَلَا يُكَلَّفُ الِاسْتِدَانَةَ لَهَا»
“Jika seseorang tidak memiliki biaya aqiqah, gugurlah kewajiban sunnah itu. Tidak dianjurkan berutang untuk melaksanakannya.”
Keterangan ini memperjelas bahwa sunnah muakkadah tetap harus memperhatikan prinsip kemudahan dan tidak memberatkan.
Jumlah Hewan Aqiqah dan Kaidah Penetapannya
Sebagian besar diskusi mengenai aqiqah berkisar pada jumlah hewan yang disembelihkan. Dalam Riyādhul Badi‘ah, Syaikh Asy-Syāfi‘i menyebut aturan standar mazhab Syafi‘i:
«وَيُسْتَحَبُّ فِي الْغُلَامِ شَاتَانِ، وَفِي الْجَارِيَةِ شَاةٌ وَاحِدَةٌ»
“Disunahkan menyembelih dua ekor kambing untuk anak laki-laki, dan satu ekor untuk anak perempuan.”
Ketetapan tersebut bersandar pada hadis Nabi ﷺ:
«عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ، وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ»
“Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang setara, dan untuk anak perempuan satu ekor.” (HR. An-Nasa’i)
Kaidah fikih yang selaras dengan ketentuan ini adalah:
التَّابِعُ تَابِعٌ
“Yang mengikuti harus menyesuaikan dengan yang diikuti.”
Jumlah hewan bukan karena perbedaan nilai anak laki-laki dan perempuan, tetapi mengikuti ketentuan yang dicontohkan Rasulullah. Penetapan ini menjadikan ibadah aqiqah berada dalam jalur yang teratur, tidak dipengaruhi keinginan personal semata.
Jenis Hewan dan Syarat Sah Menurut Pendekatan Fikih
Pembahasan fikih tidak hanya menyentuh jumlah hewan, tetapi juga syarat sah hewan aqiqah. Dalam Riyādhul Badi‘ah, Syaikh Asy-Syāfi‘i menjelaskan bahwa hewan aqiqah mengikuti ketentuan hewan kurban, terutama dari aspek kesehatan, usia, dan kualitas.
Beliau menyebutkan:
«وَيُشْتَرَطُ فِي شَاةِ الْعَقِيقَةِ مَا يُشْتَرَطُ فِي شَاةِ الْأُضْحِيَّةِ»
“Syarat-syarat pada hewan aqiqah sama dengan syarat hewan kurban.”
Syarat tersebut merujuk pada kaidah:
مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Sesuatu yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya, maka hal itu menjadi wajib.”
Walaupun aqiqah hukumnya sunnah, syarat sahnya tetap wajib dipenuhi. Kambing yang cacat atau terlalu kurus tidak memenuhi syarat. Bahkan, Imam Asy-Syafi‘i dalam Al-Umm menegaskan:
«لَا تُجْزِئُ الْعَقِيقَةُ إِذَا كَانَتْ مِنْ بَهِيمَةٍ مَعِيبَةٍ عَيْبًا يَضُرُّ بِلَحْمِهَا»
“Aqiqah tidak sah apabila hewan yang dipakai memiliki cacat yang merusak kualitas dagingnya.”
Penjelasan tersebut menegaskan bahwa kesempurnaan hewan menjadi bagian dari kehormatan ibadah.
Pembagian Daging Aqiqah dan Prinsip Fikih dalam Distribusi
Praktik pembagian daging aqiqah sering menjadi perbincangan. Banyak keluarga bertanya: apakah pembagian aqiqah sama seperti kurban? Riyādhul Badi‘ah memberikan jawaban yang tegas. Syaikh Asy-Syāfi‘i menjelaskan:
«وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُطْعِمَ مِنْهَا الْفُقَرَاءَ وَالْأَقَارِبَ وَالْجِيرَانَ، وَلَا يُبَاعُ مِنْهَا شَيْءٌ»
“Disunahkan memberikan daging aqiqah kepada fakir miskin, kerabat, dan tetangga. Tidak diperbolehkan menjual bagian apa pun darinya.”
Prinsip ini selaras dengan kaidah fikih:
الْعِبَادَاتُ لَا تُبَاحُ لِلتَّصَرُّفِ الدُّنْيَوِيِّ
“Ibadah tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan duniawi.”
Karena itu, menjual daging aqiqah bertentangan dengan tujuan ibadah. Selain itu, sebagian ulama Syafi‘iyah menjelaskan bahwa penyembelih boleh mengambil upah, tetapi tidak boleh berupa bagian dari daging aqiqah.
Imam Al-Baghawi dalam At-Tahdzīb menjelaskan:
«لَا يُعْطَى الْجَازِرُ أُجْرَتَهُ مِنْ لَحْمِ الْعَقِيقَةِ»
“Seorang penyembelih tidak diberi upah dari bagian daging aqiqah.”
Ketentuan ini menjaga kemurnian ibadah dari transaksi yang bersifat komersial.
Aqiqah Tertunda dan Bolehkah Dilakukan setelah Dewasa?
Banyak orang bertanya tentang hukum aqiqah tertunda hingga anak beranjak dewasa atau bahkan orang tua baru mampu setelah bertahun-tahun. Dalam Riyādhul Badi‘ah, Syaikh Asy-Syāfi‘i memberikan penjelasan ringkas namun jelas:
«إِذَا لَمْ تَقَعِ الْعَقِيقَةُ فِي السَّابِعِ، فَالسُّنَّةُ أَنْ تُقْضَى إِذَا تَيَسَّرَ»
“Jika aqiqah tidak dilaksanakan pada hari ketujuh, maka disunahkan untuk mengqadha ketika memungkinkan.”
Sebagian ulama juga menguatkan pendapat ini. Imam Ibn Qudāmah dalam Al-Mughnī menyebut:
«وَإِذَا بَلَغَ الْغُلَامُ وَلَمْ يُعَقَّ عَنْهُ، اسْتُحِبَّ لَهُ أَنْ يُعِقَّ عَنْ نَفْسِهِ»
“Jika seseorang telah dewasa dan belum diaqiqahi, disunahkan untuk mengaqiqahi dirinya sendiri.”
Pandangan tersebut berpijak pada kaidah:
الْأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا
“Segala perkara tergantung pada tujuannya.”
Tujuan aqiqah tidak lain sebagai bentuk syukur. Karena itu, kesempatan tersebut tetap terbuka selama seseorang mampu melaksanakannya.
Penutup: Menenun Syukur dalam Aturan yang Indah
Aqiqah bukan sekadar penyembelihan hewan, tetapi rangkaian ibadah yang mengajarkan keteraturan, syukur, dan kepedulian. Riyādhul Badi‘ah memberikan panduan fikih yang jernih agar keluarga muslim dapat menjalankan aqiqah dengan benar dan penuh kesadaran. Kaidah-kaidah fikih yang mengiringinya membuka ruang pemahaman bahwa ibadah selalu bergerak bersama tujuan mulia: memperkuat hubungan manusia dengan Allah dan sesama.
Setiap keluarga yang menghidupkan aqiqah sedang merajut harapan untuk masa depan anaknya. Dalam lantunan doa, dalam aroma daging yang dibagikan, dan dalam wajah-wajah yang tersenyum, syukur itu menjelma menjadi cahaya. Semoga setiap aqiqah yang dilaksanakan menjadi bagian dari jalan panjang menuju keberkahan hidup.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
